Senin, 27 Mei 2013

TEORI KONFLIK DAN KONFLIK AGRARIA




1.TEORI KONFLIK
Bila kita mendengar kata konflik, maka asosiasi kita akan tertuju pada adanya peselesihan/ ketidakharmonisan/pertentangan dan atau yang palin ekstrim adanya tindakan kekerasan. Konflik biasanya akan melibatkan adanya dua pihak yang besebrangan antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh A dan B bertetangga. A tidak terima klo batas pagar rumah B dipindah karena akan memasuk 1 meter ke halaman rumah A. Namun B tetap besikukuh akan memindahkan patok pagar rumahnya karena ada kelebihan tanah B yang menjadi halaman A berdasarkan batasan ukuran luas tanah yang dimuat dalam sertifikat. Namun A tetap menolak pemindahan batas tanah tersebut dan akan melaporkan tindakan B kepolisi bila B tidak mencabut kembali patok pagarnya yang baru.
Dari gambaran singkat di atas, Dapat diambil kesimpulan, bahwa konflik timbul karena adanya  pertentangan/tidak harmonisnya hubungan antara dua pihak yang mempunyai tujuan yang sama atau pemikiran yang berbeda, dan/atau adanya kebutuhan yang sama, sementara ketersediaan sumber daya/objek yang diperebutkan adalah terbatas jumlahnya. Penafsiran tersebut, secara tidak langsung menunjukkan luasnya pengertian konflik. Pada praktiknya orang akan memberikan penafsiran yang berbeda-beda mengenai apa itu konflik.
Dalam beberapa literatur akan dapat ditemui beberapa pengertian mengenai konflik namun dari berbagai definisi-definsi yang berkembang belum ada kesamaan pemahaman untuk mendefinisikan apa itu arti konflik sesunguhnya.
Sebelum kita masuk ke bagian teori-teori konflik ada baiknya kita menelaah dulu asal kata konflik itu sendiri.  Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang mengandung arti saling memukul. Sementara secara sisologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, dimana satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya (sumber: artikel “konflik sosial dan permasalahannya”, hlm 1, 2012).
Gunawan wiradi berpendapat bahwa konflik akan selalu menjadi pusat perhatian dalam ilmu-ilmu sosial, beskala luas dan dampaknya juga luas( gunawan wiradi disampaikan dalam sebuah catatan ringkas Penelitian Mengenai Konflik Agraria). Dari pendapat tersebut menunjukan bahwa Konflik akan selalu muncul dalam tataran kehidupan sosial masyarakat dan akan berealibel pada isu-isu tertentu, apakan itu akan berada pada permasalahan ekonomi, budaya dan/atauPolitik.
Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan konflik sosial. Para ilmuwan sepakat mendefinisikan ”sebagai suatu kondisi/situasi proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan obyek yang sama demi kepentingannya”(sumber: Gunawan Wiradi, .....hlm 55). Jadi menurut penafsiran para ahli sosial  menyatakan, bahwa konflik sosial tidak memberikan perbedaan terhadap pihak-pihak yang terlibat, dan akses yang ditimbulkannya. Apakah itu interaksi antara individu atau perorangan.
Menurutnya, literatur yang memberikan batasan arti terhadap konflik sangat banyak. Pengertian mengenai konflik, akan bergantung pada sudut pandang para ahli dalam memberikan gambaran mengenai apa itu konflik. Gunawan wiradi  mencoba menawarkan satu definsi umum mengenai apa itu konflik. Ia merujuk pada pendapat seorang ahli yang bernama T.F Hoult, 1996. “Konflik adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua atau lebih indvidu atau kelompok, dalam memperebutkan objek yang sama, demi kepentinggannya”. Objek dimaksud dapat berupa benda fisik dan fisik/ hal yang dapat memotivasi setiap orang, atau kelompok orang untuk melakukan usaha keras/perjuangan untuk mendapatkannya. Konflik merupakan satu titik tertingi equiblirium terjadinya praktik persaingan yang keras, dan kadang dapat mengunakan kekuatan/kekerasan fisik.  Konflik dalam arti ini, lebih diarahkan pada pemahaman konflik dalam arti deskruktif. Pemaknaan konflik dalam arti ini, senada dengan pandangan mengenai konflik dalam perspektif tradisional (The Traditional View), yang berangapan bahawa konflik itu buruk, sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupaka suatu hasil disfungsional komunikasi akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan , keterbukaan antara orang-orang, dan kegagalan pemimpin untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan. (Sumber;Robbin1996:431) pendapat Robbin yang berusaha menafsirkan konflik berdasarkan pandangan tradisional juga menekankan pada lemahnya/rusakna komunikasi antara manusia/kelompok manusia. Sehingga munculnya disharmonisasi.
Untuk lebih memahami mengenai Konflik maka perlu ditelusuri sejarah munculnya teori konflik. Teori konflik merupakan teori yang mulanya diperkenalkan oleh Karl Mark. Bermula pada perhatiannya terhadap masalah-masalah perbedaan kelas sosial yang saat itu berkembang di perancis. Perbedaan kelas tersebut, menciptakan adanya kelompok masyarakat Borjuis dan Proletar. Masyarakat Borjuis merupakan kelas masyarakat pemilik modal, mereka mempunyai kekuasaan dan kekuatan uang, memilik ilmu dan keahlian khusus, sementara masyarakat kelas proletar adalah mereka yang relatif minim memiliki sumber-sumber daya modal, unskill dan banyak sebagai pekerja miskin. Kehidupannya bergantung pada sumber-sumber penghidupan yang disediakan/diberikan dari masyarakat borjuis/pemilik modal.
Dengan demikian kelas masyarakat borjuis, merupakan kelas masyarakat yang kuat. Sementara kelas proletar merupakan kelas masyarakat yang lemah, Karena kuatnya kertergantungan kelas masyarakat proletar terhadap kelas masyarakat borjuis secara tidak langsung, dan kuatnya penetarasi ekonomi kelas borjuis terhadap kelas proletar sehingga menimbulkan praktik-praktik eksploitasi kelas borjuis terhadap kelas proletar.
Semakin lama gap/kesenjangan antara kelas masyarakat borjuis dengan masyarakat proletar semakin lebar. Kesenjangan tersebut tidak hanya  di bidang ekonomi, tapi juga sudah merembet ke bidang sosial dan budaya. Akibat berbagai tersebut mendorong kesadaran dari kelas masyarakat proletar, yang memang selama ini berada di bawah penguasaan kelas borjuis, melakukan pembrontakan yang lebih dikenal sebuah gerakan sosial (revolusi), masuyarakat kelas proletar mengharapkan bahawa dari gerakan ini akan mendapatkan kesetaraan dalam pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan mengakhiri kesenjangan dan praktik-praktik eksploitasi terhadap diri mereka. Kemudian dari proses perjuangan tersebut maka muncullah apa yang dikatakan konflik. Konflik yang lebih disebabkan, karena adanya ketimpangan akses untuk memperoleh/menguasai sumber-sumber ekonomi.
Dari pergerakan revolusi di perancis inilah, yang mengilhami ditelorkan dua teori mengenai kelas sosial dan Teori Konflik oleh Karl Mark.
Teori konflik Karl Mark tersebut pada hakikatnya, mengandung dua makna yaitu, teori konflik yang mengandung sisi negatif, ditandai dengan adanya tindakan kekerasan melalui revolusi sosial untuk mencapai tujuan/perubahan drastis kearah perbaikan, tapi juga mengandung sisi positif dalam arti manfaat/fungsi. Maksud manfaat positif disini bahwa untuk mencapai keadilan, dan kemakmuran di dalam masyarakat kadang memang diperlukan adanya revolusi kelas.
Masih pada tataran teori. Pada hakikatnya konflik itu tidak melulu diartikan sebagai kondisi yang destruktif-negatif, tapi ada pula beberapa teori yang memandang bahwa konflik itu harus ada, dan keberadaannya tidak dapat dihindari. Pernyataan ini didukung dengan pendapat Robbin. Menurut Robbin pengertian konflik dapat terbagi menjadi tiga(3) sudut pendang, yaitu Padangan Hubungan Manusia, Pandangan Tradisional dan Pandangan Interasionis. Jika merunut pada pandangan hubungan manusia(The Human Relation View), maka konflik diartikan  sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok /organisasi. ”Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam suatu kelompok atau organisasi pasti terjadi karena adanya perbedaan pandangan/pendapat. Oleh karena itu konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat dan dapat mendorong peningkatan kinerja organisasi, dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi, atau perubahan di dalam tubuh kelompok/ organisasi itu sendiri” (Robbin,1996,hlm 431).
Dari pendapatnya tersebut. Robbin memandang bahwa konflik itu bukan hal yang selalu merugikan.Ia lebih mefokuskan pada masalah organisasi/lembaga yang sedang membangun/berkembang. Sebagai contoh bahwa konflik-konflik internal dapat terjadi kapanpun bila memang lembaga itu terbuka, untuk menerima berbagai pendapat/pemikiran kemudian dari perbedaan-perbedaan tersebut diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaat untuk menemukan ide-ide baru bagi inovasi-inovasi bagi kemajuan lembaga/organisasi.

2. KONFLIK AGRARIA
2.1 Agraria
Sebelum kita menyentuh pada pembahasan mengenai konflik agraria, ada baiknya kita melihat dulu, apa yang dimaksud dengan agraria. Karena tidak semua orang memahami bahwa pengertian agraria cukup luas, dan tidak melulu berkaitan dengan masalah tanah.
Menurut budi harsono dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia menyatakan, bahwa pengertian agraria dalam UUPA menganut arti luas  yaitu, bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Batasan agraria dalam arti luas yang dianut dalam UUPA bermakna bahwa pengaturan/hukum mengenai agraria dan tidak hanya mengatur satu bidang hukum saja, tapi merupakan kelompok  berbagai bidang hukum, yang masing-masingnya berkaitan dengan penguasaan Sumber Daya Alam. Diantaranya mencakup  tanah, kehutanan, perkebunan, air dan sumber daya alam lainnya.(Budi harsono, Hukum Agraria Indonesia,hlm 6-7, 1999).
Sementara, batasan pemahaman mengenai Sumber Daya Alam itu sendirI dalam perkembangannya cukup beragam. Tapi pada umumnya besumber pada aspek pemanfaatan dan nilai ekonomi.atau secara lebih luas terletak pada aspek pengelolaannya.(sumber:Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia”antara tersurat dan tersirat, Fakultas Hukum UGM,hlm 7,2011).pengertian ini dapat kita lengkapi bila kita merujuk pada salah satu batasan mengenai SDA yang telah digagas oleh Kementrian Lingkungan Hidup RI tahun 2006. Kementrian Lingkungan Hidup mendefinisikan Sumber Daya Alam adalah kesatuan tanah, air dan ruang udara, termasuk kekayaan alam yang ada di atas dan di dalamnya yang merupakan hasil proses alamiah baik hayati mapun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan sebagai fungsi kehidupan yang meliputi fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan.(sumber: pasal 1, butir 1 UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam, Kementrian Lingkungan Hidup RI, 2006). Bila kita mengacu pada penafsiran  mengenai SDA diatas maka dapat diartikan bahwa Sumber Daya Alam merupakan kekayaan alam yang ada di permukaan bumi dan di dalam perut bumi baik yang terbarukan maupun tidak terbarukan. Dan sangat berperan penting begi kehidupan manusia/asas kemanfaatan oleh karena memiliki nilai ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk pengusaan dan pengelolaan terhadapnya.

2.2 Konflik Agraria
Agraria terwujud dalam bentuk penguasaan dan pengelolaan atas Sumber Daya Alam. Sumber Daya Alam memiliki peranan strategis bagi kehidupan manusia karena manfaat ekonomi yang dikandungnya.Berdasarkan penfasiran umum, bahwa segala sesuatu yang memiliki nilai eknomis umumnya jumlah ketersediaanya akan terbatas. Sama halnya dengan Sumber Daya Alam/SDA. Pada saat Sumber Daya Alam digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, mengelolanya untuk mendapatkan uang/memenuhi kebutuhan ekonomi, maka resiko-resiko timbulnya persaingan akan semakin besar. Setiap orang akan berusaha menguasai dan memanfaatkannya, apalagi jumlahnya terbatas. kecendrungan mereka akan bersaing untuk mendapatkannya. Dari masalah ini maka akan dapat menimbulkan pertentangan. Saling klaim mengklaim diantara mereka. Dan pada saat masalah ini sudah masuk ke tataran sosial yang luas maka akan menimbulkan konflik. Atau yang lebih dikenal dengan istilah konflik agraria.
Penafsiran tersebut di atas, senada dengan apa yang menjadi buah pemikiran gunawan wiradi. Ia berpendapat bahwa, semua jenis konflik agraria timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian/kesenjangan terkait sumber-sumber agraria yang tidak lain adalah SDA. Dalam memahami konflik agraria ia menawarkan bahwa kunci utamanya adalah kesadaran kita bahwa tanah/SDA merupakan hal yang vital yang melandasi semua aspek kehidupan manusia.dalam pandangannya secara komprehensif mengenai konflik agraria.(gunawan wiradi,hlm56,…...)Ia juga mencoba mengindentifikasikan bahwa ada beberapa bentuk kesenjangan diantaranya; kesenjangan dalam penguasaan, konsep penguasaan,hukum dan kebijakan yang saling bertentangan.
Bila kita merunut pada identifikasi timbulnya konflik karena adanya kesenjangan penguasaan/pemanfaatan akibat adanya kebijakan/hukum yang diskriminatif dalam mengatur hungan-hubungan pengusaan dan pengelolaan SDA. maka identifikasi ini sangat relevan bila kita kaitkan pada penyebab maraknya berbagai konflik agraria yang banyak terjadi di Indonesia. Menurut Usep Setiawan,aktivis KPA menyatakan bahwa lahirnya konflik sosial dibidang kehutanan/SDA, lebih disebabkan salah urus dalam pelaksanaan kebijakan, dan ketimpangan akibat adanya ketimpangan dalam penguasaan tanah, dan kekayaan alam lainnya. Pada hakikatnya konflik agraria mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam. Seperti kaum petani, nelayan dan masyarakat. Ketidak adilan ini muncul sebagai akibat adanya penerapan konsep hak menguasai negara atas sumber daya alam yang salah.
Penerapan konsep hak menguasai negara, atas sumber-sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat pada praktiknya lebih banyak digunakan untuk melegitimasi negara dalam hal memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi pemilik modal besar untuk membuka usaha-usaha pengelolaan Sumber Daya Alam dengan dalih untuk melaksanakan pembangunan perekonomian.akibatnya dari tujuan tersebut maka keluarlah berbagai kebijakan pemerintah, yang tidak jarang akibat dari kebijakan tersebut mengeliminasi keberadaan masyarakat termasuk masyarakat adat dari tanah tempat penghidupannya selama ini. Pada sisi lain terhadap mereka/masyarakat yang telah terusir dari tanahnya, tidak menerima ketidakadilan akibat kebijakan tersebut kemudian mendorong mereka bersama-sama melakukan perlawanan, sehingga konflikpun bermunculan. Konflik yang terjadi antara masyarakat/petani yang mempertahankan hak-haknya dari segala bentuk penguasaan sewenang-wenang dari perusahaan-perusahaan pemilik modal yang berselimut di balik perlindungan negara/konsesi.
Konflik serupa juga sering terjadi antara masyarakat adat yang mempertahankan sumber penghidupannya berhadapan dengan perusahaan pertambangan, perkebunan dan/atau perusahaan perkayuan. Berbagai konflik  tersebut umumnya selalu disertai dengan kekerasan,penyiksaan, bahkan penculikan atau pembunuhan(sumber: data pengaduan tahun 2012) Konflik semacam ini jelas menimbulkan kehancuran atau yang dikenal dengan konflik destruktif. Konflik destruktif merupakan konflik yang bersifat negatif. Menurut pandangan tradisional konflik ini harus dihindari karena konflik itu buruk, sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.(robbin,1996,431), pendapat ini sama halnya dengan apa yang dinyatakan mengenai konflik menurut T.F Hoult,1996 (dikutip dari gunawan wiradi artikel, hlm 2) menurutnya konflik adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok, dalam memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. maksud memperebutkan objek yang sama tersebut berarti adanya kebutuhan setiap orang terhadap objek tersebut dalam kerangka ini dapat kita ambil contoh Sumber Daya Alam seperti tanah, bahan tambang, kekayaan hutan dan lainnya. Yang terpenting objek tersebut mengandung nilai ekonomi. Jadi dapat kita simpulkan bahwa arti konflik bila dihubungan dengan agararia merupakan suatu pertentangan/persaingan antara sekelompok orang dengan pihak lain yang lebih kuat baik itu pemodal atau pemegang kebijakan/wewenang untuk memperebutkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber daya alam yang mengandung nilai ekonomi, baik itu berupa tanah,hutan dan sumber-sumber mineral lainnya yang dapat mendukung kehidupan manusia. Gunawan wiradi berpendapat bahwa sengketa dan konflik mempunyai arti yang berbeda. Menurutnya konflik akan selalu muncul dalam tataran kehidupan sosial masyarakat dan akan berhubungan pada isu-isu tertentu, apakah itu akan berada pada permasalahan ekonomi, budaya atau politik, oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa konflik itu mempunyai subjek, dan dampak yang luas.
Maria S.W Sumardjono telah coba mengindetifikasikan beberapa akar permasalahan  konflik pertanahan termasuk sumberdaya agraria lainnya. Secara garis besar dapat di timbulkan oleh hal-hal sebagai berikut: (sumber: Pokok-Pokok Pikiran mengenai Penyelesaian Konflik Agraria, hlm 57,2006)
a.      Konflik kepentingan, yang disebabkan karena adanya persaingan kepentingan yang terikat dengan kepentingan substantif (contoh: hak atas sumber daya agraria termasuk tanah), kepentingan prsedural maupun psikologis;
b.      Konflik struktural yang disebabkan antara lain karena: pola perilaku atau interaksi yang destruktif;control pemilikan atau pembagian sumberdaya agraria yang tidak seimbang; serta faktor geografis fisik atau lingkungan yang menghambat kerjasama;
c.      Konflik nilai, disebakan karena perbedaan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi gagasan atau prilaku;perbedaan gaya hidup,ideology atau agama/kepercayaan;
d.      Konflik hubungan yang disebabkan karena emosi yang berkelbihan, persepsi yang keliru,komunikasi yang buruk atausalah;pengulangan prilaku yang negatif.
Bila kita berpedoman pada pendapat maria mengenai penyebab timbulnya permasalah konflik pertanahan, dan sumberdaya alam diatas. Maka dapat kita simpulkan bahwa ia mencoba melakukan indentifikasi mengenai akar masalah konflik agraria, dengan menggunakan pendekatan berbagai teori umum mengenai konflik dan bentuk-bentuk konflik. beliau tidak langsung melihat penyebab dominan yang sering terjadi di lapangan atau hal-hal apa yang paling sering menjadi pemicu munculnya berbagai konflik agraria di Indonesia.
Sementara pada sisi lain menurut Direktur Sajogyo Institute Noer Fauzi Rachman juga mencoba melakukan identifikasi langsung terhadap beberapa penyebab timbulnya konflik agraria di Indonesia. Menurutnya ada empat penyebab konflik yaitu: pertama pemberian izin oleh pejabat publik yang memasukkan lahan kelola masyarakat ke dalam wilayah produksi,ekstraksi, maupun konservasi atau untuk pengusahaan bentuk lainnya, kedua; penggunaan kekerasan dalam pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum maupun untuk konsesi (dalam hal ini biasanya dengan melibatkan aparat keamanan dalam pengamanan perusahaan.pen), ketiga eksklusif sekelompok masyarakat dari kelolanya, ke empat adanya perlawanan rakyat dari ekslusif tersebut. (sumber: www.wordpress.com,media online Gagasan Hukum,artikel dan Legal Opinion”  )
Berbicara mengenai penyebab muculnya konflik karena adanya bentuk-bentuk perlawanan rakyat sebagai akibat adanya kondisi ekslusi. Identifikasi akar masalah ini, sama halnya bila kita merunut pendapat tokoh sosialis Karl Mark. Menurut teori Marxis, bahwa, konflik agraria terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis, yang mengakibatkan penduduk terlempar dari tanahnya. Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah, atau tanahnya yang dirampas oleh kapitalis/mereka yang mempunyai modal(sumber:www.wordpress.com). Sementara bila kita merunut pada teori Pluralisme hukum, memandang konflik agaria terjadi akibat adanya lebih, dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh berbagai pihak terutama hukum adat dan hukum negara. Jadi menurut teori Pluralisme. Teori ini lebih menekankan bahwa timbulnya konflik agaria akibat adanya pertentangan pemberlakukan dua hukum yaitu, hukum negara satu sisi dan hukum adat pada sisi lainya. Sebagai contoh pada kasus-kasus tertentu adanya konflik-konflik lahan dan SDA yang melibatkan masyarakat adat dan negara. Negara dalam kapasitas sebagai pemegang dan pembuat berbagai kebijakan/hukum. Pendapat ini juga diperkuat oleh teori kebijakan. Teori ini juga sering menjadi acuan untuk melakukan identifikasi terhadap penyebab-penyebab munculnya konflik agraria. Menurut teori ini, bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya kebijakan tertentu dari negara. Seperti; kebijakan pembangunan. (sumber:www.wordpress.com)
Dengan adanya kebijakan pembangunan tersebut, maka otomatis segala potensi/sumber daya yang ada termasuk agraria, dan alam menjadi salah satu objek yang menjadi pertaruhan. Guna mendapatkan uang sebanyak-banyaknya sebagai modal pembangunan. Kondisi ini membawa akibat munculnya bentuk-bentuk kapitalisme baru, yang mengerogoti lahan-lahan mata pencarian rakyat. Dan kadang  menjadikan mereka/rakyat sebagai korban yang terusir dari tanahnya akibat kebijakan-kebijkan konsesi bagi pemliki modal besar/investor, dalam penguasaan dan pengelolaan agraria dan SDA.(rda)










2 komentar:

  1. Alangkah lebih baik lagi jika sumber referensi ikut diposting. Trims

    BalasHapus
  2. nti cb saya unduh buku2 terkait ke dalam blog ini tks

    BalasHapus