Selasa, 14 Mei 2013

PUTUSAN MK TENTANG PENGAKUAN Terhadap ANAK dari hasil Pernikahan yang Tidak diakui Oleh Negara DAN AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKANNYA

Anak merupakan karunia dari tuhan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh kedua orang tua biologisnnya dan hukum negara tempat dimana anak tersebut dilahirkan. Di Indoesia sejarah awal pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak anak pada hakikatnya telah ada diatur sejak zaman hindia belanda melalui asas korkodansi pemberlakuan Burglijke Wetboek di hindia belanda dimana dalam salah satu pasalnya ada mengatur mengenai “ bahwa anak sejak dalam kandungan ibunya sudah dianggap sebagai Subjek Hukum. Kemudian dalam perkembangan mengenai pengakuan dan penghormatan prinsip-prinsip HAM secara internasional konvensi yang memberikan perlindugan terhadap anak juga disahkan dan berlakuk sebagai salah satu sumber hukum internasional mengenai perlindungan hak-hak anak.Indoensi sebagai salah satu anggota PBB maka Indonesi mempunyai kewajiban moral dan politis mengakui prinsip-prinsi HAM didalam DUHAM yang berkonswekuensi semua peraturan hukum harus berpedoman pada prlindungand dan Penghormatan terhadap HAM termasuk Perlindungan dan Penghormatan Anak.
Pengakuan negara mengenai perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak anak ditandai dengan lahirnya UU tentang Anak, kemudian untuk mempertegas bahwa hak-hak anak sebagai salah satu bagian dari prinsip-prinsip HAM maka dimasukkanlah hak anak kedalam salah satu pasal dalam UU HAM. Dengan dimasukkannya HAK anak sebagi salah satu HAK yang dilindungan oleh UU Maka HAK ANAK merupakan bagian HAK yang paling fundamental bagi kehidupan umat manusia.
Namun dalam praktiknya sebagian besar UU Nasional yang mengatur mengenai  perlindungan hak- hak anak hanya mengacu pada anak-anak yang dilahirkan akibat adanya suatau pernikahan yang sah menurut hukum negara sehingga melakukan pembedaan terhadap anak yang lahir dari hasil pernikahan yang tidak diakui oleh hukum negara atau yang sering dianggap sebagai anak yang tidak sah menurut hukum negara. Akibat hukum dari kebijakan diskriminatif ini maka secara hukum anak hanya mempunyai hubungan perdata hanya terhadap ibu bilogisnya seja sedangkan terhadap ayah biologisnya si anak tidak dapat menuntut apa-apa karena itu secara hukum tidak diakui mempunyai hubungan perdata dengan ayah bilogisnya sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akibat hukum penerapan pasal tersebut sangat mencedrai hak-hak asasi anak yang kebetulan mereka dilahirkan dari hasil pernikahan yang tidak sah menurut hukum negara. Karena mereka tidak dapat melakukan upaya hukum apapun untUk menuntut hak-hak keperdataan terhadap ayah biologisnya.
Permasalahan hukum tersebut terjawab sudah dengan terbitnya putusan MK  No 46/PUU-VIII/2012 Tentang Pengakuan adanyan hubungan perdata anatara anak dengan ayah biologisnya yang mereka dilahirkan dari hasil pernikahan yang tidak sah menurut hukum nergara. Putusan MK ini dilakukan untuk melakukan pengujian terhadap bunyi pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974. Berdasarkan Putusan MK yang merubah bunyi ketentuan Pasal 43 ayat (1) menjadi “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ayau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” Sebelum adanya putusan uji materil atas ketentuan pasal tersebut Undang-Undang hanya mengenal “...bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya...”
Bunyi pasal tersebut, dinilai sangat mencedrai hak-hak anak terutama terhadap anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan yang tidak sah menurut hukum negara, karena tidak adanya perlindungan hukum bagi anak untuk mendapatkan nama sah dari ayahnya dalam melakukan pencatatan kelahiran, terhapusnya hak waris si anak dari ayah biologisnyan dan hak-hak perdata lainnya. Bunyi ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan jelas sangat mencedrai hak – hak anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang tidak sah. Sementara menurut Hukum Alam menyatakan bahwa anak sebagai makhluk ciptaan tuhan telah diakui keberadaan sebagai subjek hukum semenjak ia berada di dalam kandungan sampai anak tersebut hidup pada saat dilahirkan ke dunia.Pemikiran tersebut juga telah lama diadopsi oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang diberlakukan di Indonesia melalui asas korkodansi.
Melalui Putusan MK mengenai perlindungan terhadap anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan yang tidak dicatatkan menurut hukum negara, adalah singkron bila  dilihat dari sudut pandang perlindungan hak-hak anak sebagaimana diatur dalam konvensi internasional perlindungan hak-hak anak, yang kemudian diadopsi dalam beberapa undang-undang nasional salah satunya dalam undang-undang tentang HAM Undang-Undang No 39 Tahun 1999 sebagaimana dinyatakan pada Pasal 52 ayat (1) setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tuanya..., kemudian ayat (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan, selanjutnya pada Pasal 56 ayat (1) setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dan undang-undang lainnya yang juga sama memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak seperti dalam Undang-Undang tentang kesejahteraan Anak yang mana keberadaan Undang-Undang telah lebih dahulu ada sebelum berlakunya UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Beberapa ketentuan dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM tersebut telah tegas mengariskan perlindungan terhadap hak-hak anak, tanpa membedakan apakah anak tersebut dicatatkan atau tidak dicatatkan. Asas pengaturan anak dalam UU HAM telah jelas bahwa UU HAM harus berpedoman pada prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia yang telah digariskan dalam DUHAM. Bahwa manusia adalah mahkuluk ciptaan tuhan yang dalam perlindungannya bersifat non diskriminasi.
Bermuara pada putusan MK yang telah merubah bunyi/redaksi dalam salah satu pasal tentang Anak dalam UU Perkawinan sangat tepat bila kita lihat berdasarkan penghormatan dan penghargaan terhadap prinsip-prinsip HAM terutama terhadap hak-hak anak sebagai manusia yang lahir merdeka.
Putusan MK tersebut juga memberikan runtutan dampak hukum terhadap pengakuan dan perlindungan hukum terutama bagi hak-hak anak yang dilahirkan dari pernikahan yang tidak dicatatatkan menurut hukum negara. Pengukuan hukum terhadap anak yang tidak sah dan yang telah disahkan dalam putusan MK penting untuk segera ditindaklanjuti dengan itikad baik melalui proses di DPR guna dilakukan perubuhan dan pengesahan terhadap perubahan bunyi dalam pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, sebagai akibat keputusan MK yang bersifat ingkrah dan mengikat. Karena sebelum dilakukan perubahan dan pengesahan terhadap perubahan bunyi pasal tersebut maka tidak dapat berdampak apa-apa terhadap pengakuan bagi hak-hak anak tidak sah, yang mana selama ini tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara terutama mengenai hak-hak keperdataan dari ayah biologisnya. Karena dalam UU Perkawinan mengatur bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan maka anak yang bersangkutan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Berbeda setelah keluarnya putusan MK saat ini anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sahpun masih memungkinkan untuk menumbulkan adanya hubungan perdata dengan ayah biologisnya sepanjang si ibu dari anak tersebut dapat membuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi melalui tes DNA yang menunjukkan bahwa seseorang laki-laki adalah ayah biologis dari anak yang telah ia lahirkan. Dan bukti-bukti pendukung tersebut mendapat pengesahan dari Pengadilan Negeri/Agama yang berwenang.
Dasar putusan pengadilan tersebut dapat memberikan pengesahan terhadap anak yang lahir dari pernikahan yang tidak dicatatkan untuk mendapatkan pengakuan hukum mengenai hubungan perdata antara si anak dengan ayah biologisnya. Pengakuan berdasarkan suatu penegesahkan dari putusan pengadilan tersebut dapat menjadi dasar bagi ibu si anak untuk mendapatkan nama dari ayah biologisnya, hak untuk mewaris, dan hak atas biaya hidup si anak dari ayah biologisnya.
Namun akibat hukum yang timbul akibat putusan MK dan putusan hakim tersebut harus pula disingkronkan dengan perubahan-perubahan yang mesti dilaksanakan oleh pemerintah salah satunya terkait dengan perubahan/penambahan kebijakan pemerintah dibidang pencatatan sipil terutama terkait dalam penerbitan akta kelahiran dari si anak yang lahir dari hasil pernikahan yang tidak sah, dan Kemudian mana dalam perkembangan hukum selanjutnya mendapatkan putusan hukum yang memungkinkan penerbitan akta kelahiran berdasarkan putusan pengadilan yang berdasarkan bukti-bukti yang cukup menurut ilmu pengetahuan dan teknologi dan keabsahanannya betul-betul dapat dibuktikan.
Jadi pengesahan terhadap anak yang lahir dari hasil penikahan yang tidak diakui oleh negara sejak disahkannya putusan hukum tersebut, merupakan babak baru bagi perlindungan hak-hak anak yang awalnya dinyatakan tidak sah oleh negara, mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum yang berjung pada akibat hukum yang ditimbulkannya yakni munculnya hubungan/ikatan perdata dengan ayah biologisnya, namun hubungan perdata tersebut tidak serta merta muncul sebelum adanya putusan pengadilan. Pemikiran ini senada dengan apa yang telah digariskan dalam perubahan terhadap bunyi pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan berdasarkan Putusan MK menjadi berbunyi “ anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan kelurga ayahnya” dengan terbitnya putusan MK yang merubah bunyi ketentuan pasal 43 ayat (1) tersebut belum pula serta merta/ dapat secara otomatis merubah status anak yang tidak sah menjadi sah menurut hukum negara sebelum dilakukan proses pembuktian dan pengesahan terlebih dahulu oleh pengadilan. Dan bila pengakuan tersebut telah disahkan berdasarkan Keputusan Hukum yang telah berkekuatan hukum tetap maka anak tidak sah menurut hukum negara menjadi sah sebagai anak yang berhak untuk mendapatkan pengakuan hak-haknya untuk salaing mewarisi. Karena dengan putusan hukum tersebut telah menimbulkan akibat hukum berupa pengakuan adanya hak-hak keperdataan si anak terhadap ayah biologisnya.(rda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar