1.TEORI
KONFLIK
Bila kita
mendengar kata konflik, maka asosiasi kita akan tertuju pada adanya peselesihan/
ketidakharmonisan/pertentangan dan atau yang palin ekstrim adanya tindakan
kekerasan. Konflik biasanya akan melibatkan adanya dua pihak yang besebrangan
antara satu dengan lainnya. Sebagai contoh A dan B bertetangga. A tidak terima
klo batas pagar rumah B dipindah karena akan memasuk 1 meter ke halaman rumah
A. Namun B tetap besikukuh akan memindahkan patok pagar rumahnya karena ada
kelebihan tanah B yang menjadi halaman A berdasarkan batasan ukuran luas tanah
yang dimuat dalam sertifikat. Namun A tetap menolak pemindahan batas tanah
tersebut dan akan melaporkan tindakan B kepolisi bila B tidak mencabut kembali
patok pagarnya yang baru.
Dari gambaran
singkat di atas, Dapat diambil kesimpulan, bahwa konflik timbul karena
adanya pertentangan/tidak harmonisnya
hubungan antara dua pihak yang mempunyai tujuan yang sama atau pemikiran yang
berbeda, dan/atau adanya kebutuhan yang sama, sementara ketersediaan sumber
daya/objek yang diperebutkan adalah terbatas jumlahnya. Penafsiran tersebut,
secara tidak langsung menunjukkan luasnya pengertian konflik. Pada praktiknya orang
akan memberikan penafsiran yang berbeda-beda mengenai apa itu konflik.
Dalam beberapa
literatur akan dapat ditemui beberapa pengertian mengenai konflik namun dari
berbagai definisi-definsi yang berkembang belum ada kesamaan pemahaman untuk
mendefinisikan apa itu arti konflik sesunguhnya.
Sebelum kita
masuk ke bagian teori-teori konflik ada baiknya kita menelaah dulu asal kata
konflik itu sendiri. Konflik berasal dari kata kerja
latin configere yang mengandung arti saling memukul. Sementara secara
sisologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih, dimana satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya (sumber: artikel “konflik sosial
dan permasalahannya”, hlm 1, 2012).
Gunawan wiradi berpendapat bahwa
konflik akan selalu menjadi pusat perhatian dalam ilmu-ilmu sosial, beskala
luas dan dampaknya juga luas( gunawan wiradi disampaikan dalam sebuah catatan ringkas Penelitian Mengenai Konflik
Agraria). Dari pendapat
tersebut menunjukan bahwa Konflik akan selalu muncul dalam tataran kehidupan
sosial masyarakat dan akan berealibel pada isu-isu tertentu, apakan itu akan
berada pada permasalahan ekonomi, budaya dan/atauPolitik.
Pengertian mengenai apa yang
dimaksud dengan konflik sosial. Para ilmuwan
sepakat mendefinisikan ”sebagai suatu kondisi/situasi proses interaksi antara
dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan obyek yang sama demi
kepentingannya”(sumber: Gunawan Wiradi, .....hlm 55). Jadi menurut penafsiran para ahli
sosial menyatakan, bahwa konflik sosial
tidak memberikan perbedaan terhadap pihak-pihak yang terlibat, dan akses yang
ditimbulkannya. Apakah itu interaksi antara individu atau perorangan.
Menurutnya, literatur yang
memberikan batasan arti terhadap konflik sangat banyak. Pengertian mengenai
konflik, akan bergantung pada sudut pandang para ahli dalam memberikan gambaran
mengenai apa itu konflik. Gunawan wiradi mencoba menawarkan satu definsi umum mengenai
apa itu konflik. Ia
merujuk pada pendapat seorang ahli yang bernama T.F Hoult, 1996. “Konflik adalah suatu
situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua atau lebih indvidu atau
kelompok, dalam memperebutkan objek yang sama, demi kepentinggannya”. Objek
dimaksud dapat berupa benda fisik dan fisik/ hal yang dapat memotivasi setiap
orang, atau kelompok orang untuk melakukan usaha keras/perjuangan untuk mendapatkannya.
Konflik merupakan satu titik tertingi equiblirium terjadinya praktik persaingan
yang keras, dan kadang dapat mengunakan kekuatan/kekerasan fisik. Konflik dalam arti ini, lebih diarahkan pada
pemahaman konflik dalam arti deskruktif. Pemaknaan konflik dalam arti ini,
senada dengan pandangan mengenai konflik dalam perspektif tradisional (The
Traditional View), yang berangapan bahawa konflik itu buruk, sesuatu yang
negatif, merugikan dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence,
destruction, dan irrationality. Konflik ini merupaka suatu hasil
disfungsional komunikasi akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan ,
keterbukaan antara orang-orang, dan kegagalan pemimpin untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan. (Sumber;Robbin1996:431) pendapat Robbin yang berusaha
menafsirkan konflik berdasarkan pandangan tradisional juga menekankan pada
lemahnya/rusakna komunikasi antara manusia/kelompok manusia. Sehingga munculnya
disharmonisasi.
Untuk lebih memahami mengenai Konflik
maka perlu ditelusuri sejarah munculnya teori konflik. Teori konflik
merupakan teori yang mulanya diperkenalkan oleh Karl Mark. Bermula pada
perhatiannya terhadap masalah-masalah perbedaan kelas sosial yang saat itu
berkembang di perancis. Perbedaan kelas tersebut, menciptakan adanya kelompok
masyarakat Borjuis dan Proletar. Masyarakat Borjuis merupakan kelas masyarakat
pemilik modal, mereka mempunyai kekuasaan dan kekuatan uang, memilik ilmu dan
keahlian khusus, sementara masyarakat kelas proletar adalah mereka yang relatif
minim memiliki sumber-sumber daya modal, unskill dan banyak sebagai pekerja
miskin. Kehidupannya bergantung pada sumber-sumber penghidupan yang
disediakan/diberikan dari masyarakat borjuis/pemilik modal.
Dengan demikian
kelas masyarakat borjuis, merupakan kelas masyarakat yang kuat. Sementara kelas
proletar merupakan kelas masyarakat yang lemah, Karena kuatnya kertergantungan
kelas masyarakat proletar terhadap kelas masyarakat borjuis secara tidak
langsung, dan kuatnya penetarasi ekonomi kelas borjuis terhadap kelas proletar
sehingga menimbulkan praktik-praktik eksploitasi kelas borjuis terhadap kelas
proletar.
Semakin lama gap/kesenjangan
antara kelas masyarakat borjuis dengan masyarakat proletar semakin lebar. Kesenjangan tersebut tidak
hanya di bidang ekonomi, tapi juga sudah
merembet ke bidang sosial dan budaya. Akibat berbagai tersebut mendorong
kesadaran dari kelas masyarakat proletar, yang memang selama ini berada di bawah
penguasaan kelas borjuis, melakukan pembrontakan yang lebih dikenal sebuah
gerakan sosial (revolusi), masuyarakat kelas proletar mengharapkan bahawa dari
gerakan ini akan mendapatkan kesetaraan dalam pembagian sumber-sumber ekonomi. Dan
mengakhiri kesenjangan dan praktik-praktik eksploitasi terhadap diri mereka. Kemudian
dari proses perjuangan tersebut maka muncullah apa yang dikatakan konflik.
Konflik yang lebih disebabkan, karena adanya ketimpangan akses untuk
memperoleh/menguasai sumber-sumber ekonomi.
Dari pergerakan
revolusi di perancis inilah, yang mengilhami ditelorkan dua teori mengenai
kelas sosial dan Teori Konflik oleh Karl Mark.
Teori konflik
Karl Mark tersebut pada hakikatnya, mengandung dua makna yaitu, teori konflik
yang mengandung sisi negatif, ditandai dengan adanya tindakan kekerasan melalui
revolusi sosial untuk mencapai tujuan/perubahan drastis kearah perbaikan, tapi
juga mengandung sisi positif dalam arti manfaat/fungsi. Maksud manfaat positif
disini bahwa untuk mencapai keadilan, dan kemakmuran di dalam masyarakat kadang
memang diperlukan adanya revolusi kelas.
Masih pada
tataran teori. Pada hakikatnya konflik itu tidak melulu diartikan sebagai
kondisi yang destruktif-negatif, tapi ada pula beberapa teori yang
memandang bahwa konflik itu harus ada, dan keberadaannya tidak dapat dihindari.
Pernyataan ini didukung dengan pendapat Robbin. Menurut Robbin pengertian
konflik dapat terbagi menjadi tiga(3) sudut pendang, yaitu Padangan Hubungan
Manusia, Pandangan Tradisional dan Pandangan Interasionis. Jika merunut pada
pandangan hubungan manusia(The Human Relation View), maka konflik
diartikan sebagai suatu peristiwa yang
wajar terjadi di dalam kelompok /organisasi. ”Konflik dianggap sebagai sesuatu
yang tidak dapat dihindari karena di dalam suatu kelompok atau organisasi pasti
terjadi karena adanya perbedaan pandangan/pendapat. Oleh karena itu konflik
harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat dan dapat mendorong
peningkatan kinerja organisasi, dengan kata lain, konflik harus dijadikan
sebagai motivasi untuk melakukan inovasi, atau perubahan di dalam tubuh
kelompok/ organisasi itu sendiri” (Robbin,1996,hlm 431).
Dari
pendapatnya tersebut. Robbin memandang bahwa konflik itu bukan hal yang selalu
merugikan.Ia lebih mefokuskan pada masalah organisasi/lembaga yang sedang
membangun/berkembang. Sebagai contoh bahwa konflik-konflik internal dapat
terjadi kapanpun bila memang lembaga itu terbuka, untuk menerima berbagai
pendapat/pemikiran kemudian dari perbedaan-perbedaan tersebut diharapkan dapat
menjadi masukan yang bermanfaat untuk menemukan ide-ide baru bagi
inovasi-inovasi bagi kemajuan lembaga/organisasi.
2.
KONFLIK AGRARIA
2.1
Agraria
Sebelum kita
menyentuh pada pembahasan mengenai konflik agraria, ada baiknya kita melihat
dulu, apa yang dimaksud dengan agraria. Karena tidak semua orang memahami bahwa
pengertian agraria cukup luas, dan tidak melulu berkaitan dengan masalah tanah.
Menurut budi
harsono dalam bukunya yang berjudul Hukum Agraria Indonesia menyatakan, bahwa
pengertian agraria dalam UUPA menganut arti luas yaitu, bumi,air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya. Batasan agraria dalam arti luas yang dianut dalam UUPA
bermakna bahwa pengaturan/hukum mengenai agraria dan tidak hanya mengatur satu
bidang hukum saja, tapi merupakan kelompok
berbagai bidang hukum, yang masing-masingnya berkaitan dengan penguasaan
Sumber Daya Alam. Diantaranya mencakup
tanah, kehutanan, perkebunan, air dan sumber daya alam lainnya.(Budi harsono, Hukum Agraria Indonesia,hlm
6-7, 1999).
Sementara,
batasan pemahaman mengenai Sumber Daya Alam itu sendirI dalam perkembangannya
cukup beragam. Tapi pada umumnya besumber pada aspek pemanfaatan dan nilai
ekonomi.atau secara lebih luas terletak pada aspek pengelolaannya.(sumber:Pengaturan Sumber Daya Alam di
Indonesia”antara tersurat dan tersirat, Fakultas Hukum UGM,hlm 7,2011).pengertian
ini dapat kita lengkapi bila kita merujuk pada salah satu batasan mengenai SDA
yang telah digagas oleh Kementrian Lingkungan Hidup RI tahun 2006. Kementrian
Lingkungan Hidup mendefinisikan Sumber Daya Alam adalah kesatuan tanah, air dan
ruang udara, termasuk kekayaan alam yang ada di atas dan di dalamnya
yang merupakan hasil proses alamiah baik hayati mapun non hayati, terbarukan
maupun tidak terbarukan sebagai fungsi kehidupan yang meliputi fungsi ekonomi,
sosial dan lingkungan.(sumber: pasal 1, butir 1 UU tentang
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Kementrian Lingkungan Hidup RI, 2006). Bila
kita mengacu pada penafsiran mengenai
SDA diatas maka dapat diartikan bahwa Sumber Daya Alam merupakan kekayaan alam
yang ada di permukaan bumi dan di dalam perut bumi baik
yang terbarukan maupun tidak terbarukan. Dan sangat berperan penting begi
kehidupan manusia/asas kemanfaatan oleh karena memiliki nilai ekonomi yang
diwujudkan dalam bentuk pengusaan dan pengelolaan terhadapnya.
2.2 Konflik Agraria
Agraria terwujud dalam bentuk
penguasaan dan pengelolaan atas Sumber Daya Alam. Sumber Daya Alam memiliki
peranan strategis bagi kehidupan manusia karena manfaat ekonomi yang
dikandungnya.Berdasarkan penfasiran umum, bahwa segala sesuatu yang memiliki
nilai eknomis umumnya jumlah ketersediaanya akan terbatas. Sama halnya dengan
Sumber Daya Alam/SDA. Pada saat Sumber Daya Alam digunakan untuk memenuhi kebutuhan
manusia, mengelolanya untuk mendapatkan uang/memenuhi kebutuhan ekonomi, maka
resiko-resiko timbulnya persaingan akan semakin besar. Setiap orang akan
berusaha menguasai dan memanfaatkannya, apalagi jumlahnya terbatas.
kecendrungan mereka akan bersaing untuk mendapatkannya. Dari masalah
ini maka akan dapat menimbulkan pertentangan. Saling klaim mengklaim diantara
mereka. Dan pada saat masalah ini sudah masuk ke tataran sosial yang luas maka
akan menimbulkan konflik. Atau yang lebih dikenal dengan istilah konflik
agraria.
Penafsiran
tersebut di atas, senada dengan apa yang menjadi buah pemikiran gunawan wiradi.
Ia berpendapat bahwa, semua jenis konflik agraria timbul sebagai akibat dari
adanya ketidakserasian/kesenjangan terkait sumber-sumber agraria yang tidak
lain adalah SDA. Dalam memahami konflik agraria ia menawarkan bahwa kunci
utamanya adalah kesadaran kita bahwa tanah/SDA merupakan hal yang vital yang
melandasi semua aspek kehidupan manusia.dalam pandangannya secara komprehensif
mengenai konflik agraria.(gunawan wiradi,hlm56,…...)Ia juga
mencoba mengindentifikasikan bahwa ada beberapa bentuk kesenjangan diantaranya;
kesenjangan dalam penguasaan, konsep penguasaan,hukum dan kebijakan yang saling
bertentangan.
Bila kita
merunut pada identifikasi timbulnya konflik karena adanya kesenjangan
penguasaan/pemanfaatan akibat adanya kebijakan/hukum yang diskriminatif dalam
mengatur hungan-hubungan pengusaan dan pengelolaan SDA. maka identifikasi ini
sangat relevan bila kita kaitkan pada penyebab maraknya berbagai konflik
agraria yang banyak terjadi di Indonesia. Menurut Usep Setiawan,aktivis KPA
menyatakan bahwa lahirnya konflik sosial dibidang kehutanan/SDA, lebih
disebabkan salah urus dalam pelaksanaan kebijakan, dan ketimpangan akibat
adanya ketimpangan dalam penguasaan tanah, dan kekayaan alam lainnya. Pada
hakikatnya konflik agraria mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa
keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan
kekayaan alam. Seperti kaum petani, nelayan dan masyarakat. Ketidak adilan ini
muncul sebagai akibat adanya penerapan konsep hak menguasai negara atas sumber
daya alam yang salah.
Penerapan
konsep hak menguasai negara, atas sumber-sumber daya alam yang ditujukan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat pada praktiknya lebih banyak digunakan
untuk melegitimasi negara dalam hal memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi
pemilik modal besar untuk membuka usaha-usaha pengelolaan Sumber Daya Alam
dengan dalih untuk melaksanakan pembangunan perekonomian.akibatnya dari tujuan
tersebut maka keluarlah berbagai kebijakan pemerintah, yang tidak jarang akibat
dari kebijakan tersebut mengeliminasi keberadaan masyarakat termasuk masyarakat
adat dari tanah tempat penghidupannya selama ini. Pada sisi lain terhadap mereka/masyarakat
yang telah terusir dari tanahnya, tidak menerima ketidakadilan akibat kebijakan
tersebut kemudian mendorong mereka bersama-sama melakukan perlawanan, sehingga
konflikpun bermunculan. Konflik yang terjadi antara masyarakat/petani yang
mempertahankan hak-haknya dari segala bentuk penguasaan sewenang-wenang dari
perusahaan-perusahaan pemilik modal yang berselimut di balik perlindungan
negara/konsesi.
Konflik
serupa juga sering terjadi antara masyarakat adat yang mempertahankan sumber
penghidupannya berhadapan dengan perusahaan pertambangan, perkebunan dan/atau
perusahaan perkayuan. Berbagai konflik
tersebut umumnya selalu disertai dengan kekerasan,penyiksaan, bahkan
penculikan atau pembunuhan(sumber: data pengaduan tahun
2012) Konflik semacam ini jelas menimbulkan kehancuran atau yang dikenal dengan
konflik destruktif. Konflik destruktif merupakan konflik yang bersifat negatif.
Menurut pandangan tradisional konflik ini harus dihindari karena konflik itu
buruk, sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Konflik
disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.(robbin,1996,431),
pendapat ini sama halnya dengan apa yang dinyatakan mengenai konflik menurut
T.F Hoult,1996 (dikutip dari gunawan wiradi artikel, hlm 2) menurutnya konflik
adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua atau lebih
individu atau kelompok, dalam memperebutkan objek yang sama demi
kepentingannya. maksud memperebutkan objek yang sama tersebut berarti adanya
kebutuhan setiap orang terhadap objek tersebut dalam kerangka ini dapat kita
ambil contoh Sumber Daya Alam seperti tanah, bahan tambang, kekayaan hutan dan
lainnya. Yang terpenting objek tersebut mengandung nilai ekonomi. Jadi dapat
kita simpulkan bahwa arti konflik bila dihubungan dengan agararia merupakan
suatu pertentangan/persaingan antara sekelompok orang dengan pihak lain yang
lebih kuat baik itu pemodal atau pemegang kebijakan/wewenang untuk
memperebutkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber daya alam yang mengandung
nilai ekonomi, baik itu berupa tanah,hutan dan sumber-sumber mineral lainnya
yang dapat mendukung kehidupan manusia. Gunawan wiradi berpendapat bahwa
sengketa dan konflik mempunyai arti yang berbeda. Menurutnya konflik akan
selalu muncul dalam tataran kehidupan sosial masyarakat dan akan berhubungan
pada isu-isu tertentu, apakah itu akan berada pada permasalahan ekonomi, budaya
atau politik, oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa konflik itu
mempunyai subjek, dan dampak yang luas.
Maria S.W
Sumardjono telah coba mengindetifikasikan beberapa akar permasalahan konflik pertanahan termasuk sumberdaya
agraria lainnya. Secara garis besar dapat di timbulkan oleh hal-hal sebagai
berikut: (sumber: Pokok-Pokok Pikiran mengenai Penyelesaian Konflik
Agraria, hlm 57,2006)
a.
Konflik kepentingan, yang disebabkan
karena adanya persaingan kepentingan yang terikat dengan kepentingan substantif
(contoh: hak atas sumber daya agraria termasuk tanah), kepentingan prsedural
maupun psikologis;
b.
Konflik struktural yang disebabkan
antara lain karena: pola perilaku atau interaksi yang destruktif;control
pemilikan atau pembagian sumberdaya agraria yang tidak seimbang; serta faktor
geografis fisik atau lingkungan yang menghambat kerjasama;
c.
Konflik nilai, disebakan karena
perbedaan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi gagasan atau
prilaku;perbedaan gaya hidup,ideology atau agama/kepercayaan;
d.
Konflik hubungan yang disebabkan karena
emosi yang berkelbihan, persepsi yang keliru,komunikasi yang buruk
atausalah;pengulangan prilaku yang negatif.
Bila kita
berpedoman pada pendapat maria mengenai penyebab timbulnya permasalah konflik
pertanahan, dan sumberdaya alam diatas. Maka dapat kita simpulkan bahwa ia
mencoba melakukan indentifikasi mengenai akar masalah konflik agraria, dengan
menggunakan pendekatan berbagai teori umum mengenai konflik dan bentuk-bentuk
konflik. beliau tidak langsung melihat penyebab dominan yang sering terjadi di
lapangan atau hal-hal apa yang paling sering menjadi pemicu munculnya berbagai
konflik agraria di Indonesia.
Sementara
pada sisi lain menurut Direktur Sajogyo Institute Noer Fauzi Rachman juga
mencoba melakukan identifikasi langsung terhadap beberapa penyebab timbulnya
konflik agraria di Indonesia. Menurutnya ada empat penyebab konflik yaitu:
pertama pemberian izin oleh pejabat publik yang memasukkan lahan kelola
masyarakat ke dalam wilayah produksi,ekstraksi, maupun konservasi atau untuk
pengusahaan bentuk lainnya, kedua; penggunaan kekerasan dalam pengadaan tanah
baik untuk kepentingan umum maupun untuk konsesi (dalam hal ini biasanya dengan
melibatkan aparat keamanan dalam pengamanan perusahaan.pen),
ketiga eksklusif sekelompok masyarakat dari kelolanya, ke empat adanya
perlawanan rakyat dari ekslusif tersebut. (sumber:
www.wordpress.com,media online Gagasan Hukum,artikel dan Legal Opinion” )
Berbicara mengenai penyebab muculnya
konflik karena adanya bentuk-bentuk perlawanan rakyat sebagai akibat adanya
kondisi ekslusi. Identifikasi akar masalah ini, sama halnya bila kita merunut
pendapat tokoh sosialis Karl Mark. Menurut teori Marxis, bahwa, konflik agraria
terjadi akibat perkembangan ekonomi kapitalis, yang mengakibatkan penduduk
terlempar dari tanahnya. Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk
yang tidak punya tanah, atau tanahnya yang dirampas oleh kapitalis/mereka yang
mempunyai modal(sumber:www.wordpress.com). Sementara bila
kita merunut pada teori Pluralisme hukum, memandang konflik agaria terjadi
akibat adanya lebih, dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh
berbagai pihak terutama hukum adat dan hukum negara. Jadi menurut teori
Pluralisme. Teori ini lebih menekankan bahwa timbulnya konflik agaria akibat
adanya pertentangan pemberlakukan dua hukum yaitu, hukum negara satu sisi dan
hukum adat pada sisi lainya. Sebagai contoh pada kasus-kasus tertentu adanya
konflik-konflik lahan dan SDA yang melibatkan masyarakat adat dan negara.
Negara dalam kapasitas sebagai pemegang dan pembuat berbagai kebijakan/hukum.
Pendapat ini juga diperkuat oleh teori kebijakan. Teori ini juga sering menjadi
acuan untuk melakukan identifikasi terhadap penyebab-penyebab munculnya konflik
agraria. Menurut teori ini, bahwa konflik agraria terjadi akibat adanya
kebijakan tertentu dari negara. Seperti; kebijakan pembangunan. (sumber:www.wordpress.com)
Dengan adanya
kebijakan pembangunan tersebut, maka otomatis segala potensi/sumber daya yang
ada termasuk agraria, dan alam menjadi salah satu objek yang menjadi
pertaruhan. Guna mendapatkan uang sebanyak-banyaknya sebagai modal pembangunan.
Kondisi ini membawa akibat munculnya bentuk-bentuk kapitalisme baru, yang
mengerogoti lahan-lahan mata pencarian rakyat. Dan kadang menjadikan mereka/rakyat sebagai korban yang
terusir dari tanahnya akibat kebijakan-kebijkan konsesi bagi pemliki modal
besar/investor, dalam penguasaan dan pengelolaan agraria dan SDA.(rda)