Kesadaran masyarakat internasional mengenai pentingnya perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual mulai muncul pada abad 20 puluh, salah satunya ditandai melalui pengesahan konvensi Berne dan konvensi WIPO pada 1967. Sejak saat itu, masyarakat internasional menyadari bahwa karya intelektual dapat membawa perubahan terhadap peradaban, kemajuan dan pembangunan perekenomian melalui perwujudan ide-ide kreatif yang bersifat khas dan khusus. Alasan lainnya, mengenai pentingnya perlindungan tehadap karya intelektual seseorang juga tidak terlepas pada fakta menganai potensi resiko yang dapat muncul terhadap keberadaan karya intelektual seseorang, seperti : tindakan plagiarisme, pembajakan dan berbagai tindakan merugikan lainnya yang semakin marak terjadi.
Penguatan perlindungan terhadap karya intelektual juga dimotivasi karena karya intelektual sebagai peruwujudan dari proses kerja keras baik seseorang/beberapa orang yang bertumpu pada kekuatan kemampuan berpikir, rasa dan pengalaman yang dituangkan dalam suatu bentuk yang khas dan khusus sehingga dapat dilihat/dinikmati dan bersifat eksklusif ( dapat lihat di dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 28/2014 dan UU terkait lainnya).
Wujud dari karya intelektual khususnya di bidang seni dapat menimbulkan nilai estetika kemudian, nilai inilah yang dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Nilai tersebut kemudian menghasilkan dua rumpun hak turunan lagi, yakni hak ekonomi dan Hak moral bagi yang melakat pada seorang pengkarya. Hak yang melekat atas sebuah karya intelektual, seperti hak ekonomi dan hak moral baru muncul sejak karya intelektual tersebut dilahirkan dalam bentuk khas, dan diumumkan. Seseorang yang telah menghasilkan karya intelektual kemudian mengumumkannya maka ia memiliki hak eksklusif atas karyanya. Hak eksklusif inilah yang memberikan perlindungan bahwa ia dan karyanya akan tetap melekat dalam satu kesatuan, baik sebagai property rightsdan moral rights. Berdasarkan Pasal 8 UUHC, Hak ekonomi adalah "hak pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas karya ciptanya,...", kemudian di dalam Pasal 5 UUHC menyatakan bahwa “hak moral adalah hak yang akan terus melekat pada diri seorang Pengkarya”dalam artian, namanya akan terus melekat pada karyanya meskipun beberapa tahun kemudian karya tersebut beralih/diperalihkan kepada pihak lain, maupun karena peruntukan lainnya, termasuk jika karya intelektual tersebut sudah menjadi malik umum (public domain). Jadi, Hak ekonomi dan Hak Moral merupakan rumpun hak-hak terkait muncul akibat adanya hak eksklusif tersebut.
Pentingnya, perlindungan atas sebuah karya seni,dan/atau sastra karena karya intelektual tersebut memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi khususnya di bidang property rights. Pandangan tersebut berkembang khususnya di negara-negara penganut faham kapitalis. Negara-negara yang menonjolkan privacy intrest. hak intelektual seseorang bisa dikategorikan sebagai intelectual property seperti halnya aset dimana hak ini bersifat privat(pribadi). oleh karna itu, mengapa setiap orang sebagai pemanfaat sebuah karya intelektual milik orang lain, pada saat ia akan menggunakan karya orang lain tersebut harus dengan persetujuan dari orang yang memiliki hak eksklusif tersebut terutama untuk kegiatan yang bersifat komersil kemudian dari itu maka munculah istilah royaltyatas konsesi yang telah diberikan oleh si Pengkarya.
Perlindungan hukum terhadap karya intelektual seseorang sampai saat ini terus berkembang melalui berbagai perubahan dan penyesuaian perundang-undangan terkait, peraturan hukum yang bersumber dari berbagai instrument hukum internasional kemudian diwujudkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional. Indonesia sebagai salah satu negara anggota WIPO telah meratifikasi Konvensi ini melalui UU No. 19/2002 yang kemudian diubah dengan UU No. 28/2014 dan beberapa ketentuan Perundang-undangan terkait lainnya di bidangan kekayaan intelektual.
Berbicara mengenai hak, maka isueKekayaan Intelektual secara tidak langsung juga bersinggungan dengan permasalahan Hak Asasi Manusia, hal ini erat dengan makna harfiah yang terkandung di dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39/1999 yang menyatakan bahwa “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Eksistensi perlindungan HKI di dalam UU HAM dapat dilihat dari sudut pandang mengenai hak seseorang atas karya intelektualnya yang bersifat khas yang dihasilkan melalui proses kerja intelektual, kemudian dari karya tersebut ia (pengkarya) dapat mandatangkan manfaat ekonomi dan bahkan memberikan lapangan pekerjaan minimal bagi dirinya sendiri. Pemikiran ini relevan kiranya, jika kita hubungkan dengan ketentuan di dalam Pasal 12 UU No. 39/1999 yang menyatakan, bahwa " setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia, beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Kemudian Pasal 13 UUHAM menyatakan bahwa, "setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia". Makna dari kedua pasal tersebut, dapatlah ditafsirkan bahwa kekayaan intelektual merupakan bagian dari rumpun hak yang mendapat perlindungan dari HAM berdasarkan UU No. 39/1999 tentang HAM oleh karena itu, menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi dan menghormati atas eksistensi hak tersebut. Hak moral dan Hak Ekonomi yang timbul atas karya intelektual seseorang, sepanjang telah dituangkan dalam bentuk yang khas, maka dari berbagai unsur-unsur yang ada dalam setiap hasil kekayaan intelektual seseorang kemudian mendatangkan manfaat maka elemen ini menjadi relevan untuk mendapat perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip HAM. Pendapat ini, dilatarbelakangi pada pemikiran bahwa adanya tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan terhadap hak–hak warga negaranya, termasuk penghargaan/penghormatan terhadap setiap kreativitas intelektual seseorang/sekelompok orang baik di bidang seni dan ilmu pengetahuan terutama lagi bagi hasil-hasil kreativitas intelektual yang bernilai ekonomi dan bernilai positif bagi pembangunan peradaban termasuk pembangunan ekonomi nasional dan membuka sumber penghidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Berbagai undang-undang di bidang kekayaan intelektual memberikan perlindungan bagi setiap orang yang telah bekerja keras melalui kerja intelektualnya baik di bidang kesenian dan pengetahuan, kemudian dituangkan ke dalam bentuk yang khas, original dan konkrit sehingga karya tersebut menunjukkan hasil proses kerja pemikiran/intelektualnya sebagai salah satu wujud proses pengembangan dirinya sebagai seorang manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki berbagai potensi intelektual (giveted), kemudian melalui akal pikran dan kerja intelektual yang berkelanjutan dan konsisten sehingga mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 13 UU HAM, sementara guna mendukung pemahaman mengenai hak ekslusif seseorang di bidang karya seni sebagaimana yang diatur dalam UU Hak Cipta hal ini menjadi catatan penting bahwa UU Hak Cipta juga mengatur bahwa sebuah karya baru mendapatkan pengakuan jika karya tersebut telah dituangkan dalam bentuk yang khas, jika karya tersebut masih dalam pemikira/lisan maka hak tersebut belum dianggap ada karena kemanfaatan yang dapat diperolehnya belum ada dan belum dapat dilihat secara nyata.
Hak Ekslusif pencipta/pengkarya yang melekat pada karya ciptanya bukan pula berarti melulu diartikan bahwa setiap penggunaan/pemanfaatan karya cipta dari seorang/pengkarya harus melalui ijin/dan atau melalui suatu pembayaran royalti. Penggunaan karya cipta untuk tujuan non-komersil terbuka peluang untuk dapat dimanfaatkan oleh pihak lain/publik tanpa harus melalui pembayaran royalti namun pengunaan karya intelektual seseorang harus tetap mencantumkan nama seseorang sebagai pengkaryanya. Disinilah fungsi sosial yang ada di calma sebuah karya intelektual tersebut dalam arti adanya keseimbangan selain adanya fungsi ekonomi juga adanya fungsi sosial. Hak Cipta juga mengandung unsur kepentingan sosial oleh karena itu, seorang pengkarya untuk kepentingan sosial harus dapat mengurangi hak esklusifitasnya bila pengunaan karya intelektualnya untuk kepentingan sosial/masyarakat lain. Terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan, budaya dan seni.
Hal menarik lainnya, bahwa Undang-Undang Hak Cipta sendiri tidak memberikan batasan terkait penggunaan atas suatu karya intelektual untuk tujuan non-komersil asalkan nama pengkarya dimuat dalam karyanya. Pencantuman nama tersebut pada hakikatnya, untuk mencegah timbulnya praktik-praktik penjiplakan dari pihak lain yang tidak bertanggung jawab/plagiarisme. Pencantuman nama seseorang pada karyanya, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak moral pengkarya. Karena, sejak karya intelektualnya dilahirkan dan diumumkan, maka sejak saat itu seorang sebagai pengkarya dilindungi oleh hukum baik secara otomatis maupun melalui pendaftaran hak yang dipersyaratkan. Negara wajib melindungi hak-hak seseorang atas karyanya, dan ini akan terus melekat dimanapun karyanya berada. Oleh karena itu, setiap pemanfaatan suatu karya cipta/intelektual tidak akan berakibat hukum apapun, jika pihak lain yang memanfaatkan karya seseorang tidak untuk tujuan komersil dan ia wajib mencantumkan nama pencipta/pengkaryanya sebagai bentuk peghormatan dan pengakuan terhadap hak eksklusif seseorang yang telah membuat dan menghasilnya karya tersebut mengingat karya tersebut telah dilindungi dalam UU Hak Cipta termasuk UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.(rda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar