Senin, 29 Juni 2020

MENGINTEGRASIKAN PRINSIP-PRINSIP HAM KEDALAM KERANGKA TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (SDGs)

       





Pembangunan merupakan bagian perwujutan tanggung jawab negara terhadap warga negaranya, dalam bentuk pencapaian peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat oleh karena itu pembangunan merupakan bagian pemenuhan HAM oleh negara (duty barrier) terhadap warga negaranya (Rights Holders),oleh karena itu pembangunan harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan dan pemenuhan HAM. Pemikiran tersebut dapat diartikan bahwa pembangunan itu bukan hanya dalam arti pemenuhan HAM namun tak kalah penting lainnya adalah bagaimana setiap tahap pembangunan itu memperhatikan perlindungan terhadap HAM  (how to protect) kårena pemenuhan dan perlindungan HAM merupakan element utama sebagai tanggung jawab negara dan berdampak secara langsung terhadap kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan itu maka United Nation (UN)/PBB dalam kerangka kerjanya  yang termaktub di dalam Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip etika yang berhubungan dengan perubahan Iklim) atau yang dikenal dengan Declaration of Ethical Principles in Relatian to Climate Change (2017)  tepatnya pada General Provisons di dalam articel 5 pada huruf a tentang Pembangunan Yang berkelanjutan. Dalam ketentuan ini PBB menawarkan konsep tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam kerangka Hak Asasi Manusia atau yang dikenal dengan “Sustainable Development Goals and Human Rights” bagi negara-negara. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa guna menjamin bahwa generasi saat ini dan pada masa mendatang dapat memenuhi segala kebutuhan mereka , ini menjadi hal yang dinilai penting bahwa bagi setiap negara dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan beberapa hal diantaranya:
      “Meyampaikan dan melaksanakan agenda PBB sampai pada tahun 2030 mengenai pembangunan yang berkelanjutan dan tujuan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya pembangunan yang mengadopsi pada konsep yang secara efesien melalui pembangunan yang menekanakan pada pengurangan dampak perubahan iklim dan pengurangan dampak emisi rumah kaca.."
Deklarasi tersebut merupakan konsep pembangunan yang menepatkan prinsip-prinsip HAM sebagai titik pusatnya, dan pada akhirnya  konsep pembangunan ini diharapkan dapat diterapkan sebagai agenda pembangunan sampai tahun 2030. Oleh karna itu, proses pembangunan sampai pada tahun 2030 akan menempatkan isu HAM sebagai indikator utama dalam pencapaian pembangunan. Konsep SDGs yang berdimensi HAM ini mengunakan instrument-instrumen HAM internasional sebagai payung hukumnya dimulai dari Deklarasi DUHAM 1948, Konvensi Internasional tentang EKOSOB dan Konvensi Internasional tentang SIPOL, yang kemudian instrument-instrumen tersebut dijadikan  bahan indikator bagi pemenuhan HAM dikaitkan pada 9 (Sembilan) tujuan pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana telah dimuat dalam Panduan Teknis Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjuta (RANPTB) yang diterbitkan oleh BAPPENAS, dari beberapa instrument hukum-HAM yang dijadikan sebagai landasan hukum dalam mengintegrasikan prinisip-prinsip HAM ke dalam rencanan pembangunan (yang berkelanjutan tersebut), masih terdapat hukum nasional yang khusus mengatur tentang perlindunga, pemenuhan dan penghormatan HAM itu sendiri yakni UUD 1945 amandemen ke IV dan UU No. 39/1999 tentang HAM, kedua instrument ini perlu menjadi landasan hukum dalam penyusunan RANPTB oleh pemerintah sebagai pelaksana negara dalam melakukan pembangunan.
Dalam RANPTB-Bappenas telah ditetapkan beberapa target oleh pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Adapun 9 (Sembilan) sektor tujuan pembangunan tersebut adalah (1) Penghapusan kemiskinan, (2) Penghapusan kelaparan (3) Kesehatan dan Kesehjahteraan,(4) pendidikan yang berkualitas, (5) kesetaraan gender, (6) ketersediaan air bersih dan sanitasi (7) pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, (8) penurunan kesenjangan dan (9) perdamaian,keadilan dan kelembagaan yang kuat. Delapan tujuan tersebut dalam konsep tujuan pembangunan yang berkelanjutan merupakan sasaran yang akan dicapai sabagai salah satu bentuk perwujutan pemenuhan HAM.
Namun dari kesembilan tujuan pembangunan yang berbasis pada dampak pemenuhan HAM tersebut menunjukkan bahwa kelompok kerja HAM perwakilan PBB di Indonesia dan pemerintah, masih belum menyentuh pentingnya isu penguasaan dan penatagunaan tanah untuk dijadikan satu point perhatian yang penting dimasukkan kedalam salah satu sektor tujuan pembangunan. Seperti berbagai masalah pengadaan tanah untuk pembangunan di Indonesia baik secara langsung maupun tidak lagsung akan berdampak pada kelanjutan pembangunan. Pembangunan sudah tentu membutuhkan pengadaan tanah, sementara dengan maraknya pembangunan itu sendiri, masalah pengadaan tanah pada dimensi yang berbeda menjadi sebuah masalah yang fundamental (mendasar) dan penting diperhatikan, karena dengan adanya pengadaan tanah untuk pembangunan idealnya bukan malah menyisakan masalah baru lainnya yakni munculnya  titik-titik kemiskinan baru di dalam masyarakat, karna tujuan pembangunan itu sendiri adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu jangan sampai untuk alasan pembangunan pada sisi lain akan menimbulkan kemiskinan karena banyak warga yang kehilagan tempat tiggalnya dan banyak warga yang kehilangan sumber mata pencariannya. Hal lain lagi bahwa masalah tanah melalui projek pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum ini pada praktiknya juga berdampak pada masalah pengabaian hak tempat tinggal masyarakat, sementara jaminan tempat tinggal yang layak dan kemudahan akses perekonomian bagi masyarakat juga menjadi tanggung jawab negara dalam pemenuhan HAM itu sendiri.  Oleh karena itu hak tempat tinggal yang layak dan perlindungan hak atas penguasaan tanah menjadi penting untuk menjadi perhatian dalam kerangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, jika pemerintah/negara benar-benar ingin konsisten terhadap pelaksanaan pembangunan yang berkelajutan yang meletakkan ke dalam kerangka pemenuhan HAM.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah mengenai keberlangsungan jaminan keseimbangan lingkungan hidup khsusnya mengenai lingkungan dan udara yang sehat. Dampak pembangunan juga berkaitan dengan polusi udara/haze pollution, munculnya kerusahaan lingkungan dan polusi udara yang bersumber pada kebakaran hutan, pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keberlangsungan ekosistem dan juga limbah dan asap dari pabrik-pabrik perusahaan industri yang mana hal ini secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada jaminan pemenuhan Hak atas kesehatan.salah satunya mengenai kasus kebakaran hutan yang berdampak pada pencemaran udara dan rusaknya ekosistem. Karna masalah perlindungan lingkungan hidup dan penyediaan lingkungan dan udara yang sehat dan bersih bagi kehidupan umat manusia juga menjadi salah satu kewajiban dari negara. Masalah kerusakan udara/haze polution dan lingkungan ini, di dalam perkembangannya menjadi salah satu isu yang krusial dalam perdebatan global. Seperti munculnya masalah kebakaran hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan salah satunya pencemaran udara dan masalah kesehatan, akibat dampak kerusakan udara dan lingkungan tersebut mendorong beberapa negara-negara yang berdampak mengambil beberapa langkah dan strategi bagi pengurangan penyebab-penyebab munculnya kerusakan udara tersebut, salah satu strategi yang telah dilakukan adalah didahului dalam bentuk pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi internasional dengan membawa isu kerusakan lingkungan ke dalam tema sentralnya, yang kemudian klimaksnya pada bulan Oktober 2005,Sidang Umum UNESCO-UN menerima secara aklamasi Deklarasi (pernyataan) universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini menjadi pembuka pintu sejarah yang di dalamnya juga mengatur mengenai masalah etika dalam pengelolaan bisofera dan lingkungan yang mengedepankan dan memperkenalnya prinsip-prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, hak asasi manusia dan memastikan penghormatan terhadap keberlangsungan kehidupan manusia di dalam pembangunan. Deklarasi ini mengakui adanya keterkaitan antara etika dan hak asasi manusia dalam bidang biotika yang khusus dan menyeluruh, adapun keterkaitan tersebut kemudian dimuat di dalam pengaturan pada deklarasi ini,yakni di dalam pasal 3 tentang Martabat manusia dan HAM pada ayat (1) nya dinyatakan: bahwa martabat manusia, hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar harus sepenuhnya dihormati, kemudian pada ayat (2)nya dinyatakan ; bahwa kepentingan dan kesejahteraan perorangan seharusnya diberi prioritas di atas kepentingan satu-satunya dari ilmu pengetahuan atau masyarakat. Selanjutnya dalam pasal 17 tentang Perlindunga Lingkungan Hidup, Biosfera dan Keragaman Hayati dinyatakan bahwa penghormatan perlu diberikan untuk saling terhubung antara manusia dan bentuk-bentuk lain dari kehidupan, untuk pentingnya pencapaian yang sesuai dan penggunaan sumber daya biologi dan genetika, untuk hormat pada pengetahuan tradisional dan untuk peran manusia dalam perlindungan lingkungan hidup, biosfera dan keragaman hayati. Kedua pasal di atas menekankan pentingnya menjaga keseimbagan lingkungan hidup bagi jaminan pemenuhan hak-hak kehidupan manusia yang berkelanjutan, aman dan sehat sebagai bagian dari penghormatan martabat dan hak asasi manusia. Dan kemudian kewajiban negara diatur secara tegas di dalam pasal 22 tentang peranana negara pada ayat (1)nya dinyatakan bahwa negara seharusnya mengambil semua tindakan yang sesuai, apakah itu ada masalah legislatif,administratif dan/atau tindakan-tindalan lainnya, guna memberi pengaruh atas prinsip-prinsip yang tertera dalam pernyataan ini sesuai dengan hukum internasional, hak asasi manusia.,kemudian pada ayat(2)nya dinyatakan bahwa negara seharusnya mendorong pembentukan komunitas etika yang bebas,multidisiplin dan pluralistik…”. Pengunaan pendekatan etika dalam perlindungan lingkungan hidup. Biosfera dan keragaman hayati hal ini lebih disebabkan pada masalah bahwa kerusakan lingkungan hidup kuat hubungannya dengan masalah itikad baik dan prilaku buruk dari manusia itu sendiri, yang karena motivasi kebutuhan dan desakan ekonomi menjadi pemicu manusia dan atau sekelompok manusia melakukan segala hal/aktivitas ekspoloitasi alam tanpa memperhatikan nilai-nilai etika dan keseimbagan alam seperti; pembakaran hutan, penebangan pohon dan segala aktivitas yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan tergangunya ekosistem alam. Oleh karna itu melalui intervensi kebijakan,peraturan, dan administratif oleh Negara diharapkan dapat merubah pola prilaku masyarakat dalam mengelolaan sumber-sumber kekayaan alam seperti apa yang dikenal dengan istilah “Law as tool social engineering” yakni hukum/kebijakan dapat dijadikan sebagai alat perubahan prilaku dalam masyarakat (rda-2020).






Tidak ada komentar:

Posting Komentar