Pembangunan merupakan bagian
perwujutan tanggung jawab negara terhadap warga negaranya, dalam bentuk
pencapaian peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat oleh karena itu
pembangunan merupakan bagian pemenuhan HAM oleh negara (duty barrier)
terhadap warga negaranya (Rights Holders),oleh
karena itu pembangunan harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan
dan pemenuhan HAM. Pemikiran tersebut dapat diartikan bahwa pembangunan itu
bukan hanya dalam arti pemenuhan HAM namun tak kalah penting lainnya adalah
bagaimana setiap tahap pembangunan itu memperhatikan perlindungan terhadap HAM (how to protect)
kårena pemenuhan dan perlindungan HAM merupakan element utama sebagai tanggung
jawab negara dan berdampak secara langsung terhadap kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan itu maka
United Nation (UN)/PBB dalam kerangka kerjanya yang termaktub di dalam
Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip etika yang berhubungan dengan perubahan
Iklim) atau yang dikenal dengan Declaration of
Ethical Principles in Relatian to Climate Change (2017) tepatnya
pada General
Provisons di dalam articel 5 pada huruf a tentang Pembangunan Yang
berkelanjutan. Dalam ketentuan ini PBB menawarkan konsep tujuan pembangunan
yang berkelanjutan dalam kerangka Hak Asasi Manusia atau yang dikenal dengan “Sustainable
Development Goals and Human Rights” bagi negara-negara. Ketentuan
tersebut menegaskan bahwa guna menjamin bahwa generasi saat ini dan pada masa
mendatang dapat memenuhi segala kebutuhan mereka , ini menjadi hal yang dinilai
penting bahwa bagi setiap negara dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk
melakukan beberapa hal diantaranya:
“Meyampaikan
dan melaksanakan agenda PBB sampai pada tahun 2030 mengenai pembangunan yang
berkelanjutan dan tujuan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya pembangunan
yang mengadopsi pada konsep yang secara efesien melalui pembangunan yang
menekanakan pada pengurangan dampak perubahan iklim dan pengurangan dampak
emisi rumah kaca.."
Deklarasi tersebut merupakan
konsep pembangunan yang menepatkan prinsip-prinsip HAM sebagai titik pusatnya,
dan pada akhirnya konsep pembangunan ini diharapkan dapat diterapkan
sebagai agenda pembangunan sampai tahun 2030. Oleh karna itu, proses
pembangunan sampai pada tahun 2030 akan menempatkan isu HAM sebagai indikator
utama dalam pencapaian pembangunan. Konsep SDGs yang berdimensi HAM ini
mengunakan instrument-instrumen HAM internasional sebagai payung hukumnya
dimulai dari Deklarasi DUHAM 1948, Konvensi Internasional tentang EKOSOB dan
Konvensi Internasional tentang SIPOL, yang kemudian instrument-instrumen
tersebut dijadikan bahan indikator bagi pemenuhan HAM dikaitkan pada 9
(Sembilan) tujuan pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana telah dimuat dalam
Panduan Teknis Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjuta (RANPTB)
yang diterbitkan oleh BAPPENAS, dari beberapa instrument hukum-HAM yang
dijadikan sebagai landasan hukum dalam mengintegrasikan prinisip-prinsip HAM ke
dalam rencanan pembangunan (yang berkelanjutan tersebut), masih terdapat hukum
nasional yang khusus mengatur tentang perlindunga, pemenuhan dan penghormatan
HAM itu sendiri yakni UUD 1945 amandemen ke IV dan UU No. 39/1999 tentang HAM,
kedua instrument ini perlu menjadi landasan hukum dalam penyusunan RANPTB oleh
pemerintah sebagai pelaksana negara dalam melakukan pembangunan.
Dalam RANPTB-Bappenas telah
ditetapkan beberapa target oleh pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.
Adapun 9 (Sembilan) sektor tujuan pembangunan tersebut adalah (1) Penghapusan
kemiskinan, (2) Penghapusan kelaparan (3) Kesehatan dan Kesehjahteraan,(4)
pendidikan yang berkualitas, (5) kesetaraan gender, (6) ketersediaan air bersih
dan sanitasi (7) pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, (8) penurunan
kesenjangan dan (9) perdamaian,keadilan dan kelembagaan yang kuat. Delapan
tujuan tersebut dalam konsep tujuan pembangunan yang berkelanjutan merupakan
sasaran yang akan dicapai sabagai salah satu bentuk perwujutan pemenuhan HAM.
Namun dari kesembilan tujuan
pembangunan yang berbasis pada dampak pemenuhan HAM tersebut menunjukkan bahwa
kelompok kerja HAM perwakilan PBB di Indonesia dan pemerintah, masih belum
menyentuh pentingnya isu penguasaan dan penatagunaan tanah untuk dijadikan satu
point perhatian yang penting dimasukkan kedalam salah satu sektor tujuan
pembangunan. Seperti berbagai masalah pengadaan tanah untuk pembangunan di
Indonesia baik secara langsung maupun tidak lagsung akan berdampak pada
kelanjutan pembangunan. Pembangunan sudah tentu membutuhkan pengadaan tanah,
sementara dengan maraknya pembangunan itu sendiri, masalah pengadaan tanah pada
dimensi yang berbeda menjadi sebuah masalah yang fundamental (mendasar) dan
penting diperhatikan, karena dengan adanya pengadaan tanah untuk pembangunan
idealnya bukan malah menyisakan masalah baru lainnya yakni munculnya
titik-titik kemiskinan baru di dalam masyarakat, karna tujuan pembangunan itu
sendiri adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu jangan sampai
untuk alasan pembangunan pada sisi lain akan menimbulkan kemiskinan karena
banyak warga yang kehilagan tempat tiggalnya dan banyak warga yang kehilangan
sumber mata pencariannya. Hal lain lagi bahwa masalah tanah melalui projek
pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum ini pada praktiknya
juga berdampak pada masalah pengabaian hak tempat tinggal masyarakat, sementara
jaminan tempat tinggal yang layak dan kemudahan akses perekonomian bagi
masyarakat juga menjadi tanggung jawab negara dalam pemenuhan HAM itu sendiri.
Oleh karena itu hak tempat tinggal yang layak dan perlindungan hak atas
penguasaan tanah menjadi penting untuk menjadi perhatian dalam kerangkan
pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, jika pemerintah/negara benar-benar
ingin konsisten terhadap pelaksanaan pembangunan yang berkelajutan yang
meletakkan ke dalam kerangka pemenuhan HAM.
Hal lain yang perlu menjadi
perhatian adalah mengenai keberlangsungan jaminan keseimbangan lingkungan hidup
khsusnya mengenai lingkungan dan udara yang sehat. Dampak pembangunan juga
berkaitan dengan polusi udara/haze pollution,
munculnya kerusahaan lingkungan dan polusi udara yang bersumber pada kebakaran
hutan, pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keberlangsungan
ekosistem dan juga limbah dan asap dari pabrik-pabrik perusahaan industri yang mana
hal ini secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada jaminan pemenuhan
Hak atas kesehatan.salah satunya mengenai kasus kebakaran hutan yang berdampak
pada pencemaran udara dan rusaknya ekosistem. Karna masalah perlindungan
lingkungan hidup dan penyediaan lingkungan dan udara yang sehat dan bersih bagi
kehidupan umat manusia juga menjadi salah satu kewajiban dari negara. Masalah
kerusakan udara/haze
polution dan lingkungan ini, di dalam perkembangannya menjadi salah satu
isu yang krusial dalam perdebatan global. Seperti munculnya masalah kebakaran
hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan salah satunya pencemaran udara
dan masalah kesehatan, akibat dampak kerusakan udara dan lingkungan tersebut
mendorong beberapa negara-negara yang berdampak mengambil beberapa langkah dan
strategi bagi pengurangan penyebab-penyebab munculnya kerusakan udara tersebut,
salah satu strategi yang telah dilakukan adalah didahului dalam bentuk
pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi internasional dengan membawa isu kerusakan
lingkungan ke dalam tema sentralnya, yang kemudian klimaksnya pada bulan
Oktober 2005,Sidang Umum UNESCO-UN menerima secara aklamasi Deklarasi
(pernyataan) universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini
menjadi pembuka pintu sejarah yang di dalamnya juga mengatur mengenai masalah
etika dalam pengelolaan bisofera dan lingkungan yang mengedepankan dan
memperkenalnya prinsip-prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, hak
asasi manusia dan memastikan penghormatan terhadap keberlangsungan kehidupan
manusia di dalam pembangunan. Deklarasi ini mengakui adanya keterkaitan antara
etika dan hak asasi manusia dalam bidang biotika yang khusus dan menyeluruh,
adapun keterkaitan tersebut kemudian dimuat di dalam pengaturan pada deklarasi ini,yakni
di dalam pasal 3 tentang Martabat manusia dan HAM pada ayat (1) nya dinyatakan:
bahwa martabat manusia, hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar harus
sepenuhnya dihormati, kemudian pada ayat (2)nya dinyatakan ; bahwa kepentingan
dan kesejahteraan perorangan seharusnya diberi prioritas di atas kepentingan
satu-satunya dari ilmu pengetahuan atau masyarakat. Selanjutnya dalam pasal 17
tentang Perlindunga Lingkungan Hidup, Biosfera dan Keragaman Hayati dinyatakan
bahwa penghormatan perlu diberikan untuk saling terhubung antara manusia dan
bentuk-bentuk lain dari kehidupan, untuk pentingnya pencapaian yang sesuai dan
penggunaan sumber daya biologi dan genetika, untuk hormat pada pengetahuan
tradisional dan untuk peran manusia dalam perlindungan lingkungan hidup,
biosfera dan keragaman hayati. Kedua pasal di atas menekankan pentingnya
menjaga keseimbagan lingkungan hidup bagi jaminan pemenuhan hak-hak kehidupan
manusia yang berkelanjutan, aman dan sehat sebagai bagian dari penghormatan
martabat dan hak asasi manusia. Dan kemudian kewajiban negara diatur secara
tegas di dalam pasal 22 tentang peranana negara pada ayat (1)nya dinyatakan
bahwa negara seharusnya mengambil semua tindakan yang sesuai, apakah itu ada
masalah legislatif,administratif dan/atau tindakan-tindalan lainnya, guna
memberi pengaruh atas prinsip-prinsip yang tertera dalam pernyataan ini sesuai
dengan hukum internasional, hak asasi manusia.,kemudian pada ayat(2)nya
dinyatakan bahwa negara seharusnya mendorong pembentukan komunitas etika yang
bebas,multidisiplin dan pluralistik…”. Pengunaan pendekatan etika dalam
perlindungan lingkungan hidup. Biosfera dan keragaman hayati hal ini lebih
disebabkan pada masalah bahwa kerusakan lingkungan hidup kuat hubungannya
dengan masalah itikad baik dan prilaku buruk dari manusia itu sendiri, yang
karena motivasi kebutuhan dan desakan ekonomi menjadi pemicu manusia dan atau
sekelompok manusia melakukan segala hal/aktivitas ekspoloitasi alam tanpa
memperhatikan nilai-nilai etika dan keseimbagan alam seperti; pembakaran hutan,
penebangan pohon dan segala aktivitas yang berdampak pada kerusakan lingkungan
hidup dan tergangunya ekosistem alam. Oleh karna itu melalui intervensi
kebijakan,peraturan, dan administratif oleh Negara diharapkan dapat merubah
pola prilaku masyarakat dalam mengelolaan sumber-sumber kekayaan alam seperti
apa yang dikenal dengan istilah “Law as tool social
engineering” yakni hukum/kebijakan dapat dijadikan sebagai alat perubahan
prilaku dalam masyarakat (rda-2020).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar