Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di permukaan
dan dalam perut bumi merupakan anugrah tuhan yang patut disyukuri oleh bangsa
Indonesia. Segala bentuk kekayaan alam yang ada di seluruh wilayah Indonesia
menjadi modal besar bagi bangasa Indonesia untuk memberikan kesehajteraan bagi
seluruh masyarakat Indonesia, meningkatkan mutu dan kualitas kehidupan bangsa
dan terakhir bertujuan untuk menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa
maju lainnya.
Negara
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas wilayahnya, maka secara langsung
melekat tanggung jawab penuh kepada masyarakat. Melalui sarana
kekuasaan/kewenangan yang ada padanya negara berkewajiban untuk mengatur,
memimpin, mengrahkan rakyatnya dalam rangka untuk mencapai cita-cita
bersama/nasional. Begitu pula terhdap masalah pengelolaan dan/atau penguasaan
bumi, air dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya, atau yang lebih dikenal
dengan istilah sumber daya alam. Dimana negara bertanggung jawab untuk memimpin
dan mengelolanya secara benar dan terarah. Maksud terarah adalah negara
memimpin dalam rangka untuk mengelola
dan memanfaatkannya. Pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan Sumber kekayaan
alam tersebut berpedoman pada asas
kelestarian dan berkeadilan masyarakat. Demi untuk tujuan bersama yaitu
kesejahteraan rakyat dan bukan kesejahteraan segelintir orang saja.
Konsep
pelaksanaan kewenangan/kekuasaan negara melalui aparaturnya yaitu pemerintah
adalah lebih diartikan untuk mempermudah pelaksanaan teknis dalam melakukan
fungsi-fungsi seperti
merngarahkan/mengkorrdinir pengelolaan dan pemanfaatan Sumber daya(kekayaan)
alam yang berada di dalam teritorialnya
yang dituangkan dalam bentuk penerbitan kebijakan dan melakukan pengawasan.
Sementara kebijakan yang diambil pemerintah idealnya lebih dititik beratkan
pada tujuan sebesar-besarnya untuk
kepentingan umum/masyarakat, lebih dikenal dengan konsep “kebijakan negara
dibidang agraria”.
Berbicara mengenai ”kebijakan” maka akan mengacu
pada “polcy / public policy”. Menurut
William Dunn, freedmen dkk menerjemahkan bahwa public policy biasanya dikaitkan dengan “keputusan pemerintah,
karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan
masyarakat, dan bertanggung jawab melayani masyarakat/kepentingan umum” jadi
arti kebijakan pemerintah disini adalah keputsan pemerintah yang relatif umum,
dan ditujukan kepada masyarakat umum. Selanjutnya menurut Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu”, pendapat ahli lainnya seperti; Easton mendefinisikan bahwa “kebijakan
pemerintah sebagai suatu bentuk kekuasaan yang mengalokasikan
nilai-nilai/peraturan untuk masyarakat secara umum”, Sementara Laswell dan Kaplan melihat kebijakan sebagai” sarana untuk mencapai tujuan
karena kebijakan lebih sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan
tujuan, nilai dan praktik, dan tujuan
merupakan hal utama dari adanya suatu kebijakan”(sumber: Massofa.wordpress.com dikunjungi pada 04 Mei 2012)
Pendapat para ahli tersebut menegaskan pada
kesamaan konsep bahwa kebijakan merupakan produk dari penguasan dalam hal ini
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk mengeluarkan peraturan-peraturan
hukum yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat pada tataran publik.sementara
pengertian mengenai agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama hal ini
dikarnakan cukup luasnya makna/pengertian agraria itu sendiri ada beberapa
literatur yang mendefinisikan bahwa agraria berarti urusan pertanian atau atau
tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah (Balai Pustaka, Jakarta).
Sedangkan pengertian agraria menurut UUPA lebih mengacu pada pembatasan
agararia dalam arti luas yakni, “meliputi;
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kemudian bila ditambah
pada pengertian dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam pasal 48,
bahkan meliputi ruang angkasa” (Boedi Harsono,Djambatan, Jakarta)
Berdasarkan uraian tersebut, maka kebijakan agraria dapat
diartikan sebagai “Keputusan pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kewenangan pada
tataran publik melalui pembentukan perundang-undangan yang memuat pengaturan
dan mengkoordinir mengenai peruntukan, penyediaan/pengadaan dan pemannfaatan
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi yang ada dalam
wilayah Indonesia, yang dipergunakan sebesar-sebarnya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyaraka”,
Jadi
Pemerintah membentuk ketentuan Undang-Undang Agararia ditujukan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kebijakan
agraria nasional ditandai dengan lahirnya UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960
dalam Undang-Undang tersebut juga melatakkan dasar-dasar Politik Penguasaan
sumber-sumber kekayaan alam/agararia oleh Negara sebagai perwujudan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945. Dalam perkebangannya, untuk menyesuaikan terhadap kebutuhan
penataan ulang hukum agraria dengan memasukkan prinsip-prinsip perlindungan
hak-hak masyarakat, kemduian disahkannya TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kedua peraturan tersebut
kemudian menjadi pedoman pokok mengenai kebijakan agrarian, yang bersifat
nasional.
Bila
kita cermati secara seksama pada hakikatnya UUPA merupakan pengaturan agraria
yang masing bersifat umum, belum bersifat sektoral karena bila kita runut lebih
khusus lagi, maka pengertian agraria merupakan suluruh permukaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung diatas permukaan bumi, termasuk didalam perut
bumi, yang menurut konsep ilmu kebumian/geologi lebih dikenal dengan istilah
Sumber Daya Alam (SDA).Hal penting lainnya kemudian UUPA mejadi udang-undang
pokok agrarian karena di dalam salah satu ketentuan telah secara tegas
meletakkan bentuk politik penguasaan agraria yang bersifat nasional, ketentuan
ini bisa kita liha dalam pasa 2 ayat (1).
“Atas
dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD, dan hal-hal sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 1 dinyatakan bahawa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi tertinggi dari suatu wilayah dan seluruh rakyatnya”,
selanjutnya dalam ayat (3) pada pasal yang sama
“wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada
ayat (2), pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Senada dengan bunyi kedua ayat pada pasal-pasal tersebut secara tidak langsung
telah pula menguatkan bahwa UUPA sebagai wujud kebijkan Negara di bidang
Agraria, sekaligus sebagai bentuk politik penguasaan agraria yang bersifat
nasional.
Melihat permasalahan mengenai
agraria yang hanya berpedoman pada UUPA maka ketentuan/pengaturan mengenai
agraria masih bersifat luas belum mengatur hal-hal khsus yang bersifat sektoral
karena belum adanya pengaturan sektoral yang mengatur penguasaan/penggunaan tanah/permukaan bumi.
Belum adanya pengaturan mengenai pengelolaan dan penguasaan disektor sumber
daya (kekayaan) alam yang berada di atas dan di dalam perut bumi seperti;
kehutanan, pertambangan dan sektor lainnya.
Maka
atas pertimbangan mengenai keterbatasan mengenai hal-hal yang diatur dalam UUPA,
akan dapat ditemukan beberapa kesulitan dalam rangka pelaksanaan hak menguasai
Negara atas Agraria/SDA. Oleh karena itu, Negara melalui kekuasaan pemerintah
menilai penting mengenai adanya kebutuhan bagi pemerintah sebagai pelaksanaan
kekuasaan Negara untuk segera membentuk dan melahirkan beberapa kebijakan
strategis di bidang agrarian. Diantaranya kebijakan disektor kehutanan,
perkebunan, pertambangan dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya. Pembentukan
kebijakan-kebijakan yang bersifat sektoral tersebut, tidak lain adalah untuk
mempermudah Negara melalui pemerintah untuk mengkoordinir/memimpin,dan
mengarahkan setiap praktik pengelolaan, penguasan dan pemanfaatan sumber-sumber
daya alam yang ada di dalam wilaya Indonesia . Namun dalam setiap
proses pembentukan masing-masing kebijakan tersebut, tetap harus mengacu pada
kebijakan pokok agraria yang tertuang dalam UU No 5 tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria, dan Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan SDA. Khususnya mengenai konsep hak penguasaan Negara atas bumi, air
dan dan kekayaan yang terkandung didalam permukaan bumi yang ditujukan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Pada
sisi lain masih terdapat satu hal yang tak kalah penting untuk menjadi pertimbangan, khsusnya; bagi
pemerintah pusat dalam membentuk kebijakan nasional di bidang agrarian. Dimana
kebijakan tersebut selayaknya dapat menyingkronkan terhadap berbagai
ketentuan/pengaturan agraria yang akan dibentuk di daerah bersifat
otonomi.Beberapa kewenangan pemerintah di daerah untuk membuat
kebijakan-kebijakan yang akan berlaku di daerahnya khusunya bidang agrarian,
sebagaimana yang telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Pada akhirnya diharapkan akan dapat terbentuknya kebijakan yang bersifat
koordinatif antara pusat dan daerah, untuk menghindari munculnya tumpang tindih
pengaturan/kebijakan dibidang agrarian, dan dapat meminamilisir timbulnya
tumpang tindih kebijakan.
Terdapat
beberapa sektor pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kekayaan agraria, yang
patut menjadi perhatian dalam kebijakan di bidang agrarian diantaranya:
penguasaan negara di bidang agraria di sektor pemanfaatan atas tanah/bumi,
Penguasan agraria di sektor Kehutanan, dan penguasaan agrarian di sektor
Pertambangan, dan pada sektor-sektor sumber daya kekayaan agraria lainnya, yang
pada prinsipnya juga mempunyai peran penting bagi penguasaan hajat hidup orang
banyak, yang dalamkaitan ini akan dijabarkan ke dalam beberapa bentuk kebijakan
pemerintah di bidang agrarian, diantaranya :
1.
Kebijakan Agraria disektor
pertanahan
Tanah merupakan bagian permukaan bumi yang memiliki
fungsi penting bagi kehudupan manusia di suatu wilayah. Tanah merupakan bagian
Sumber Daya Alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka dari itu keberadaan
tanah mempunyai nilai sangat strategis dibidang Ekonomi, sosial dan budaya
manusia.
Mengingat begitu besarnya nilai/manfaat tanah bagi kehidupan
manusia/masyarakat maka negara melalui konsep “hak menguasai negara atas
sumber-sumber kekayaan agrarian, menuntut negara melalui pemerintah untuk
membentuk kebijakan khusus di sector pertanahan yang dalam pelaksaannya
dilakukan oleh lembaga pemerintah yaitu BPN.
Kebijakan pertanahan
yang telah diterbitkan oleh pemerintah diantaranya: UUPA No 5 Tahun 1960 Pasal
20 tentang Hak Milik (HM), Pasal 28 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Pasal 35
tentang Hak Guna Bangunan (HGB), dan Pasal 41 tentang Hak Pakai (HP) atas
tanah, selanjutnya diatur lebih lanjut dalam beberapa ketentuan khusus lainnya
di sektor pertanahan. Beberapa peraturan tersebut tidak lain juga sebagai
mandat dari dari ketentuan dalam UUPA yang dinilai masih bersifat terbatas
dalam pengaturannya, sebut saja salah satunya dalam ketetuan mengenai Hak Guna
Usah,Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah yang diatur lebih khsus dalam
UU No 40 Tahun 1996.
Jadi, pada prinsipnya
konsep hak menguasai negara atas bumi/tanah sebagaimana yang digariskan dalam
UUD 1945 jo pasal 33 ayat (3) jo UUPA pasal 2, tidak lain diartikan sebagai
bentuk legalisasi kekuasan negara untuk mengatur dan menyelenggarakan hubungan
hukum dan perbuatan-perbuatan hukum antara orang-orang baik sebagai manusia (naturlijke person) atau sebagai badan
hukum (recht person) terhadap
bumi/tanah.
2.
Kebijakan agraria di sektor
kehutanan
Kebijakan agraria di sektor kehutanan, merupakan
keputusan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau hukum, yang
bertujuan untuk mengatur. menyelenggarakan atau menentukan terhadap berbagai
bentuk kegiatan pengelolaan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya kehutanan,
dengan tetap memperhatikan kepentingan rakyat banyak..
Pada sektor
kehutanan negara/pemerintah telah membentuk suatu peraturan
undang-undang dibidang kehutanan yaitu UU No 41 Tahun 1999. UU tentang
kehutanan merupakan salah satu bentuk kebijakan negara/pemerintah dalam rangka
pelaksanaan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan dan hasil sumber daya
kehutanan. Semangat pembentukan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak
dapat dilepaskan dari adanya konsep hak menguasai negara atas bumi, air dan
kekayaan yang terkandung didalamnya sebagaimana telah digariskan dalam UUD 1945
Pasal 33 ayat (3) dan UUPA No 5 Tahun 1960. Kemudian pada beberap pasal dalam
UU kehutana disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang ditujukan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dan pengakuan terhadap keberadaan
masyarakat hukum adat yang sepanjang kenyataanya masih ada khsusnya yang berada pada kawasan
hutan, berkaitan dengan ketentuan terakhir ini sebagai akibat untuk
mengantisipasi permasalahan yang mungkin mucul akibat adanya kebijakan mengenai
penentuan bahwa seluruh kawasan hutan yang ada di wilayah indonsia sebagai
hutan Negara sepanjang tidak ada status hak yang melekat diatasnya.
Untuk memperlancar pengelolaan/penguasaan di sektor
kehutanan Negara melalui pemerintah telah menerbitkan beberapa ketentuan
pelaksanaan terhadap UU Kehutana diantaranya Peraturan Pemerintah Penganti
undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan terhadap UU No 41 Tahun 1999
mengenai keberlanjutan perizinam dosektor pertambangan yang telah ada sebelum
lahirnya UU No 41 Tahun 1999.
Selanjutnya kebijakan pemerintan yang mengatur
mengenai tata hutan dan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan diatur dalam PP No 34 Tahun 2002 kebijakan ini ditetapakan
tidak lain adalah untuk menentukan daerah-daerah kawasan hutan yang dapat
diusahakan/dimanfaatkan dan kawasan-kawasan hutan yang bersifat tertutup untuk
dimanfaatkan. Kemudian ketentuan mengenai
Perencanaan Kehutanan diatur dalam PP No 63 Tahun 2002. Hal lain yang juga
menjadi perhatian pemerintah dalam penyusunan perangkat peraturan mengenai
pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan adalah mengenai
bentuk kebersesuain atau memuat ketentuan yang bersifat koordinatif dengan
kebijakan-kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan kehutanan di daerah mengingat
adanya penyerahan beberapa kewenangan kepada pemerintah daerah di sektor
kehutanan pasca terbitnya UU OTDA.
3. Kebijakan Agraria
di Sektor Pertambangan
Barang/bahan tambang merupakan salah satu sumber
daya kekayaan alam yang terkandung didalam perut bumi atau bagian permukaan
bumi, yang mempunyai nilai strategis bagi kehidupan manusia. dimaksud memiliki
nilai strategis karena barang tambang khususnya minyak bumi dan gas berpengaruh
terhadap penguasaan hajat hidup orang banyak. Selain itu barang/bahan tambang memiliki nilai ekonomi
sehingga dapat meningkatkan kesejahrteraan masyarakat.
Barang/bahan
tambang merupakan salah satu cabang dari Agraria sebagaimana yang dimaksud
dalam UUPA No 5 Tahun 1960 dan merupakan bagian objek kekayaan alam yang berada
di bawah penguasaan Negara yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.Konsep hak menguasai Negara atas sumber-sumber kekayaan alam yang ada di
perut bumi lebih mengandung arti bahwa Negara bukan sebagai pemilik, tapi
Negara lebih pada kewenangan untuk mengatur, membimbing dan melakukan
pengawasan terhadap pertambangan yang akan diselenggarakan oleh pemerintah.
Kegiatan pertambangan perlu dilakukan, guna memperoleh keuntungan financial/ekonomi
atas nilai barang/bahan tambang yang terkandung dildalam perut/permukaan bumi
maka oleh karena itu perlu dilakukan rangakaian kegiatan eksplorasi dan
ekspoloitasi atas bahan/barang tambang yang tekandung dalam perut bumi atau
yang lebih dikenal dengan istilah Pertambangan.
Istilah Pertambangan dalam pasal 1 angka 1 UU No 4 Tahun
2009 tentang Kehutanan didefinisikan
adalah “sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian,pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan, dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan dan pascatambang”. Dengan diemikan
banyaknya proses kegiatan pertambangan maka diperlukan suatu bentuk pengawasan
oleh Negara. Sektor pertambangan mineral dan batu bara merupakan bentuk sumber
daya alam yang bersifat tidak terbarukan sehingga jumlahnya sangat terbatas
sementara kebutuhan akan barang/bahan tambang mempunyai nilai strategis bagi
kelangsungan hidup rakyat banyak oleh karena itu Negara melalui pemerintah
menilai penting untuk diambilnya berbagai kebijakan , guna mengendalikan
kegiatan pertambangan baik pada tahap eksploitasi sampai tahap pascatambang.
Pertimbangan lain, perlunya kebijakan pertambangan di
bentuk oleh pemerintah karena UUPA No 5 Tahun 1960 tidak memberikan pengaturan
secara jelas mengenai masalah pertambangan, karena UUPA hanya memberikan
landasan pokok mengenai konsep Hak menguasai Negara atas sumber-sumber kekayaan
alam. Pada tahun 1967 maka dibentuknya UU No 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Petambangan, selanjutnya untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan dan perkembangan nasional dan internasional di sektor pertambangan
maka dinilai perlu untuk dilakukan perubahan terhadap pertaturan
perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. Perubahan
tersebut direspond oleh pemerintah dengan membentuk dan memberlakukan UU No 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU ini mengantikan UU
sebelumnya.
Terdapat
beberapa pengaturan baru dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara diantaranya mengenai ; (1) Batas kewenagan pemerintah pusat
disektor pertambangan (2) pelibatan pemerintah daerah dalam pemberian izin
usaha pertambangan, (3) pengakuan atas kepemilikan lahan oleh warga/masyarakat
hukum adat, maksud pernyataan poin ketiga tersebut adalah bahwa undang-undang
mewajibkan bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan hanya dapat melaksanakan
kegiatannya setelah mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah,jadi
pemegang IUP hanyalah mengusahakan wilayah kerja pertambangannya saja bukan
sebagai pemilik lahan diatas wilayah pertambangan, (4) Membangun fungsi
koordinatif antara Pemerintah Pusat (menteri) dengan Pemerintah Daerah, salah
satunya dalam penentuan rencana wilayah pertambangan, dalam pelaksanaan
kewenangan ini pemerintah pusat/menteri wajib melakukan koordinasi dengan
pemerintah daerah untuk menyesuaikan dengan RTRW di daerah yang bersangkutan.
Penetapan kewenangan pemerintah daerah dalam pemberian izin dan usaha
pertambangan dan pelibatan PEMDA dalam proses penetapan rencana wilayah.
pertambangan tidak terlepas dari konswekuensi pelaksanaan kebijakan Otonomi
Daerah UU No 32 Tahun 2004.
Dalam
ketentuan UU No 4 Tahun 2009 pemerintah juga menetapkan kebijakan mengenai
pengakuan terhadap keberadaan pertambangan rakyat, UU ini mengakui bahwa
pertambangan rakyat hanya dilakukan oleh rakyat setempat. Negara melalui
pemerintah akan memberikan izin “kuasa pertambangan” kepada rakyat yang telah
lama mengusahakannya.Pengakuan terhadap keberadaan pertambangan rakyat juga
merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dari pelaksanaan pertambangan
sebagaimana diatur pada pasal 3 huruf e undang-undang no 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan dinyatakan :
“meningkatkan pendapatan masyarakat local, daerah, dan
negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat”
Ketentuan pasal tersebut dengan tegas menyatakan bahwa
kegiatan pertambangan bertujuan untuk memenuhi penghidupan masyarakat setempat/lokal
khsusnya masyarakat yang mengusahakan kegiatan pertambangan pada wilayah
pertambangan rakyat yang telah ditetapkan oleh pemerintah. dan sebesar-besarnya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemegang Izin Pertambangan Rakyat
berhak mendapatkan pembinaan/bimbingan dan bantuan dari pemerintah/pemerintah
daerah setempat.
Kemudian mengenai kebijakan tujuan pertambangan “untuk
sebesar besarnya kesejahteraan rakyat” dimaksudkan bahwa bagi para pihak yang
memegang dan melaksanakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) UU Pertambangan
mewajibkan bagi mereka untuk mempunyai
rencana kerja bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Maksud dari
ketentuan ini untuk melaksanakan nilai-nilai yang telah digariskan dalam ketentuan
konstitusi pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
4. Kebijakan Agraria di sektor
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (MIGAS)
MIGAS
merupakan bagian dari sumber daya kekayaan yang terkandung dalam perut bumi
yang diperoleh melalui kegiatan pertambangan.
MiGAS
menepati peran strategis/vital bagi kehidupan manusia dan sifatnya yang tidak
dapat terbarukan, Oleh karena itu negara perlu menetapkan kebijakan khsusu di
sektor MIGAS, salah satunya dengan disahkannya UU MIGAS. Pada bagian menimbang
lahirnya UU No 22 tahun 2001 tentang MIGAS, dinyatakan bahwa :
“minyak dan gas bumi merupakan sumber daya
alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan
komiditas vita; yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan
penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara
maksimal memberikan kemakmuran dan kesehajteraan rakyat”
Berpedoman
pada bunyi ketentuan menimbang tersebut juga dinyatakan bahwa kelahiran UU
MIGAS juga tidak terlepas dari keinginan negara untuk menempatkan sumber daya
MIGAS sebagai salah satu sumber daya strategis dan penting bagi pedukung
pertumbuhuan ekonomi.
UU
MIGAS juga mengariskan mengenai pentingnya keberpihakan kepada kepentingan
masyarakat oleh karena itu pengelolaan MIGAS sebagai salah satu kegiatan
pengelolaan SDA dituntut dapat memberikan perhatian kepada semua kelompok
masyarakat dan memberikan manfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh
rakyat. Hal ini sesuai dengan bunyi dalam landasan filosofis mengenai konsep
hak menguasai negara atas SDA sebagaimanan dinyatakana dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945; bahwa “negara menguasai bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandund didalamnya yang sebesar-besarnya untuk
kesejahteraan rakayat.”
Melalui penerapan konsep Hak
Menguasai Negara dalam hal ini posisi negara bukan sebagai pemilik atas SDA
tapi negara memberi kuasa kepada pemerintah sebagai penyelenggara pengelolaan
sumber daya migas untuk melakukan kewenangan mengatur, melaksanakan dan
mengawasi pemanfaatan MIGAS bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri, dan menjamin
ketersediaan dan kelancaran pendistribusian MIGAS sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 8 UU MIGAS.
Kewenangan pemerintah yang bersumber
dari hak menguasai tersebut dilaksanakan secara sentralistik oleh pemerintah
pusat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) ; ayat (1)
dinyatakan; “Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis terbarukan
yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indoneis merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai negara”, kemudian
ayat (2) dinyatakan; penguasaan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan”
Dalam
ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pada pasal tersebut mengandung arti bahwa
pemerintah diserahkan kewenangan oleh negara untuk melaksanakan “kuasa pertambangan”
kuasa pertambangan tersebut terdiri dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Berdasarkan UU MIGAS pemerintah tidak melaksanakan sendiri kewenangan tersebut,
tapi pemerintah dapat menyerahkan kewenangan tersebut kepada badan pelaksana.
Badan pelaksana kuasa pertambangan ini dapat dalam bentuk BUMN/D,BUMS maupun
koperasi, dan badan pelaksana kuasa pertambangan inilah nantinya yang akan
melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan berdasarkan
Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan pemerintah.
Sementara
itu mengenai peranan pemerintah daerah (PEMDA) dalam pelaksanaan kewenangan di
sektor pertambangan MIGAS, UU MIGAS tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah di daerah. UU
MIGAS lebih banyak mengatur mengenai kewenangan pelaksanaan MIGAS yang bersifat
sentralistik pada pemerintah pusat. Ketentuan yang memberikan kewenangan kepada
PEMDA hanya berkaitan dengan hal-hal
sebagai berikut ( Maria S.W Sumardjono dkk, 2011):
1 Pada
saat penetapan wilayah kerja pertambangan MIGAS yang akan ditawarkan kepada
badan usaha/ bentuk usaha tetap yang akan dikonsultasikan dengan Pemda untuk
menyesuaikan RTRWP di daerah yang bersangkutan dan untuk memastikan tidak
adanya tumpang tindih pelaksanaan ijin pertambangan pada suatu kawasan tertentu
(pasal 12 ayat (1);
2 Pemda Provinsi haru dimintai padangannya dalam suatu rapat konsultasi
berkenaan dengan penyusunan rencana
pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi disuatu wilayah kerja
tertentu (pasal 2 ayat (1);
3Pemda
berhak atas bagian tertentu dari pajak usaha pertambangan serta pajak daerah
dan redistribusi daerah (pasal 31 ayat (2) dan (6).
Pelibatan
PEMDA pada saat penyusunan rencana kerja pertambangan MIGAS merupakan salah
satu pelaksanaan dari otonomi daerah selain itu untuk menampung aspirasi yang
muncul dari daerah terkait dengan rencana pelaksanaan kerja wilayah
pertambangan MIGAS yang akan dibuka oleh pemerintah/menteri.
Berkenaan
dengan perlindungan dan pengakuan terhadap tanah milik masyarakat hukum
adat UU MIGAS hanya mengatur secara singkat dan tidak subtantif
sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (3) huruf a dinyatakan ;
“
kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan pada ….. tanah
milik masyarakat adat”
ketentuan ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai
kemungkinan pengunaan tanah masyarakat adat untuk pelaksanaan pertambangan
MIGAS, sehingga dapat menimbulkan kesulitan bila dalam praktiknya/kenyataannya
tanah milik masyarakat adat dimasukkan ke dalam rencana kerja wilayah
pertambangan MIGAS(rda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar