Anak merupakan karunia dari tuhan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh
kedua orang tua biologisnnya dan hukum negara tempat dimana anak tersebut
dilahirkan. Di Indoesia sejarah awal pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak anak pada hakikatnya telah ada diatur sejak zaman hindia belanda
melalui asas korkodansi pemberlakuan Burglijke Wetboek di hindia belanda dimana
dalam salah satu pasalnya ada mengatur mengenai “ bahwa anak sejak dalam
kandungan ibunya sudah dianggap sebagai Subjek Hukum. Kemudian dalam
perkembangan mengenai pengakuan dan penghormatan prinsip-prinsip HAM secara
internasional konvensi yang memberikan perlindugan terhadap anak juga disahkan
dan berlakuk sebagai salah satu sumber hukum internasional mengenai
perlindungan hak-hak anak.Indoensi sebagai salah satu anggota PBB maka Indonesi
mempunyai kewajiban moral dan politis mengakui prinsip-prinsi HAM didalam DUHAM
yang berkonswekuensi semua peraturan hukum harus berpedoman pada prlindungand
dan Penghormatan terhadap HAM termasuk Perlindungan dan Penghormatan Anak.
Pengakuan negara mengenai perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak
anak ditandai dengan lahirnya UU tentang Anak, kemudian untuk mempertegas bahwa
hak-hak anak sebagai salah satu bagian dari prinsip-prinsip HAM maka
dimasukkanlah hak anak kedalam salah satu pasal dalam UU HAM. Dengan
dimasukkannya HAK anak sebagi salah satu HAK yang dilindungan oleh UU Maka HAK
ANAK merupakan bagian HAK yang paling fundamental bagi kehidupan umat manusia.
Namun dalam praktiknya sebagian besar UU Nasional yang mengatur
mengenai perlindungan hak- hak anak
hanya mengacu pada anak-anak yang dilahirkan akibat adanya suatau pernikahan
yang sah menurut hukum negara sehingga melakukan pembedaan terhadap anak yang
lahir dari hasil pernikahan yang tidak diakui oleh hukum negara atau yang
sering dianggap sebagai anak yang tidak sah menurut hukum negara. Akibat hukum
dari kebijakan diskriminatif ini maka secara hukum anak hanya mempunyai
hubungan perdata hanya terhadap ibu bilogisnya seja sedangkan terhadap ayah
biologisnya si anak tidak dapat menuntut apa-apa karena itu secara hukum tidak
diakui mempunyai hubungan perdata dengan ayah bilogisnya sebagaimana diatur
dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibat hukum penerapan pasal
tersebut sangat mencedrai hak-hak asasi anak yang kebetulan mereka dilahirkan
dari hasil pernikahan yang tidak sah menurut hukum negara. Karena mereka tidak
dapat melakukan upaya hukum apapun untUk menuntut hak-hak keperdataan terhadap
ayah biologisnya.
Permasalahan hukum tersebut terjawab sudah dengan terbitnya putusan MK No 46/PUU-VIII/2012 Tentang Pengakuan adanyan
hubungan perdata anatara anak dengan ayah biologisnya yang mereka dilahirkan
dari hasil pernikahan yang tidak sah menurut hukum nergara. Putusan MK ini
dilakukan untuk melakukan pengujian terhadap bunyi pasal 43 ayat (1) UU No 1
Tahun 1974. Berdasarkan Putusan MK yang merubah bunyi ketentuan Pasal 43 ayat
(1) menjadi “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayah
biologisnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/ayau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” Sebelum adanya putusan uji materil
atas ketentuan pasal tersebut Undang-Undang hanya mengenal “...bahwa anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya...”
Bunyi pasal
tersebut, dinilai sangat mencedrai hak-hak anak terutama terhadap anak yang
dilahirkan dari hasil pernikahan yang tidak sah menurut hukum negara, karena
tidak adanya perlindungan hukum bagi anak untuk mendapatkan nama sah dari
ayahnya dalam melakukan pencatatan kelahiran, terhapusnya hak waris si anak
dari ayah biologisnyan dan hak-hak perdata lainnya. Bunyi ketentuan Pasal 47
ayat (1) UU Perkawinan jelas sangat mencedrai hak – hak anak yang dilahirkan
dari hasil perkawinan yang tidak sah. Sementara menurut Hukum Alam menyatakan
bahwa anak sebagai makhluk ciptaan tuhan telah diakui keberadaan sebagai subjek
hukum semenjak ia berada di dalam kandungan sampai anak tersebut hidup pada
saat dilahirkan ke dunia.Pemikiran tersebut juga telah lama diadopsi oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang diberlakukan di Indonesia melalui asas
korkodansi.
Melalui Putusan MK mengenai perlindungan terhadap anak yang dilahirkan dari
hasil pernikahan yang tidak dicatatkan menurut hukum negara, adalah singkron
bila dilihat dari sudut pandang
perlindungan hak-hak anak sebagaimana diatur dalam konvensi internasional
perlindungan hak-hak anak, yang kemudian diadopsi dalam beberapa undang-undang
nasional salah satunya dalam undang-undang tentang HAM Undang-Undang No 39
Tahun 1999 sebagaimana dinyatakan pada Pasal 52 ayat (1) setiap anak berhak
atas perlindungan oleh orang tuanya..., kemudian ayat (2) Hak anak adalah hak
asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh
hukum bahkan sejak dalam kandungan, selanjutnya pada Pasal 56 ayat (1) setiap
anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri. Dan undang-undang lainnya yang juga sama memberikan perlindungan
terhadap hak-hak anak seperti dalam Undang-Undang tentang kesejahteraan Anak
yang mana keberadaan Undang-Undang telah lebih dahulu ada sebelum berlakunya UU
No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Beberapa ketentuan dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM tersebut telah
tegas mengariskan perlindungan terhadap hak-hak anak, tanpa membedakan apakah
anak tersebut dicatatkan atau tidak dicatatkan. Asas pengaturan anak dalam UU
HAM telah jelas bahwa UU HAM harus berpedoman pada prinsip-prinsip dasar Hak
Asasi Manusia yang telah digariskan dalam DUHAM. Bahwa manusia adalah mahkuluk
ciptaan tuhan yang dalam perlindungannya bersifat non diskriminasi.
Bermuara pada putusan MK yang telah merubah bunyi/redaksi dalam salah satu
pasal tentang Anak dalam UU Perkawinan sangat tepat bila kita lihat berdasarkan
penghormatan dan penghargaan terhadap prinsip-prinsip HAM terutama terhadap
hak-hak anak sebagai manusia yang lahir merdeka.
Putusan MK tersebut juga memberikan runtutan dampak hukum terhadap
pengakuan dan perlindungan hukum terutama bagi hak-hak anak yang dilahirkan
dari pernikahan yang tidak dicatatatkan menurut hukum negara. Pengukuan hukum
terhadap anak yang tidak sah dan yang telah disahkan dalam putusan MK penting
untuk segera ditindaklanjuti dengan itikad baik melalui proses di DPR guna
dilakukan perubuhan dan pengesahan terhadap perubahan bunyi dalam pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan, sebagai akibat keputusan MK yang bersifat ingkrah dan
mengikat. Karena sebelum dilakukan perubahan dan pengesahan terhadap perubahan bunyi
pasal tersebut maka tidak dapat berdampak apa-apa terhadap pengakuan bagi
hak-hak anak tidak sah, yang mana selama ini tidak mendapatkan perlindungan
hukum dari negara terutama mengenai hak-hak keperdataan dari ayah biologisnya.
Karena dalam UU Perkawinan mengatur bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan
yang tidak dicatatkan maka anak yang bersangkutan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Berbeda setelah keluarnya putusan MK
saat ini anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sahpun masih memungkinkan
untuk menumbulkan adanya hubungan perdata dengan ayah biologisnya sepanjang si
ibu dari anak tersebut dapat membuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui tes DNA yang menunjukkan bahwa seseorang laki-laki adalah ayah biologis
dari anak yang telah ia lahirkan. Dan bukti-bukti pendukung tersebut mendapat
pengesahan dari Pengadilan Negeri/Agama yang berwenang.
Dasar putusan pengadilan tersebut dapat memberikan pengesahan terhadap anak
yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan untuk mendapatkan pengakuan
hukum mengenai hubungan perdata antara si anak dengan ayah biologisnya.
Pengakuan berdasarkan suatu penegesahkan dari putusan pengadilan tersebut dapat
menjadi dasar bagi ibu si anak untuk mendapatkan nama dari ayah biologisnya,
hak untuk mewaris, dan hak atas biaya hidup si anak dari ayah biologisnya.
Namun akibat hukum yang timbul akibat putusan MK dan putusan hakim tersebut
harus pula disingkronkan dengan perubahan-perubahan yang mesti dilaksanakan
oleh pemerintah salah satunya terkait dengan perubahan/penambahan kebijakan
pemerintah dibidang pencatatan sipil terutama terkait dalam penerbitan akta
kelahiran dari si anak yang lahir dari hasil pernikahan yang tidak sah, dan
Kemudian mana dalam perkembangan hukum selanjutnya mendapatkan putusan hukum
yang memungkinkan penerbitan akta kelahiran berdasarkan putusan pengadilan yang
berdasarkan bukti-bukti yang cukup menurut ilmu pengetahuan dan teknologi dan
keabsahanannya betul-betul dapat dibuktikan.
Jadi pengesahan terhadap anak yang lahir dari hasil penikahan yang tidak
diakui oleh negara sejak disahkannya putusan hukum tersebut, merupakan babak
baru bagi perlindungan hak-hak anak yang awalnya dinyatakan tidak sah oleh
negara, mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum yang berjung pada akibat
hukum yang ditimbulkannya yakni munculnya hubungan/ikatan perdata dengan ayah
biologisnya, namun hubungan perdata tersebut tidak serta merta muncul sebelum
adanya putusan pengadilan. Pemikiran ini senada dengan apa yang telah
digariskan dalam perubahan terhadap bunyi pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
berdasarkan Putusan MK menjadi berbunyi “ anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan kelurga ayahnya”
dengan terbitnya putusan MK yang merubah bunyi ketentuan pasal 43 ayat (1)
tersebut belum pula serta merta/ dapat secara otomatis merubah status anak yang
tidak sah menjadi sah menurut hukum negara sebelum dilakukan proses pembuktian
dan pengesahan terlebih dahulu oleh pengadilan. Dan bila pengakuan tersebut
telah disahkan berdasarkan Keputusan Hukum yang telah berkekuatan hukum tetap
maka anak tidak sah menurut hukum negara menjadi sah sebagai anak yang berhak
untuk mendapatkan pengakuan hak-haknya untuk salaing mewarisi. Karena dengan
putusan hukum tersebut telah menimbulkan akibat hukum berupa pengakuan adanya
hak-hak keperdataan si anak terhadap ayah biologisnya.(rda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar