Dasar pemikiran saya, perlu melakukan identifikasi berbagai peraturan hukum nasional yang memberikan perlindungan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat, beserta hak-haknya.Dilatarbelakangi pada kenyataan bahwa
masih minimnya pemahaman hukum dari masyarakat, aparatur
penyelenggara negara, dan penegak hukum mengenai kedudukan hukum dan hak-hak
masyarakat hukum adat yang seharusnya perlu mendapatkan perhatian khusus dalam rangka penghormatan, dan perlindungan. Terutama sekali yang berkaitan dengan pengakuan eksistensi hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya.
Sebagai wujud identitas teritorial masyarakat (hukum) adat yang bersangkutan.
Berbagai peraturan hukum yang telah ada, seharusnya dapat
dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai masalah pertanahan di Indonesia
khsusnya konflik pertanahan yang menepatkan masyarakat hukum adat sebagai
korban, sehingga kasus-kasus pertanahan yang berbuntut pada kekerasan
horizontal maupun vertikal sebagaimana yang terjadi di Mesuji, Sumatera
Selatan, Riua dan Jambi tidak terulang kembali. Selain itu diharapakan juga
dapat memberikan pedoman/pencerahan dalam rangka memberikan pengetahuan bagi
masyarakat khususnya masyarakat hukum adat dalam melindungi hak-haknya, yang
memang menurut kenyataanya masih ada.
Titik awal pengakuan masyarakat adat atas tanah ulayatnya telah
mendapat pengaturan di dalam UU No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agarari,
tepatnya pada Pasal 3 dinyatakan “ dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan
2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada.....”.
UUPA keberadaanya telah dipersiapkan sejak
lama, bahkan sejak Indonesia masih di bawah pemerintahan hindia-belanda pada
tahun 1948. Namun keberadaan UUPA tersebut tidaklah serta merta dapat secara
konsisten diterapkan oleh pemerintah setelah Indoensia mengalami masa
kemerdekaan. Ketidakkonsistenan tersebut lebih disebabkan pada keberpihakan
pemerintah terhadap investor yang bergerak disektor perkebunan oleh karena itu
dibutuhkan pengadaan lahan/tanah dalam jumlah yang luas. Oleh karena itu
dilakukannnya berbagai kebijakan terkait dengan pengadaan tanah-tanah untuk
pelaksanaan pembangunan. Maka untuk kebutuhan tersebut pemerintah mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang tidak jarang menafikan keberadaan hak-hak masyarakat hukum
adat atas suatu tanah ulayat yang memang menurut kenyataanya masih ada, dan
telah bersifat turun menurun menepati lahan tersebut.
Kebijakan pemerintah dalam berbagai bentuk UU yeng mengandung subtasni
melegalkan segala bentuk perampasan tanah yang dilakukan oleh negara kemudian
mengeyampinkan hak-hak masyarakat hukum adat pada sisi lainnya. Salah satunya
dapat kita lihat dalam UU Kehutanan pada Pasal 1 angka 6 dinyatakan “ hutan
adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”
kemudian dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), pada ayat (2) dinyatakan; hutan
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk hutan adat
selanjutnya pada ayat (3) dinyatakan “ pemerintah menetapkan status hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan
sepanjang menurut kenyataanya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada
dan diakui keberadaannya”.
Pasal-pasal
tersebut dapat menimbulkan penafsiran bahwa pengurusan dan pengaturan mengenai
hutan adat yang notabene merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat berada di
bawah penguasaan pemerintah setempat sehingga bukan tidak mungkin pengaturan
dalam pasal tersebut dapat menimbulkan interpretasi yang beragam dalam tataran
pemegang kebijakan didaerah sehingga munculnya berbagai keputusan dari
pemerintah setempat yang memberikan konsesi pengusahaan atas tanah (hutan)
kepada para investor secara sepihak. Dapat muncul kekhawatiran keberadaan pasal
tersebut menimbulkan sikap kesewenang-wenangan pemerintah setempat terhadap
keberadaan/eksistensi masyarakat hukum adat. Selanjutnya pada ketentuan pasal
yang lain dalam UU Kehutanan mengatur mengenai kewajiban negara untuk tetap
menghormati hak-hak masyarakat hukum adat dalam rangka penguasaan hutan yang
menurut kenyataannya masih ada, ketentuan tersebut dinyatakan jelas dalam Pasal
4 ayat (3) UU Kehutanan, namun seberapa besar kefektifan pasal tersebut dalam
rangka pelaksanaan kewenagan hak menguasai negara atas tanah hutan adat yang telah digariskan dalam Pasal 4 ayat (1)
dan (2) jo Pasal 5 ayat (1) sampai ayat (4) masih diragukan namun ketentuan
pasal-pasal yang masih terdapat ambigiutas tersebut tidak pula serta merta meniadakan pengakuan terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya, sehingga dapat disimpulkan dengan
beberapa kelemahan dalam pengaturan di bidang perlindungan Hak masyarakat hukum
adat atas tanah ulayatanya paling tidak UU No 41 tahun 1999 telah mengatur
perlindungan bagi hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya.
Dasar
konstitusi yang mengatur mengenai perlindungan hak masyarakat hukum adat baru
mendapat pengaturan, setelah dilakukan amandemen ke II UUD 1945, tepatnya pada
Pasal 18 B ayat (2) jo Pasal 28I ayat (3), amandemen ini sahkan pemberlakuannya
pada tahun 2000, sedangkan sebelum dilakukannya amandemen ke II ini dalam UUD
1945 belum ada satu pasalpun yang menegaskan perlindungan bagi hak-hak
masyarakat hukum adat/tradisional yang ada di wilayah Indonesia, tidak
diaturnya pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-hak
masyarakat hukum adat. Latar belakang tidak diaturnya mengenai perlindungan hak
masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 oleh para founding father Indonesia karena
para pemegan kebijakan pada masa itu menilai bahwa negara baru yang akan
dibentuk adalah suatu negara yang tetap memelihara semangat hubungan panguyuban
antara rakyatnya-walaupun dalam tatanan kenegaraan secara formal akan bersifat
hubungan petembayan, oleh sebab itu hampir semua para pendiri negara menolak
dicantumkannya pasal-pasal HAM dalam UUD 1945, yang saat itu HAM difahami
sebagai manifestasi individualisme.
Dalam
perkembangan bagi pelaksanaan nilai-nilai DUHAM 1940 dan tuntutan perlindungan
penegakan HAM sesuai tuntutan reformasi di Indonesia, sebagai salah satu wujud
komitmen Indonesia sebagai anggota PBB maka disusun dan disahkanlah UU No 39
Tahun 1999 tentang HAM. Undang-Undang HAM memberikan perlindungan Hak Asasi
bagi setiap orang karena pada prinsipnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas
yang melekat harkat dan martabatnya secara sejajar/setara. Jadi pada prinsipnya
perlindungan HAM adalah perlindungan yang bersifat pribadi/perorangan.
Bila
kita hadapkan pada konsep perlindungan HAM dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang
HAM, terhadap eksistensi hak-hak masyarakat hukum adat atas penguasaan tanah
ulayatnya. Apakah cukup relevan. Maka jawabannya adalah relevan bahwa UU
tentang HAM memberikan pengakuan atas perlindungan hak masyarakat hukum adat,
hal ini didasarkan pada alasan bahwa masyarakat hukum adat juga merupakan
kelompok dari orang-orang pribadi yang terikat menurut kesatuan antropologis.
Masyarakat hukum adat juga sebagai warganegara, diri pribadi dalam ikatan
masyarakat hukum adat yang mempunyai hak asasi secara perseorang yang memiliki
hak-hak yang tuangkan dalam bentuk kolektif.Sifat koletifisme tersebut sangat
diperlukan baik untuk memelihara eksistensi dan identitas kultural, maupun
untuk membangun dan mengembangkan kesejahteraan yang lebih tinggi, terutama hak
atas tanah ulayat (sumber: Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum
Adat, Komnas HAM, 2006,hlm 10). Oleh karena itu maka perlindungan dan
pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM
merupakan suatu kebutuhan utama sebagai pedoman bagi masyarakat hukum adat
untuk melindungi hak-haknya terutama hak atas tanah ulayat dari prespektif Hak
dibidang EKOSOB. Ketentuan perlindungan hak masyarakat ulayat atas tanah
ulayatnya sepanjang menurut kenyataannya masih ada telah diatur secara tegas
pada Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Sementara
pada tataran Hukum internasional. Sumber hukum yang memberikan pengaturan
tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat diatur dalam
konvensi dan deklarasi, yaitu; Konvensi ILO 169 Tahun 1989 tentang kelompok
Minoratas dan masyarakat hukum adat di negara-negara merdeka secara menyeluruh
salah satu diantaranya terdapat pengakuan Hak atas tanah, terdapat beberapa
pandangan bagi pentingnya pemerintah RI untuk melakukan ratifikasi terhadap
Konvensi ILO 169 ini pendapat tersebut cukup beralasan bahwa untuk kepentingan
mengisi kekosongan hukum khusus mengatur pengakuan dan perlindungan hak
masyarakat hukum adat sampai pada disahkannya RUU Masyarakat hukum adat di DPR
RI maka dimasukkannya konvensi ILO 169 ke dalam hukum nasional menjadi suatu
kebutuhan. Selain dalam konvensi ILO 169, perlindungan hak masyarakat hukum
adat juga diatur di dalam Deklarasi PBB tentang Pengakuan Hak-Hak Masyarakat
Adat. Yang disahkan Pada 13 September 2007 yang mana saat itu indonesia juga
menjadi negara pihak yanga turut menyetujui dan menandatangani deklarasi ini.
Penegasan
hak-hak kolektif masyarakat Adat atas tanah ulayatnya lebih jelas diatur dalam
Deklarasi PBB tentang pengakuan dan perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat
(UNDRIP 2007) Pasal 26 :
1. Masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber daya
yang mereka miliki, tempati atau gunakan atau mereka peroleh secara
tradisional;
2. Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan,
mengembangkan dan mengontrol tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki
atas dasar kepemilikan tradisional atau yang mereka duduki atau gunakan,
sebagaiman yang mereka miliki atau sebaliknya mereka peroleh;
3. Negara akan memberikan pengakuan hukum dan perlindungan atas
tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya ini. Pengakuan
tersebut akan dilakukan dengan menghormati adat istiadat, tradisi-tradisi dan
sistem kepemilikan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan.
Bila
dibandingkan dengan pengakuan hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya
sebagaiman yang diatur dalam Konvensi ILO 1998. Maka pengaturan mengenai pengakuan
dan perlindungan hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat dalam deklarasi
PBB UNDRIP Tahun 2007 lebih tegas dan jelas mengariskan, pengaturan mengenai
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah
ulayatnya.
Namun
pada praktiknya walau telah ada peraturan-peraturan hukum yang memberikan
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas
tanahnya, bukan berarti secara serta merta/otomatis hak-hak masyarakt hukum
adat atas tanah ulayatnya terlindungi walaupun anggota masyarakat hukum adat
yang bersangkutan telah secara terus menerus menepati dan mengusahakan tanah
ulayatnya. Hal ini dapat terlihat bahwa pada akhir-akhir ini begitu banyak
munculnya kasus-kasus sengketa tanah/lahan yang melibatkan masyarakat hukum
adat dengan pemerintah maupun dengan perusahaan/investor sehingga berujung pada
timbulnya konflik horizontal dan vertikal juga tak jarang berujung pada tindak
kekerasan/pembunuhan.menyikapi hal tersebut maka perlu dicari langkah-langkah
konktrit bagi upaya penyelesaian dan mengurangi potensi konflik yang mungkin
akan muncul. Beberapa tawaran pemikiranpun terus berdatagan dari para ahli
hukum dan para ahli pertanahan nasional, diantaranya adalah mendorong
pemerintah untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahann terhadap RUU
Masyarakat Hukum Adat, dan diharapkan
dalam RUU tersebut terdapat pengaturan
mengenai (4) empat persyaratan konstitusional yang harus dipenuhi agar suatu
masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional dapat memperoleh legal
standing khusunya bila masyarakat (hukum) adat hendak melakukann upaya
hukum untuk melindungi eksistensi hak atas tanah ulayatnya. Berbicara mengenai legal
standing masyarakat hukum adat dalam upaya melindungi haknya pada
prinsipnya telah ada diatur pada pasal 51 ayat (1) UU No 24 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Konstitusi/MK namun untuk memastikan eksistensi masyarakat hukum
adat,masih diperukanp pemenuhan beberapa syarat minimal. Adapun syarat-syarat yuridis
yang harus dipenuhi agar suatu kelompok masyarakat dapat dikategorikan
sebagai masyarakat hukum adat adalah :
(1)
sepanjang masih hidup, (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat, (3) sesuai
dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI (4) diatur dengan Undang-Undang.
Pada
hakikatynya. Penentuan empat (4) syarat yang harus dipenuhi oleh suatu kesatuan
kelompok masyarakat Adat. Untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum
adat, masih dalam bentuk rangkuman dari berbagai hasil penafsiran yang
bersumber dari UUD 1945 amandemen ke II, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU
No 24 tahun 2003 tentang MK/. Jadi pengaturan-pengaturan tersebut masih bersifat
parsial (tersebar),dab belum dalam bentuk integrasi dalam bentuk kesatuan peraturan perundang-udangan
yang khusus mengatur mengenai masyarakat hukum adat. Sementara untuk menentukan
hubungan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya terdapat beberapa
pemikiran yang mengariskan penentuan syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk
mengakui eksistensi hubungan masyarakat hukum adat terhadap tanahnya, beberapa
syarat-syarat tersebut diantaranya :
1
Terdapat
masyarakat adatnya sebagai pemegang hak komunal tradisional atas tanah secara
turun menurun;
2
Ada pemimpin
adat/perangkat pemimpin adat yang melaksanakan ketentuan-ketentuan hak
tersebut;
3
Apa yang
dilaksanakan, terutama menyangkut tanah ditetapkan dan diperintahkan pimpinan
adat masih ditaati oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
4
Terdapat kesadaran
bahwa tanah komunal tradisional adalah tanah bersama sehingga harus dipelihara
dan dipertahankan secara bersama-sama;
5
Adanya
masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek ulayat;
6
Adanya tanah
ulayat/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan
obyek hak ulayat;
Pengakuan
terhadap legal standing masyarakat hukum adat sangat menentukan posisi
tawar/bargaining dari masyarakat hukum
adat atas pengakuan eksistensi dan hak-haknya. Hubungan antara masyarakat hukum
adat dengan wilayahnya memiliki arti penting untuk menentukan keberadaan
masyarakat hukum adat pada suatu wilayah tertentu hal ini juga berisiko munculnya konflik kepentingan atas penguasaan
dan pengelolaan wilayah masyarakat hukum adat apalagi bila kita berhadapan dengan peraturan
hukum/undang-undang yang memberikan hak kepada negara berkaitan dengan Hak
menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan didalamnya salah satunya adalah
penguasaan negara atas land/tanah salah satu ditandai dengan disahkannya UU No
41 Tahun 1999 tentang kehutanan tepatnya pada Pasal 5 sebagaiman telah dinyatakan sebelumnya bahwa
“Hutan negara termasuk juga hutan adat” ketentuan ini bisa menimbulkan banyak
penafsiran bisa saja dengan ketentuan tersebut karena semua hutan termasuk
hutan adat yang berada di wilayah Indonesia adalah hutan negara maka negara
dapat betindak sepihak dalam memberikan ijin pengelolaan/penguasaan hutan yang
ada pada wilayah tertentu walaupun harus mengabaikan keberadaan dan hak-hak
masyarakat hukum adat.
Kebijakan
pemerintah yang memberikan ijin sepihak kepada investor tanpa adanya pelibatan
masyaraka hukum adat yang menurut kenyataan/ de facto telah memenuhi
unsur legal standing merupakan bentuk pelanggaran yang dilakukan negara
terhadap warganya yaitu hak masyarakat hukum adat atas tanahnya/teritorialnya,
oleh karena itu pemenuhan unsur defacto atas keberadaan masyarakat hukum adat
saja belumlah cukup kuat bila dihadapkan pada kondisi-kondisi yang menuntut
agar masyarakat hukum adat menjadi pihak dalam perjanjian/kesepakatan dalam
proses pemberian konsesi pengelolaan/penguasaan atas tanahnya kepada pihak
investor. Langkah-langkah penagamanan hukum. de Jure perlu dilakukan
oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan melalui perangkat pemimpin adat
mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah setempat dalam rangka untuk
menginventarisasi dan indentifikasi terhadap keberadaan masyarakat hukum adat
pada sautu wilayah kabupaten/kota. Upaya ini penting dilakukan oleh masyarakat
hukum adat untuk memperlancar, membantu dan mendorong pemerintah daerah
setempat menerbitkan dan memberlakukan PERDA tentang masyarakat hukum adat dan PERDA tentang Tanah
Ulayat. Keberadaan perda tersebut sangat menjadi suatu kebutuhan bagi proses
permohonan legalisasi guna memberikan perlindungan hukum terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat dan hak-hak masyarakat hukum adat.
Senada
dengan penegasan dari DepartemenKehutanan/Kementrian kehutanan RI bahwa dalam
rangka pengakuan keberadaan hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya/tanah
ulayatnya maka diberikan peluang kepada masyarakat hukum adat untuk mengklaim
tanah ulayatnya, antara lain :
Dengan
melakukan pengukuran mengenai batas-batas tanah ulayat,mendorong pembentukan
dan pengesahan Peraturan Daerah/PERDA untuk mengakui keberadaan masyarakat
Hukum Adat yang ada di dalam wilayahnya, dan meminta legalisasi/pengesahan
kepada pemerintah daerah setempat melalui kegiatan identifikasi masyarakat
hukum adat yang ada. Merupakan tawaran langkah
alternatif lainnya yang dapat dilakukan, untuk memenuhi syarat-syarat dalam
rangka melakukan upaya masyarakat hukum adat bagi kebutuhan untuk mengajukan
permohonan penerbitan sertifikat hak atas tanah ulayatnya. (Rda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar