Rabu, 15 Mei 2013

IDENTIFIKASI JAMINAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH ULAYATNYA



Dasar pemikiran saya, perlu melakukan identifikasi berbagai peraturan hukum nasional yang memberikan perlindungan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, beserta hak-haknya.Dilatarbelakangi pada kenyataan bahwa masih minimnya pemahaman hukum dari masyarakat, aparatur penyelenggara negara, dan penegak hukum mengenai kedudukan hukum dan hak-hak masyarakat hukum adat yang seharusnya perlu mendapatkan perhatian khusus dalam rangka penghormatan, dan perlindungan. Terutama sekali yang berkaitan  dengan pengakuan eksistensi hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya. Sebagai wujud identitas teritorial masyarakat (hukum) adat yang bersangkutan.
Berbagai peraturan hukum yang telah ada, seharusnya dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai masalah pertanahan di Indonesia khsusnya konflik pertanahan yang menepatkan masyarakat hukum adat sebagai korban, sehingga kasus-kasus pertanahan yang berbuntut pada kekerasan horizontal maupun vertikal sebagaimana yang terjadi di Mesuji, Sumatera Selatan, Riua dan Jambi tidak terulang kembali. Selain itu diharapakan juga dapat memberikan pedoman/pencerahan dalam rangka memberikan pengetahuan bagi masyarakat khususnya masyarakat hukum adat dalam melindungi hak-haknya, yang memang menurut kenyataanya masih ada.
Titik awal pengakuan masyarakat adat atas tanah ulayatnya telah mendapat pengaturan di dalam UU No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agarari, tepatnya pada Pasal 3 dinyatakan “ dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.....”.
 UUPA keberadaanya telah dipersiapkan sejak lama, bahkan sejak Indonesia masih di bawah pemerintahan hindia-belanda pada tahun 1948. Namun keberadaan UUPA tersebut tidaklah serta merta dapat secara konsisten diterapkan oleh pemerintah setelah Indoensia mengalami masa kemerdekaan. Ketidakkonsistenan tersebut lebih disebabkan pada keberpihakan pemerintah terhadap investor yang bergerak disektor perkebunan oleh karena itu dibutuhkan pengadaan lahan/tanah dalam jumlah yang luas. Oleh karena itu dilakukannnya berbagai kebijakan terkait dengan pengadaan tanah-tanah untuk pelaksanaan pembangunan. Maka untuk kebutuhan tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak jarang menafikan keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat atas suatu tanah ulayat yang memang menurut kenyataanya masih ada, dan telah bersifat turun menurun menepati lahan tersebut.
Kebijakan pemerintah dalam berbagai bentuk UU yeng mengandung subtasni melegalkan segala bentuk perampasan tanah yang dilakukan oleh negara kemudian mengeyampinkan hak-hak masyarakat hukum adat pada sisi lainnya. Salah satunya dapat kita lihat dalam UU Kehutanan pada Pasal 1 angka 6 dinyatakan “ hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” kemudian dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), pada ayat (2) dinyatakan; hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk hutan adat selanjutnya pada ayat (3) dinyatakan “ pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataanya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
Pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan penafsiran bahwa pengurusan dan pengaturan mengenai hutan adat yang notabene merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat berada di bawah penguasaan pemerintah setempat sehingga bukan tidak mungkin pengaturan dalam pasal tersebut dapat menimbulkan interpretasi yang beragam dalam tataran pemegang kebijakan didaerah sehingga munculnya berbagai keputusan dari pemerintah setempat yang memberikan konsesi pengusahaan atas tanah (hutan) kepada para investor secara sepihak. Dapat muncul kekhawatiran keberadaan pasal tersebut menimbulkan sikap kesewenang-wenangan pemerintah setempat terhadap keberadaan/eksistensi masyarakat hukum adat. Selanjutnya pada ketentuan pasal yang lain dalam UU Kehutanan mengatur mengenai kewajiban negara untuk tetap menghormati hak-hak masyarakat hukum adat dalam rangka penguasaan hutan yang menurut kenyataannya masih ada, ketentuan tersebut dinyatakan jelas dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan, namun seberapa besar kefektifan pasal tersebut dalam rangka pelaksanaan kewenagan hak menguasai negara atas tanah hutan adat  yang telah digariskan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) jo Pasal 5 ayat (1) sampai ayat (4) masih diragukan namun ketentuan pasal-pasal yang masih terdapat ambigiutas tersebut tidak pula serta merta  meniadakan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya, sehingga dapat disimpulkan dengan beberapa kelemahan dalam pengaturan di bidang perlindungan Hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatanya paling tidak UU No 41 tahun 1999 telah mengatur perlindungan bagi hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya.
Dasar konstitusi yang mengatur mengenai perlindungan hak masyarakat hukum adat baru mendapat pengaturan, setelah dilakukan amandemen ke II UUD 1945, tepatnya pada Pasal 18 B ayat (2) jo Pasal 28I ayat (3), amandemen ini sahkan pemberlakuannya pada tahun 2000, sedangkan sebelum dilakukannya amandemen ke II ini dalam UUD 1945 belum ada satu pasalpun yang menegaskan perlindungan bagi hak-hak masyarakat hukum adat/tradisional yang ada di wilayah Indonesia, tidak diaturnya pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-hak masyarakat hukum adat. Latar belakang tidak diaturnya mengenai perlindungan hak masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 oleh para founding father Indonesia karena para pemegan kebijakan pada masa itu menilai bahwa negara baru yang akan dibentuk adalah suatu negara yang tetap memelihara semangat hubungan panguyuban antara rakyatnya-walaupun dalam tatanan kenegaraan secara formal akan bersifat hubungan petembayan, oleh sebab itu hampir semua para pendiri negara menolak dicantumkannya pasal-pasal HAM dalam UUD 1945, yang saat itu HAM difahami sebagai manifestasi individualisme.
Dalam perkembangan bagi pelaksanaan nilai-nilai DUHAM 1940 dan tuntutan perlindungan penegakan HAM sesuai tuntutan reformasi di Indonesia, sebagai salah satu wujud komitmen Indonesia sebagai anggota PBB maka disusun dan disahkanlah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-Undang HAM memberikan perlindungan Hak Asasi bagi setiap orang karena pada prinsipnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas yang melekat harkat dan martabatnya secara sejajar/setara. Jadi pada prinsipnya perlindungan HAM adalah perlindungan yang bersifat pribadi/perorangan.
Bila kita hadapkan pada konsep perlindungan HAM dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM, terhadap eksistensi hak-hak masyarakat hukum adat atas penguasaan tanah ulayatnya. Apakah cukup relevan. Maka jawabannya adalah relevan bahwa UU tentang HAM memberikan pengakuan atas perlindungan hak masyarakat hukum adat, hal ini didasarkan pada alasan bahwa masyarakat hukum adat juga merupakan kelompok dari orang-orang pribadi yang terikat menurut kesatuan antropologis. Masyarakat hukum adat juga sebagai warganegara, diri pribadi dalam ikatan masyarakat hukum adat yang mempunyai hak asasi secara perseorang yang memiliki hak-hak yang tuangkan dalam bentuk kolektif.Sifat koletifisme tersebut sangat diperlukan baik untuk memelihara eksistensi dan identitas kultural, maupun untuk membangun dan mengembangkan kesejahteraan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat (sumber: Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Komnas HAM, 2006,hlm 10). Oleh karena itu maka perlindungan dan pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM merupakan suatu kebutuhan utama sebagai pedoman bagi masyarakat hukum adat untuk melindungi hak-haknya terutama hak atas tanah ulayat dari prespektif Hak dibidang EKOSOB. Ketentuan perlindungan hak masyarakat ulayat atas tanah ulayatnya sepanjang menurut kenyataannya masih ada telah diatur secara tegas pada Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Sementara pada tataran Hukum internasional. Sumber hukum yang memberikan pengaturan tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat diatur dalam konvensi dan deklarasi, yaitu; Konvensi ILO 169 Tahun 1989 tentang kelompok Minoratas dan masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka secara menyeluruh salah satu diantaranya terdapat pengakuan Hak atas tanah, terdapat beberapa pandangan bagi pentingnya pemerintah RI untuk melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ILO 169 ini pendapat tersebut cukup beralasan bahwa untuk kepentingan mengisi kekosongan hukum khusus mengatur pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat sampai pada disahkannya RUU Masyarakat hukum adat di DPR RI maka dimasukkannya konvensi ILO 169 ke dalam hukum nasional menjadi suatu kebutuhan. Selain dalam konvensi ILO 169, perlindungan hak masyarakat hukum adat juga diatur di dalam Deklarasi PBB tentang Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat. Yang disahkan Pada 13 September 2007 yang mana saat itu indonesia juga menjadi negara pihak yanga turut menyetujui dan menandatangani deklarasi ini.
Penegasan hak-hak kolektif masyarakat Adat atas tanah ulayatnya lebih jelas diatur dalam Deklarasi PBB tentang pengakuan dan perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP 2007) Pasal 26 :
1.      Masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki, tempati atau gunakan atau mereka peroleh secara tradisional;
2.      Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau yang mereka duduki atau gunakan, sebagaiman yang mereka miliki atau sebaliknya mereka peroleh;
3.      Negara akan memberikan pengakuan hukum dan perlindungan atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya ini. Pengakuan tersebut akan dilakukan dengan menghormati adat istiadat, tradisi-tradisi dan sistem kepemilikan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan.
Bila dibandingkan dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya sebagaiman yang diatur dalam Konvensi ILO 1998. Maka pengaturan mengenai pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat dalam deklarasi PBB UNDRIP Tahun 2007 lebih tegas dan jelas mengariskan, pengaturan mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya.
Namun pada praktiknya walau telah ada peraturan-peraturan hukum yang memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanahnya, bukan berarti secara serta merta/otomatis hak-hak masyarakt hukum adat atas tanah ulayatnya terlindungi walaupun anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah secara terus menerus menepati dan mengusahakan tanah ulayatnya. Hal ini dapat terlihat bahwa pada akhir-akhir ini begitu banyak munculnya kasus-kasus sengketa tanah/lahan yang melibatkan masyarakat hukum adat dengan pemerintah maupun dengan perusahaan/investor sehingga berujung pada timbulnya konflik horizontal dan vertikal juga tak jarang berujung pada tindak kekerasan/pembunuhan.menyikapi hal tersebut maka perlu dicari langkah-langkah konktrit bagi upaya penyelesaian dan mengurangi potensi konflik yang mungkin akan muncul. Beberapa tawaran pemikiranpun terus berdatagan dari para ahli hukum dan para ahli pertanahan nasional, diantaranya adalah mendorong pemerintah untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahann terhadap RUU Masyarakat  Hukum Adat, dan diharapkan dalam RUU tersebut  terdapat pengaturan mengenai (4) empat persyaratan konstitusional yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional dapat memperoleh legal standing khusunya bila masyarakat (hukum) adat hendak melakukann upaya hukum untuk melindungi eksistensi hak atas tanah ulayatnya. Berbicara mengenai legal standing masyarakat hukum adat dalam upaya melindungi haknya pada prinsipnya telah ada diatur pada pasal 51 ayat (1) UU No 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi/MK namun untuk memastikan eksistensi masyarakat hukum adat,masih diperukanp pemenuhan beberapa syarat minimal. Adapun syarat-syarat yuridis yang harus dipenuhi agar suatu kelompok masyarakat dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat adalah :
(1) sepanjang masih hidup, (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat, (3) sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI (4) diatur dengan Undang-Undang.
Pada hakikatynya. Penentuan empat (4) syarat yang harus dipenuhi oleh suatu kesatuan kelompok masyarakat Adat. Untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat, masih dalam bentuk rangkuman dari berbagai hasil penafsiran yang bersumber dari UUD 1945 amandemen ke II, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 24 tahun 2003 tentang MK/. Jadi  pengaturan-pengaturan tersebut masih bersifat parsial (tersebar),dab belum dalam bentuk integrasi dalam  bentuk kesatuan peraturan perundang-udangan yang khusus mengatur mengenai masyarakat hukum adat. Sementara untuk menentukan hubungan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya terdapat beberapa pemikiran yang mengariskan penentuan syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk mengakui eksistensi hubungan masyarakat hukum adat terhadap tanahnya, beberapa syarat-syarat tersebut diantaranya :
1        Terdapat masyarakat adatnya sebagai pemegang hak komunal tradisional atas tanah secara turun menurun;
2        Ada pemimpin adat/perangkat pemimpin adat yang melaksanakan ketentuan-ketentuan hak tersebut;
3        Apa yang dilaksanakan, terutama menyangkut tanah ditetapkan dan diperintahkan pimpinan adat masih ditaati oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
4        Terdapat kesadaran bahwa tanah komunal tradisional adalah tanah bersama sehingga harus dipelihara dan  dipertahankan secara bersama-sama;
5        Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek ulayat;
6        Adanya tanah ulayat/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat;
Pengakuan terhadap legal standing masyarakat hukum adat sangat menentukan posisi tawar/bargaining  dari masyarakat hukum adat atas pengakuan eksistensi dan hak-haknya. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan wilayahnya memiliki arti penting untuk menentukan keberadaan masyarakat hukum adat pada suatu wilayah tertentu hal ini juga berisiko  munculnya konflik kepentingan atas penguasaan dan pengelolaan wilayah masyarakat hukum adat apalagi bila kita  berhadapan dengan peraturan hukum/undang-undang yang memberikan hak kepada negara berkaitan dengan Hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan didalamnya salah satunya adalah penguasaan negara atas land/tanah salah satu ditandai dengan disahkannya UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan tepatnya pada Pasal 5  sebagaiman telah dinyatakan sebelumnya bahwa “Hutan negara termasuk juga hutan adat” ketentuan ini bisa menimbulkan banyak penafsiran bisa saja dengan ketentuan tersebut karena semua hutan termasuk hutan adat yang berada di wilayah Indonesia adalah hutan negara maka negara dapat betindak sepihak dalam memberikan ijin pengelolaan/penguasaan hutan yang ada pada wilayah tertentu walaupun harus mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat.
Kebijakan pemerintah yang memberikan ijin sepihak kepada investor tanpa adanya pelibatan masyaraka hukum adat yang menurut kenyataan/ de facto telah memenuhi unsur legal standing merupakan bentuk pelanggaran yang dilakukan negara terhadap warganya yaitu hak masyarakat hukum adat atas tanahnya/teritorialnya, oleh karena itu pemenuhan unsur defacto atas keberadaan masyarakat hukum adat saja belumlah cukup kuat bila dihadapkan pada kondisi-kondisi yang menuntut agar masyarakat hukum adat menjadi pihak dalam perjanjian/kesepakatan dalam proses pemberian konsesi pengelolaan/penguasaan atas tanahnya kepada pihak investor. Langkah-langkah penagamanan hukum. de Jure perlu dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan melalui perangkat pemimpin adat mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah setempat dalam rangka untuk menginventarisasi dan indentifikasi terhadap keberadaan masyarakat hukum adat pada sautu wilayah kabupaten/kota. Upaya ini penting dilakukan oleh masyarakat hukum adat untuk memperlancar, membantu dan mendorong pemerintah daerah setempat menerbitkan dan memberlakukan PERDA tentang  masyarakat hukum adat dan PERDA tentang Tanah Ulayat. Keberadaan perda tersebut sangat menjadi suatu kebutuhan bagi proses permohonan legalisasi guna memberikan perlindungan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak masyarakat hukum adat.
Senada dengan penegasan dari DepartemenKehutanan/Kementrian kehutanan RI bahwa dalam rangka pengakuan keberadaan hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya/tanah ulayatnya maka diberikan peluang kepada masyarakat hukum adat untuk mengklaim tanah ulayatnya, antara lain :
Dengan melakukan pengukuran mengenai batas-batas tanah ulayat,mendorong pembentukan dan pengesahan Peraturan Daerah/PERDA untuk mengakui keberadaan masyarakat Hukum Adat yang ada di dalam wilayahnya, dan meminta legalisasi/pengesahan kepada pemerintah daerah setempat melalui kegiatan identifikasi masyarakat hukum adat yang ada.  Merupakan tawaran langkah alternatif lainnya yang dapat dilakukan, untuk memenuhi syarat-syarat dalam rangka melakukan upaya masyarakat hukum adat bagi kebutuhan untuk mengajukan permohonan penerbitan sertifikat hak atas tanah ulayatnya. (Rda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar