Sabtu, 18 Mei 2013

Sepertinya memang...... MASIH HARUS MENUNGGU KOMITMEN PEMERINTAH UNTUK MELAKSANAKAN PUTUSAN MK merevisi UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbasis pada perlindungan hak masyarakat adat



Sepertinya tahun 2013 bisa menjadi tahun kemenangan  konstitusional bagi teman-teman yang telah concern memperjuangkan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayatnya. Mungkin ini bisa menjadi bahan pengingat bagi kita, bahwa perjuangan ini memang terbilang panjang. Berawal pada pengajuan gugatan uji materi di MK  pada 2012 sampai pada keputusan MK yang dibacakan pada 16 mei 2013. Besarnya concern koalisi masyarakat (adat&Ngo) melakukan uji materil terhadap UU Kehutanan, dan  UU Perkebunan ini Lebih dilatarbelakangi pada motivasi mendasar yakni memberikan porsi pemikiran terhadap pentingnya memberikan jaminan perlindungan hukum mengenai status penentuan kawasan hutan, dan penghormatan terhadap hak-hak penguasaan masyarakat adat yang ada di dalamnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah Apakah tanah adat akan tetap berada sebagai bagian tanah negara yang mutlak atau akan dilepaskan dari bagian tanah negara menjadi kesatuan sendiri dan terpisah. Meluruskan pengaturan bahwa tanah adat tidaklah otomatis sebagai tanah negara yang mutlak maka dari perubahan tersebut diharapkan dapat mengurangi praktik-praktik penyelewengan kekuasaan negara melalui aparaturnya yang mana selama ini praktik-praktik tersebut kerap terjadi.
Salah satu kasus yang paling mencolok adalah tindakan-tindakan penguasa yang mengatasnamakan negara melakukan klaim  sepihak bahwa semua tanah adat sebagai tanah negara, dan disayangkan lagi memang tindakan tersebut secara tidak langsung kemudian dilegalkan  dalam ketentuan UU Kehutanan dengan dalih untuk kepentingan invenstasi dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Mudahnya klaim sepihak dari negara tersebut juga didukung pada kenyatannya bahwa sampai saat ini belum adanya kepastian hukum yang melindungi eksistensi hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya. Apalagi bila mereka berhadapan dengan kekuatan para pemilik investas besar/pemodal besar yang ingin menanamkan sahamnya sehingga membutuhkan lahan yang cukup luas.
  Melalui Perjuangan panjang rekan CSO dan beberapa koalisi masyarakat adat nasional mengajukan gugatan materil ke MK terhadap ketentuan UU Kehutanan yang pada akhir perjuangan konstitusional tersebut memberikan hasil yang tidak sia-sia. Hal ini terbukti dengan dimenangkannya gugatan mereka di dalam sidang MK.
Dalam putusannya para hakim MK membatalkan beberapa Pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan dinilai berpeluang mencedari rasa keadilan masyarakat adat atas hak tanah adat mereka yang berada di dalam kawasan hutan. Berdasarkan keputusan MK yang telah dibacakan pada tanggal 16 mei 2013. (lihat Keputusan MK No 35/PUU-X/2012) Melalui putusannya, MK telah melakukan uji materi terhadap beberap pasal yang digugat adapun pasal-pasal yang dibatalkan tersebut meliputi ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan dinyatakan ”hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, kemudian membatalkan ketentuan Pasal 4 ayat 3 yang awalnya berbunyi ”penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat.......” dirubah dengan tambahan menjadi berbunyi ” penguasaan hutan oleh negara wajib tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat...”, kemudian merubah isi ketentuan Pasal 5 ayat (2) yang awalnya dinyatakan ”hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, juga termasuk hutan adat”, menjadi ” hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”. Perubahan isi redaksi dalam ketentuan pasal-pasal  tersebut jelas menunjukkan bahwa dalam penafsirannya majelis hakim MK menolak adanya monopoli negara atas tanah adat karena pada kenyataannya. Tanah adat juga merupakan tanah hak adat yang dimiliki oleh suatu komunitas hukum adat yang bersifat turun menurun dan sepanjanga dapat dibuktikan, keberadaanya secara nyata/ secara de facto bahwa memang masyarakat tersebut masih ada, dengan bukti-bukti yang melekat padanya. Oleh karena itu, negara melalui perangkatnya berkewajiban memeriksa/melacak kepastian keberadaan masyarakat adat di atas tanahnya berdasarkan fakta-fakta yang ada.
            Beberap isi keputusan tersebut terdapat beberapa prinsip mendasar yang perlu menjadi catatan. yakni mengenai bahwa secara otomatis MK telah menghapuskan konsep hak penguasaan negara secara otomatis atas tanah-tanah adat, yang mana konsep ini hampir sama dengan asas domein verklaring yang pernah berlaku pada zaman hindia-belanda. Dan kemudian memisahkan pengaturan mengenai hutan adat menjadi memiliki status pengaturan yang terpisah/tersendiri. Kemudian MK juga mewajibkan kepada pemerintah untuk melakukan identifikasi secara seksama, dan menghormati keberadaan masyaraka adat yang berada di atas tanah negara.
            Tapi yang akan menjadi pertanyaan besar, adalah mengenai bagaimana Keputusan ini dapat dilaksanakan secara efektif. Sementara payung hukum yang khusus mengatur mengenai masyarakat adat sampai saat ini masih belum ada kemudian pertanyaan yang akan muncul adalah Bagaimana pemerintah dapat mengefektifkan perangkat-perangkat hukum baik pusat dan daerah untuk melakukan identifikasi terhadap keberadaan masyarakat adat yang terseber di seluruh wilayahnya yang tentu jumlahnya cukup banyak.
            Memang pada tataran perjuangan konstitusi, dapat dikatakan berhasil namun yang masih perlu menjadi catatan penting lainnya, adalah apakah langkah-langkah yang perlu dilakukan selanjutnya dalam rangka pelaksanaan pengelolaan, penguasaan dan pemanfatan hutan adat pada tataran praktiknya.  Oleh karena itu, langkah lebih lanjut yang perlu didorong adalah mengenai bagaimana UU yang mengatur mengenai masyarakar adat secara nasional dapat segera disahkan. Paling tidak dengan UU masyarakat Hukum adat diharapkan dapat menjadi dasar hukum bagi negara dan sebagai wujud pengakuan hukum dari negara terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-hak yang melekat di dalamnya.
 Lebih lanjut, diharapkan kepada pemerintah segera memulai kerja besarnya,  Pertama : segera melakukan identifikasi terhadap keberadaan masyarakat adat, melakukan identifikasi batas-batas teritorial/tanah ulayat masyarakat adat, dan mulai menyusun Perda Masyarakat Adat secara menyeluruh berdasarkan kearifan lokal yang ada. Karena bila tidak, maka keputusan MK tersebut hanya akan bergerak dalam tataran normatif semata sehinga sulit untuk dipraktikan  sehingga masyarakat adat akan terus menjadi pihak yang  rentan dari segala bentuk potensi pelanggaran. (rda)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar