Rabu, 22 Mei 2013

KEBIJAKAN AGRARIA .....disektor Pertanahan, Kehutanan, Pertambangan dan Migas


Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di permukaan dan dalam perut bumi merupakan anugrah tuhan yang patut disyukuri oleh bangsa Indonesia. Segala bentuk kekayaan alam yang ada di seluruh wilayah Indonesia menjadi modal besar bagi bangasa Indonesia untuk memberikan kesehajteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia, meningkatkan mutu dan kualitas kehidupan bangsa dan terakhir bertujuan untuk menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya.

            Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas wilayahnya, maka secara langsung melekat tanggung jawab penuh kepada masyarakat. Melalui sarana kekuasaan/kewenangan yang ada padanya negara berkewajiban untuk mengatur, memimpin, mengrahkan rakyatnya dalam rangka untuk mencapai cita-cita bersama/nasional. Begitu pula terhdap masalah pengelolaan dan/atau penguasaan bumi, air dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya, atau yang lebih dikenal dengan istilah sumber daya alam. Dimana negara bertanggung jawab untuk memimpin dan mengelolanya secara benar dan terarah. Maksud terarah adalah negara memimpin dalam rangka  untuk mengelola dan memanfaatkannya. Pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan Sumber kekayaan alam tersebut  berpedoman pada asas kelestarian dan berkeadilan masyarakat. Demi untuk tujuan bersama yaitu kesejahteraan rakyat dan bukan kesejahteraan segelintir orang saja.
            Konsep pelaksanaan kewenangan/kekuasaan negara melalui aparaturnya yaitu pemerintah adalah lebih diartikan untuk mempermudah pelaksanaan teknis dalam melakukan fungsi-fungsi  seperti merngarahkan/mengkorrdinir pengelolaan dan pemanfaatan Sumber daya(kekayaan) alam yang berada di dalam  teritorialnya yang dituangkan dalam bentuk penerbitan kebijakan dan melakukan pengawasan. Sementara kebijakan yang diambil pemerintah idealnya lebih dititik beratkan pada  tujuan sebesar-besarnya untuk kepentingan umum/masyarakat, lebih dikenal dengan konsep “kebijakan negara dibidang agraria”.
Berbicara mengenai ”kebijakan” maka akan mengacu pada  polcy / public policy”. Menurut William Dunn, freedmen dkk menerjemahkan bahwa public policy biasanya dikaitkan dengan “keputusan pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani masyarakat/kepentingan umum” jadi arti kebijakan pemerintah disini adalah keputsan pemerintah yang relatif umum, dan ditujukan kepada masyarakat umum. Selanjutnya menurut Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”, pendapat ahli lainnya seperti; Easton mendefinisikan bahwa “kebijakan pemerintah sebagai suatu bentuk kekuasaan yang mengalokasikan nilai-nilai/peraturan untuk masyarakat secara umum”,  Sementara Laswell dan Kaplan melihat kebijakan sebagai” sarana untuk mencapai tujuan karena kebijakan lebih sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktik, dan  tujuan merupakan hal utama dari adanya suatu kebijakan”(sumber: Massofa.wordpress.com dikunjungi pada 04 Mei 2012)
Pendapat para ahli tersebut menegaskan pada kesamaan konsep bahwa kebijakan merupakan produk dari penguasan dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk mengeluarkan peraturan-peraturan hukum yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat pada tataran publik.sementara pengertian mengenai agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama hal ini dikarnakan cukup luasnya makna/pengertian agraria itu sendiri ada beberapa literatur yang mendefinisikan bahwa agraria berarti urusan pertanian atau atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah (Balai Pustaka, Jakarta). Sedangkan pengertian agraria menurut UUPA lebih mengacu pada pembatasan agararia dalam arti luas yakni, “meliputi; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kemudian bila ditambah pada pengertian dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam pasal 48, bahkan meliputi ruang angkasa” (Boedi Harsono,Djambatan, Jakarta)
Berdasarkan uraian tersebut, maka kebijakan agraria dapat diartikan sebagai  Keputusan pemerintah yang memiliki kekuasaan dan kewenangan pada tataran publik melalui pembentukan perundang-undangan yang memuat pengaturan dan mengkoordinir mengenai peruntukan, penyediaan/pengadaan dan pemannfaatan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi yang ada dalam wilayah Indonesia, yang dipergunakan sebesar-sebarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyaraka”,
Jadi Pemerintah membentuk ketentuan Undang-Undang Agararia ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kebijakan agraria nasional ditandai dengan lahirnya UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 dalam Undang-Undang tersebut juga melatakkan dasar-dasar Politik Penguasaan sumber-sumber kekayaan alam/agararia oleh Negara sebagai perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam perkebangannya, untuk menyesuaikan terhadap kebutuhan penataan ulang hukum agraria dengan memasukkan prinsip-prinsip perlindungan hak-hak masyarakat, kemduian disahkannya TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kedua peraturan tersebut kemudian menjadi pedoman pokok mengenai kebijakan agrarian, yang bersifat nasional.
Bila kita cermati secara seksama pada hakikatnya UUPA merupakan pengaturan agraria yang masing bersifat umum, belum bersifat sektoral karena bila kita runut lebih khusus lagi, maka pengertian agraria merupakan suluruh permukaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung diatas permukaan bumi, termasuk didalam perut bumi, yang menurut konsep ilmu kebumian/geologi lebih dikenal dengan istilah Sumber Daya Alam (SDA).Hal penting lainnya kemudian UUPA mejadi udang-undang pokok agrarian karena di dalam salah satu ketentuan telah secara tegas meletakkan bentuk politik penguasaan agraria yang bersifat nasional, ketentuan ini bisa kita liha dalam pasa 2 ayat (1).
“Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD, dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 dinyatakan  bahawa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi tertinggi dari suatu wilayah dan seluruh rakyatnya”, selanjutnya dalam ayat (3) pada pasal yang sama  “wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2), pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Senada dengan bunyi kedua ayat pada pasal-pasal tersebut secara tidak langsung telah pula menguatkan bahwa UUPA sebagai wujud kebijkan Negara di bidang Agraria, sekaligus sebagai bentuk politik penguasaan agraria yang bersifat nasional.
            Melihat permasalahan mengenai agraria yang hanya berpedoman pada UUPA maka ketentuan/pengaturan mengenai agraria masih bersifat luas belum mengatur hal-hal khsus yang bersifat sektoral karena belum adanya pengaturan sektoral yang mengatur  penguasaan/penggunaan tanah/permukaan bumi. Belum adanya pengaturan mengenai pengelolaan dan penguasaan disektor sumber daya (kekayaan) alam yang berada di atas dan di dalam perut bumi seperti; kehutanan,  pertambangan  dan sektor lainnya.
Maka atas pertimbangan mengenai keterbatasan mengenai hal-hal yang diatur dalam UUPA, akan dapat ditemukan beberapa kesulitan dalam rangka pelaksanaan hak menguasai Negara atas Agraria/SDA. Oleh karena itu, Negara melalui kekuasaan pemerintah menilai penting mengenai adanya kebutuhan bagi pemerintah sebagai pelaksanaan kekuasaan Negara untuk segera membentuk dan melahirkan beberapa kebijakan strategis di bidang agrarian. Diantaranya kebijakan disektor kehutanan, perkebunan, pertambangan dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya. Pembentukan kebijakan-kebijakan yang bersifat sektoral tersebut, tidak lain adalah untuk mempermudah Negara melalui pemerintah untuk mengkoordinir/memimpin,dan mengarahkan setiap praktik pengelolaan, penguasan dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam yang ada di dalam wilaya Indonesia. Namun dalam setiap proses pembentukan masing-masing kebijakan tersebut, tetap harus mengacu pada kebijakan pokok agraria yang tertuang dalam UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dan Tap MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Khususnya mengenai konsep hak penguasaan Negara atas bumi, air dan dan kekayaan yang terkandung didalam permukaan bumi yang ditujukan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Pada sisi lain masih terdapat satu hal yang tak kalah penting untuk  menjadi pertimbangan, khsusnya; bagi pemerintah pusat dalam membentuk kebijakan nasional di bidang agrarian. Dimana kebijakan tersebut selayaknya dapat menyingkronkan terhadap berbagai ketentuan/pengaturan agraria yang akan dibentuk di daerah bersifat otonomi.Beberapa kewenangan pemerintah di daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang akan berlaku di daerahnya khusunya bidang agrarian, sebagaimana yang telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Pada akhirnya diharapkan akan dapat terbentuknya kebijakan yang bersifat koordinatif antara pusat dan daerah, untuk menghindari munculnya tumpang tindih pengaturan/kebijakan dibidang agrarian, dan dapat meminamilisir timbulnya tumpang tindih kebijakan.
Terdapat beberapa sektor pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kekayaan agraria, yang patut menjadi perhatian dalam kebijakan di bidang agrarian diantaranya: penguasaan negara di bidang agraria di sektor pemanfaatan atas tanah/bumi, Penguasan agraria di sektor Kehutanan, dan penguasaan agrarian di sektor Pertambangan, dan pada sektor-sektor sumber daya kekayaan agraria lainnya, yang pada prinsipnya juga mempunyai peran penting bagi penguasaan hajat hidup orang banyak, yang dalamkaitan ini akan dijabarkan ke dalam beberapa bentuk kebijakan pemerintah di bidang agrarian, diantaranya :

1.         Kebijakan Agraria disektor  pertanahan
Tanah merupakan bagian permukaan bumi yang memiliki fungsi penting bagi kehudupan manusia di suatu wilayah. Tanah merupakan bagian Sumber Daya Alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka dari itu keberadaan tanah mempunyai nilai sangat strategis dibidang Ekonomi, sosial dan budaya manusia.
Mengingat begitu besarnya nilai/manfaat tanah bagi kehidupan manusia/masyarakat maka negara melalui konsep “hak menguasai negara atas sumber-sumber kekayaan agrarian, menuntut negara melalui pemerintah untuk membentuk kebijakan khusus di sector pertanahan yang dalam pelaksaannya dilakukan oleh lembaga pemerintah yaitu BPN.
           Kebijakan pertanahan yang telah diterbitkan oleh pemerintah diantaranya: UUPA No 5 Tahun 1960 Pasal 20 tentang Hak Milik (HM), Pasal 28 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Pasal 35 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), dan Pasal 41 tentang Hak Pakai (HP) atas tanah, selanjutnya diatur lebih lanjut dalam beberapa ketentuan khusus lainnya di sektor pertanahan. Beberapa peraturan tersebut tidak lain juga sebagai mandat dari dari ketentuan dalam UUPA yang dinilai masih bersifat terbatas dalam pengaturannya, sebut saja salah satunya dalam ketetuan mengenai Hak Guna Usah,Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah yang diatur lebih khsus dalam UU No 40 Tahun 1996.
           Jadi, pada prinsipnya konsep hak menguasai negara atas bumi/tanah sebagaimana yang digariskan dalam UUD 1945 jo pasal 33 ayat (3) jo UUPA pasal 2, tidak lain diartikan sebagai bentuk legalisasi kekuasan negara untuk mengatur dan menyelenggarakan hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum antara orang-orang baik sebagai manusia (naturlijke person) atau sebagai badan hukum (recht person) terhadap bumi/tanah.
2.      Kebijakan agraria di sektor kehutanan
Kebijakan agraria di sektor kehutanan, merupakan keputusan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau hukum, yang bertujuan untuk mengatur. menyelenggarakan atau menentukan terhadap berbagai bentuk kegiatan pengelolaan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya kehutanan, dengan tetap memperhatikan kepentingan rakyat banyak..
Pada sektor  kehutanan negara/pemerintah telah membentuk suatu peraturan undang-undang dibidang kehutanan yaitu UU No 41 Tahun 1999. UU tentang kehutanan merupakan salah satu bentuk kebijakan negara/pemerintah dalam rangka pelaksanaan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan dan hasil sumber daya kehutanan. Semangat pembentukan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak dapat dilepaskan dari adanya konsep hak menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya sebagaimana telah digariskan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dan UUPA No 5 Tahun 1960. Kemudian pada beberap pasal dalam UU kehutana disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat yang sepanjang kenyataanya  masih ada khsusnya yang berada pada kawasan hutan, berkaitan dengan ketentuan terakhir ini sebagai akibat untuk mengantisipasi permasalahan yang mungkin mucul akibat adanya kebijakan mengenai penentuan bahwa seluruh kawasan hutan yang ada di wilayah indonsia sebagai hutan Negara sepanjang tidak ada status hak yang melekat diatasnya.
Untuk memperlancar pengelolaan/penguasaan di sektor kehutanan Negara melalui pemerintah telah menerbitkan beberapa ketentuan pelaksanaan terhadap UU Kehutana diantaranya Peraturan Pemerintah Penganti undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan terhadap UU No 41 Tahun 1999 mengenai keberlanjutan perizinam dosektor pertambangan yang telah ada sebelum lahirnya UU No 41 Tahun 1999.
Selanjutnya kebijakan pemerintan yang mengatur mengenai tata hutan dan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan diatur dalam PP No 34 Tahun 2002 kebijakan ini ditetapakan tidak lain adalah untuk menentukan daerah-daerah kawasan hutan yang dapat diusahakan/dimanfaatkan dan kawasan-kawasan hutan yang bersifat tertutup untuk dimanfaatkan. Kemudian ketentuan mengenai Perencanaan Kehutanan diatur dalam PP No 63 Tahun 2002. Hal lain yang juga menjadi perhatian pemerintah dalam penyusunan perangkat peraturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan adalah mengenai bentuk kebersesuain atau memuat ketentuan yang bersifat koordinatif dengan kebijakan-kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan kehutanan di daerah mengingat adanya penyerahan beberapa kewenangan kepada pemerintah daerah di sektor kehutanan pasca terbitnya UU OTDA.

3.   Kebijakan Agraria di Sektor Pertambangan
Barang/bahan tambang merupakan salah satu sumber daya kekayaan alam yang terkandung didalam perut bumi atau bagian permukaan bumi, yang mempunyai nilai strategis bagi kehidupan manusia. dimaksud memiliki nilai strategis karena barang tambang khususnya minyak bumi dan gas berpengaruh terhadap penguasaan hajat hidup orang banyak. Selain itu barang/bahan tambang memiliki nilai ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahrteraan masyarakat.
            Barang/bahan tambang merupakan salah satu cabang dari Agraria sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA No 5 Tahun 1960 dan merupakan bagian objek kekayaan alam yang berada di bawah penguasaan Negara yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.Konsep hak menguasai Negara atas sumber-sumber kekayaan alam yang ada di perut bumi lebih mengandung arti bahwa Negara bukan sebagai pemilik, tapi Negara lebih pada kewenangan untuk mengatur, membimbing dan melakukan pengawasan terhadap pertambangan yang akan diselenggarakan oleh pemerintah. Kegiatan pertambangan perlu dilakukan, guna memperoleh keuntungan financial/ekonomi atas nilai barang/bahan tambang yang terkandung dildalam perut/permukaan bumi maka oleh karena itu perlu dilakukan rangakaian kegiatan eksplorasi dan ekspoloitasi atas bahan/barang tambang yang tekandung dalam perut bumi atau yang lebih dikenal dengan istilah Pertambangan.
Istilah Pertambangan dalam pasal 1 angka 1 UU No 4 Tahun 2009 tentang Kehutanan   didefinisikan adalah “sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan, dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan dan pascatambang”. Dengan diemikan banyaknya proses kegiatan pertambangan maka diperlukan suatu bentuk pengawasan oleh Negara. Sektor pertambangan mineral dan batu bara merupakan bentuk sumber daya alam yang bersifat tidak terbarukan sehingga jumlahnya sangat terbatas sementara kebutuhan akan barang/bahan tambang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan hidup rakyat banyak oleh karena itu Negara melalui pemerintah menilai penting untuk diambilnya berbagai kebijakan , guna mengendalikan kegiatan pertambangan baik pada tahap eksploitasi sampai tahap pascatambang.
Pertimbangan lain, perlunya kebijakan pertambangan di bentuk oleh pemerintah karena UUPA No 5 Tahun 1960 tidak memberikan pengaturan secara jelas mengenai masalah pertambangan, karena UUPA hanya memberikan landasan pokok mengenai konsep Hak menguasai Negara atas sumber-sumber kekayaan alam. Pada tahun 1967 maka dibentuknya UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Petambangan, selanjutnya untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan nasional dan internasional di sektor pertambangan maka dinilai perlu untuk dilakukan perubahan terhadap pertaturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara. Perubahan tersebut direspond oleh pemerintah dengan membentuk dan memberlakukan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU ini mengantikan UU sebelumnya.
            Terdapat beberapa pengaturan baru dalam UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diantaranya mengenai ; (1) Batas kewenagan pemerintah pusat disektor pertambangan (2) pelibatan pemerintah daerah dalam pemberian izin usaha pertambangan, (3) pengakuan atas kepemilikan lahan oleh warga/masyarakat hukum adat, maksud pernyataan poin ketiga tersebut adalah bahwa undang-undang mewajibkan bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah,jadi pemegang IUP hanyalah mengusahakan wilayah kerja pertambangannya saja bukan sebagai pemilik lahan diatas wilayah pertambangan, (4) Membangun fungsi koordinatif antara Pemerintah Pusat (menteri) dengan Pemerintah Daerah, salah satunya dalam penentuan rencana wilayah pertambangan, dalam pelaksanaan kewenangan ini pemerintah pusat/menteri wajib melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk menyesuaikan dengan RTRW di daerah yang bersangkutan. Penetapan kewenangan pemerintah daerah dalam pemberian izin dan usaha pertambangan dan pelibatan PEMDA dalam proses penetapan rencana wilayah. pertambangan tidak terlepas dari konswekuensi pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah UU No 32 Tahun 2004.
            Dalam ketentuan UU No 4 Tahun 2009 pemerintah juga menetapkan kebijakan mengenai pengakuan terhadap keberadaan pertambangan rakyat, UU ini mengakui bahwa pertambangan rakyat hanya dilakukan oleh rakyat setempat. Negara melalui pemerintah akan memberikan izin “kuasa pertambangan” kepada rakyat yang telah lama mengusahakannya.Pengakuan terhadap keberadaan pertambangan rakyat juga merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dari pelaksanaan pertambangan sebagaimana diatur pada pasal 3 huruf e undang-undang no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan dinyatakan :
“meningkatkan pendapatan masyarakat local, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat”
Ketentuan pasal tersebut dengan tegas menyatakan bahwa kegiatan pertambangan bertujuan untuk memenuhi penghidupan masyarakat setempat/lokal khsusnya masyarakat yang mengusahakan kegiatan pertambangan pada wilayah pertambangan rakyat yang telah ditetapkan oleh pemerintah. dan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemegang Izin Pertambangan Rakyat berhak mendapatkan pembinaan/bimbingan dan bantuan dari pemerintah/pemerintah daerah setempat.
Kemudian mengenai kebijakan tujuan pertambangan “untuk sebesar besarnya kesejahteraan rakyat” dimaksudkan bahwa bagi para pihak yang memegang dan melaksanakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) UU Pertambangan mewajibkan bagi mereka  untuk mempunyai rencana kerja bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Maksud dari ketentuan ini untuk melaksanakan nilai-nilai yang telah digariskan dalam ketentuan konstitusi pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

4. Kebijakan Agraria di sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (MIGAS)
MIGAS merupakan bagian dari sumber daya kekayaan yang terkandung dalam perut bumi yang diperoleh melalui kegiatan pertambangan.
MiGAS menepati peran strategis/vital bagi kehidupan manusia dan sifatnya yang tidak dapat terbarukan, Oleh karena itu negara perlu menetapkan kebijakan khsusu di sektor MIGAS, salah satunya dengan disahkannya UU MIGAS. Pada bagian menimbang lahirnya UU No 22 tahun 2001 tentang MIGAS, dinyatakan bahwa :
minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komiditas vita; yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesehajteraan rakyat
Berpedoman pada bunyi ketentuan menimbang tersebut juga dinyatakan bahwa kelahiran UU MIGAS juga tidak terlepas dari keinginan negara untuk menempatkan sumber daya MIGAS sebagai salah satu sumber daya strategis dan penting bagi pedukung pertumbuhuan ekonomi.
UU MIGAS juga mengariskan mengenai pentingnya keberpihakan kepada kepentingan masyarakat oleh karena itu pengelolaan MIGAS sebagai salah satu kegiatan pengelolaan SDA dituntut dapat memberikan perhatian kepada semua kelompok masyarakat dan memberikan manfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Hal ini sesuai dengan bunyi dalam landasan filosofis mengenai konsep hak menguasai negara atas SDA sebagaimanan dinyatakana dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945; bahwa “negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandund didalamnya yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakayat.”
            Melalui penerapan konsep Hak Menguasai Negara dalam hal ini posisi negara bukan sebagai pemilik atas SDA tapi negara memberi kuasa kepada pemerintah sebagai penyelenggara pengelolaan sumber daya migas untuk melakukan kewenangan mengatur, melaksanakan dan mengawasi pemanfaatan MIGAS bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri, dan menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian MIGAS sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 UU MIGAS.
            Kewenangan pemerintah yang bersumber dari hak menguasai tersebut dilaksanakan secara sentralistik oleh pemerintah pusat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) ; ayat (1) dinyatakan; “Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indoneis merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara”,  kemudian ayat (2) dinyatakan; penguasaan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan”
Dalam ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pada pasal tersebut mengandung arti bahwa pemerintah diserahkan kewenangan oleh negara untuk melaksanakan “kuasa pertambangan” kuasa pertambangan tersebut terdiri dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Berdasarkan UU MIGAS pemerintah tidak melaksanakan sendiri kewenangan tersebut, tapi pemerintah dapat menyerahkan kewenangan tersebut kepada badan pelaksana. Badan pelaksana kuasa pertambangan ini dapat dalam bentuk BUMN/D,BUMS maupun koperasi, dan badan pelaksana kuasa pertambangan inilah nantinya yang akan melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan berdasarkan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan pemerintah.
Sementara itu mengenai peranan pemerintah daerah (PEMDA) dalam pelaksanaan kewenangan di sektor pertambangan MIGAS, UU MIGAS tidak memberikan  kewenangan kepada pemerintah di daerah. UU MIGAS lebih banyak mengatur mengenai kewenangan pelaksanaan MIGAS yang bersifat sentralistik pada pemerintah pusat. Ketentuan yang memberikan kewenangan kepada PEMDA hanya  berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut ( Maria S.W Sumardjono dkk, 2011):
1   Pada saat penetapan wilayah kerja pertambangan MIGAS yang akan ditawarkan kepada badan usaha/    bentuk usaha tetap yang akan dikonsultasikan dengan Pemda untuk menyesuaikan RTRWP di daerah yang  bersangkutan dan untuk memastikan tidak adanya tumpang tindih pelaksanaan ijin pertambangan pada suatu  kawasan tertentu (pasal 12 ayat (1);
2 Pemda Provinsi haru dimintai padangannya dalam suatu rapat konsultasi berkenaan dengan penyusunan        rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksi disuatu wilayah kerja tertentu (pasal      2 ayat (1);
3Pemda berhak atas bagian tertentu dari pajak usaha pertambangan serta pajak daerah dan redistribusi  daerah (pasal 31 ayat (2) dan (6).
Pelibatan PEMDA pada saat penyusunan rencana kerja pertambangan MIGAS merupakan salah satu pelaksanaan dari otonomi daerah selain itu untuk menampung aspirasi yang muncul dari daerah terkait dengan rencana pelaksanaan kerja wilayah pertambangan MIGAS yang akan dibuka oleh pemerintah/menteri.
Berkenaan dengan perlindungan dan pengakuan terhadap tanah milik masyarakat hukum adat  UU MIGAS hanya mengatur  secara singkat dan tidak subtantif sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (3) huruf a dinyatakan ;
“ kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan pada ….. tanah milik masyarakat adat”
ketentuan ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai kemungkinan pengunaan tanah masyarakat adat untuk pelaksanaan pertambangan MIGAS, sehingga dapat menimbulkan kesulitan bila dalam praktiknya/kenyataannya tanah milik masyarakat adat dimasukkan ke dalam rencana kerja wilayah pertambangan MIGAS(rda)



             







Tidak ada komentar:

Posting Komentar