Sepertinya tahun 2013 bisa menjadi tahun kemenangan konstitusional bagi teman-teman yang telah concern memperjuangkan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya. Mungkin ini bisa menjadi bahan pengingat bagi kita, bahwa perjuangan ini memang terbilang panjang. Berawal pada pengajuan gugatan uji materi di MK pada 2012 sampai pada keputusan MK yang dibacakan pada 16 mei 2013. Besarnya concern koalisi masyarakat (adat&Ngo) melakukan uji materil terhadap UU Kehutanan, dan UU Perkebunan ini Lebih dilatarbelakangi pada motivasi mendasar yakni memberikan porsi pemikiran terhadap pentingnya memberikan jaminan perlindungan hukum mengenai status penentuan kawasan hutan, dan penghormatan terhadap hak-hak penguasaan masyarakat adat yang ada di dalamnya.
Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah Apakah tanah adat akan tetap berada sebagai bagian tanah
negara yang mutlak atau akan dilepaskan dari bagian tanah negara menjadi kesatuan sendiri dan terpisah. Meluruskan pengaturan bahwa tanah adat tidaklah otomatis
sebagai tanah negara yang mutlak maka dari perubahan tersebut diharapkan dapat mengurangi
praktik-praktik penyelewengan kekuasaan negara melalui aparaturnya yang mana
selama ini praktik-praktik tersebut kerap terjadi.
Salah satu kasus yang
paling mencolok adalah tindakan-tindakan penguasa yang mengatasnamakan negara
melakukan klaim sepihak bahwa semua tanah adat sebagai tanah negara, dan
disayangkan lagi memang tindakan tersebut secara tidak langsung kemudian dilegalkan dalam ketentuan UU Kehutanan dengan dalih untuk kepentingan invenstasi dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Mudahnya klaim sepihak
dari negara tersebut juga didukung pada kenyatannya bahwa sampai saat ini belum adanya kepastian hukum yang melindungi eksistensi hak-hak masyarakat
adat atas tanah ulayatnya. Apalagi bila mereka berhadapan dengan kekuatan para
pemilik investas besar/pemodal besar yang ingin menanamkan sahamnya sehingga membutuhkan lahan yang cukup luas.
Melalui
Perjuangan panjang rekan CSO dan beberapa koalisi masyarakat adat nasional mengajukan gugatan materil ke MK terhadap ketentuan UU Kehutanan yang pada akhir perjuangan konstitusional tersebut memberikan hasil yang tidak sia-sia. Hal ini terbukti dengan
dimenangkannya gugatan mereka di dalam sidang MK.
Dalam putusannya para
hakim MK membatalkan beberapa Pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945
dan dinilai berpeluang mencedari rasa keadilan masyarakat adat atas hak tanah
adat mereka yang berada di dalam kawasan hutan. Berdasarkan keputusan MK yang telah dibacakan pada tanggal 16 mei
2013. (lihat Keputusan MK No 35/PUU-X/2012) Melalui putusannya, MK telah melakukan
uji materi terhadap beberap pasal yang digugat adapun pasal-pasal yang dibatalkan
tersebut meliputi
ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan dinyatakan ”hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, kemudian membatalkan
ketentuan Pasal 4 ayat 3 yang awalnya berbunyi ”penguasaan hutan oleh negara
tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat.......” dirubah dengan tambahan
menjadi berbunyi ” penguasaan hutan oleh negara wajib tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat...”, kemudian
merubah isi ketentuan Pasal 5 ayat (2) yang awalnya dinyatakan ”hutan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, juga termasuk hutan adat”, menjadi ”
hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan
adat”. Perubahan isi redaksi dalam ketentuan pasal-pasal tersebut jelas
menunjukkan bahwa dalam penafsirannya majelis hakim MK menolak adanya monopoli
negara atas tanah adat karena pada kenyataannya. Tanah adat juga merupakan tanah
hak adat yang dimiliki oleh suatu komunitas hukum adat yang bersifat turun
menurun dan sepanjanga dapat dibuktikan, keberadaanya secara nyata/ secara de
facto bahwa memang masyarakat tersebut masih ada, dengan bukti-bukti yang
melekat padanya. Oleh karena itu, negara melalui perangkatnya berkewajiban
memeriksa/melacak kepastian keberadaan masyarakat adat di atas tanahnya berdasarkan
fakta-fakta yang ada.
Beberap isi keputusan tersebut
terdapat beberapa prinsip mendasar yang perlu menjadi catatan. yakni mengenai
bahwa secara otomatis MK telah menghapuskan konsep hak penguasaan negara secara
otomatis atas tanah-tanah adat, yang mana konsep ini hampir sama dengan asas domein verklaring yang pernah berlaku
pada zaman hindia-belanda. Dan kemudian memisahkan pengaturan mengenai hutan
adat menjadi memiliki status pengaturan yang terpisah/tersendiri. Kemudian MK
juga mewajibkan kepada pemerintah untuk melakukan identifikasi secara seksama,
dan menghormati keberadaan masyaraka adat yang berada di atas tanah negara.
Tapi yang akan menjadi pertanyaan
besar, adalah mengenai bagaimana Keputusan ini dapat dilaksanakan secara
efektif. Sementara payung hukum yang khusus mengatur mengenai masyarakat adat
sampai saat ini masih belum ada kemudian pertanyaan
yang akan muncul adalah Bagaimana pemerintah dapat mengefektifkan perangkat-perangkat
hukum baik pusat dan daerah untuk melakukan identifikasi terhadap
keberadaan masyarakat adat yang terseber di seluruh wilayahnya yang
tentu jumlahnya cukup banyak.
Memang pada tataran perjuangan
konstitusi, dapat dikatakan berhasil namun yang masih perlu menjadi catatan
penting lainnya, adalah apakah langkah-langkah yang perlu dilakukan selanjutnya dalam rangka pelaksanaan pengelolaan, penguasaan dan pemanfatan hutan adat pada tataran praktiknya. Oleh karena itu, langkah lebih lanjut yang perlu didorong adalah mengenai bagaimana UU yang mengatur
mengenai masyarakar adat secara nasional dapat segera disahkan. Paling tidak
dengan UU masyarakat Hukum adat diharapkan dapat menjadi dasar hukum bagi negara dan sebagai wujud pengakuan hukum dari negara terhadap keberadaan
masyarakat adat dan hak-hak yang melekat di dalamnya.
Lebih lanjut, diharapkan kepada
pemerintah segera memulai kerja besarnya, Pertama : segera melakukan identifikasi
terhadap keberadaan masyarakat adat, melakukan identifikasi batas-batas
teritorial/tanah ulayat masyarakat adat, dan mulai menyusun Perda
Masyarakat Adat secara menyeluruh berdasarkan kearifan lokal yang ada. Karena bila tidak, maka keputusan MK tersebut hanya akan bergerak
dalam tataran normatif semata sehinga sulit untuk dipraktikan sehingga masyarakat adat
akan terus menjadi pihak yang rentan dari segala bentuk potensi pelanggaran. (rda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar