I. Permasalahan
Perkembangan transportasi dan pembangunan jalur-jalur jalan baru telah meningkatkan interaksi desa-kota.Perkembangan kota dengan segala permasalahan yang ditimbulkan tersebut dipengaruhi oleh faktor budaya, alam, dan kependudukan. Sehubungan dengan jumlah penduduknya, terdapat dua hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota, yaitu pertambahan alami dan tingkat urbanisasi. Pertambahan penduduk alami dihitung dari banyaknya kelahiran dikurangi banyaknya kematian penduduk kota. Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses pesebaran atau distribusi, difusi, perubahan, dan pola menurut waktu dan tempat. Sempitnya lapangan pekerjaan di kawasan pedesaan menjadi faktor pendorong masyarakat untuk berbondong-bondong melakukan urbanisasi. Mereka memiliki harapan bahwa mutu hidup diperkotaan bakal lebih tinggi ketimbang di tempat asalnya di desa . Fenomena ini sudah menjadi hal rutin di sebagian besar negara berkembang dan menjadi masalah pelik penyebab pokoknya secara makro nasional adalah terjadinya disparitas atau ketimpangan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan. Tetapi, perpindahan mereka ke kota tidak didukung dengan skil dan pendidikan yang memadai sehingga mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan. Harapan untuk mengubah nasib di perkotaan hanya tinggal angan-angan.
Meningkatnya jumlah urbanisasi menimbulkan dampak terhadap lingkungan perkotaan khususnya dalam segi tata kota. Salah satunya adalah semakin minimnya tanah kosong di daerah perkotaan. Lahan kosong yang terdapat di daerah perkotaan semakin jarang ditemui. Masyarakat urban yang gagal merubah nasib di perkotaan, mulai memanfaatkan tahan-tahan kosong yang ada untuk membangun tempat tinggal baik remanan/permanen sekaligus lahan-lahan tempat usaha. Dampak negatif dari urbanisasi adalah munculnya kawasan slum-slum area di perkotaan. Kondisi tersebut kembali menimbulkan permasalahan pada saat dihadapkan munculnya kebijakan pemerintah setempat dalam rangka penataan aset daerah melaui penertiban dan penataan kembali ruang kota. fenomena tersebut, tidak jarang secara sepihak pemangku kewajiban/pemerintah daerah setempat melakukan berbagai cara salah satunya melakukan pengosongan lahan melalui pengusuran warga dari tanah tempat tinggalnya. Permasalahan Penertiban aset Barang Milik Negara berupa tanah yang terjadi di beberapa kota, pada satu sisi berdampak positif bagi pembangunan namun pada sisi lain akan berdampak langsung bagi jaminan perlindungan keberlanjutan hak atas tempat tinggal warga, jaminan keberlangsungan akses ekonomi dan sosial budaya masyarakat terdampak.
Maraknya sengketa aset daerah berupa lahan di kota-kota besar sudah pasti akan melibatkan dua kepentingan yakni pemerintah (Daerah) versuswarga penduduk. Kondisi tersebut disebabkan bahwa selama ini masih lemahnya Pemda dalam melakukan pengamanan aset-aset negara berupa tanah di wilayahnya. Berbagai konflik penguasaan BMN yang paling banyak muncul dan mengundang kompleksitifitasnya yakni, sengketa penguasaan tanah. Karena pada saatu sisi diklaim oleh pemerintah setempat sebagai aset negara/Daerah sementara pada sisi lain masyarakat mengklaim bahwa mereka sudah menguasai dan mengusahakan lahan tersebut secara aktif dalam waktu lama baik dalam rentan belasan dan bahkan puluhan tahun tanpa adanya gangguan, tak jarang Masyarakat telah membangun tempat tinggal permanen diatas tanah tersebut, membuka usaha dan melakukan aktivitas sosial dan ekonomi disekitar lahan tersebut. Tiba-tiba muncul kebijakan pemerintah melakukan pengosongan lahan dengan dalih tanah yang telah diduduki masyarakat merupakan aset negara (daerah) melalui beberapa kali surat peringatan. Salah satu contoh, kasus konflik penguasaan tanah antara 8 KK warga Batujaya, Batu ceper dengan Pemerintah Kota Tangerang. Di dalam sejarahnya warga mengklaim bahwa mereka telah menguasai dan menempati tanah tersebut sejak 1980, status tanah berupa tanah pemberian kepala desa kepada orang tua warga (berdasarkan surat pernyataan) selama ini warga aktif membayar pajak dan telah memiliki dokumen kependudukan kemudian pada 2017 muncul kebijakan pemerintah kota yang akan mengosongkan tanah tersebut karena akan digunakan untuk perluasan gedung sekolah Batujaya. Pemerintah mengklaim bahwa tanah yang dikuasai warga selama ini merupakan aset pemerintah Kota Tangerang berdasarkan bukti Berita Acara penyerahan aset daerah dari Pemkab Tangerang kemudian pada awal 2018 pemerintah kota tangerang melakukan pengusiran paksa terhadap para warga yang menempati tanah tersebut. Pemerintah Kota Tangerang pada awalnya telah menawarkan sistem relokasi tempat tinggal kepada warga berupa Rusunawa namun warga menilai bahwa lokasi rusunawa yang disediakan tersebut sangat jauh dari lokasi tempat tinggal warga yang pertama, selain itu warga juga merasa keberatan jika harus dibebankan membayar uang sewa. Ini merupakan salah satu contoh kasus konflik BMN tanah di daerah yang berpotensi menimbulkan pelangaran HAM. Karena ada Hak-hak dasar warga yang cenderung dilanggar yakni hak atas perumahan, hak atas keberlanjutan kehidupan di bidang Sosial dan ekonomi. Perlindungan hak-hak tersebut telah jelas diatur dalam UU No. 39/1999, UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Untuk lebih jelasnya telah diindetifikasi beberapa tipologi terkait kasus sengketa penguasaan aset Barang Milik Negara di Daerah.
II. Pelanggaran Hak-Hak Warga Selaku Korban Gusuran
Berbagai kebijakan pengosongan tanah yang terjadi di beberapa wilayah khususnya di perkotaan dalam kerangka penataan Aset daerah selama 2019 berpotensi menimbulkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan UU No. 39/1999, adapun hak-hak tersebut meliputi :
1) Hak Atas Kesejahteraan
Dampak pelaksanaan kebijakan pengosongan dan penertiban tanah dalam rangka penataan aset dan tata ruang wilayah di beberapa daerah tidak jarang berpotensi terjadinya penghilangan jaminan pemenuhan keberlangsungan hak atas tempat tinggal terhadap warga yang terdampak. Sementara, berdasarkan UU No 39 tentang HAM jelas memandatkan bahwa negara wajib menjamin pemenuhan keberlansungan hak-hak atas tempat tinggal warga sebagaimana diatur di dalam Pasal 40, yang menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” kemudian pada Pasal 36 ayat (2) menyatakan, bahwa “ tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”, perlindungan hak yang dijamin di dalam kedua Pasal tersebut masih memungkinkan dinafikan daya berlakunya oleh Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”oleh karena itu yang dapat dimungkinkan adalah memberikan kompensasi yang layak dan wajar.
2) Hak Atas Rasa Aman
Pengabaian jaminan hak atas rasa aman berdasarkan UU No. 39/1999 pada praktiknya dapat dilihat ketika adanya tindakan pemerintah Daerah melalui perangkat Satpol PP yang mengunakan cara-cara non-humanispada saat melakukan pengosongan lahan yang diklaim sebagai aset Daerah. Bentuk-bentuk pengusiran paksa warga dari lahan tempat tinggalnya kerap menimbulkan masalah kekerasan terhadap warga terdampak, seperti : intimidasi dan pemaksaan terhadap warga setempat untuk mengosongkan tanah yang diatasnya terdapat tempat tinggalnya dan tidak diguanakannya upaya komunikasi dan koordinasi dengan warga terdampak. Pengosongan paksa atas tanah-tanah yang diklaim sebagai aset daerah pada praktiknya kerap menimbulkan potensi pelanggaran terhadap hak atas rasa aman warga khsusunya hak warga untuk bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak, sebagaimana dijamin di dalam Pasal 35 UU No. 39 Tentang HAM, yang menyatakan bahwa “ setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tentram yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Hak ini juga berkorelasi terhadap perlindungan hak Hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa” Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”
III. Munculnya Sengketa Dalam Rangka Penataan Aset Daerah Tanah dan Bangunan
Berdasarkan temuan data-data dan beberapa diskusi dengan para Ahli, baik pemerintah atau Ngo teridentifikasi beberapa akar masalah timbulnya pelanggaran hak-hak warga dalam kerangka penataan aset daerah berupa tanah, sebagai berikut :
1) Selama ini, Pemerintah di Daerah tidak melakukan pengamanan aset-asetnya terutaman terkait tanah-tanah kosong namun ketika BPK menyatakan bahwa tindakan penelantaran aset-aset negara berdampak pada potensi temuan atas kerugian negara, karena adanya kerugian tersebut diduga telah adanya tindakan pembiaran aset-aset berupa tanah sehingga dikuasai pihak ke tiga yakni sekelompok orang/masyarat yang hanya diberikan tanggung jawab membayar pajak.
2) Pemerintah Daerah belum menerapkan pendokumentasian secara hukum/SHP atas aset-asetnya khususnya tanah sehingga tidak jarang, pada saat dilakukan penataan aset/pengosongan lahan, pemerintah mendapatkan perlawanan dari warga yang terdampak;
3) Tidak adanya kewajiban membayar ganti rugi atas bagunan yang dihancurkan pada saat pengosongan lahan;
4) Masalah minimnya perspektif perlindungan dan penghormatan HAM di Daerah pada saat dihadapkan pada pelaksanaan kebijakan penataan aset-aset daerah berupa tanah
IV. Dampak Penertiban Aset Daerah Tanah dan Jaminan Keberlansungan Hak atas Tempat Tinggal warga.
Dalam rangka pengamanan aset-aset daerah dan sebagai wujud pelaksanaan dari UU No. 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara dinyatakan “bahwa setiap instansi baik pusat maupun daerah diwajibkan melakukan pengamanan aset negara”. Khusus bagi penyelenggara pemerintah di Daerah, kewajiban tersebut kembali diperjelas dalam Permendagri Pasal 296 ayat (1), No. 19 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah wajib melakukan pengamanan Barang Milik Daerah yang meliputi , fisik, admnistrasi dan hukum”, lahirnya Permendagri tersebut menjadi acuan bagi setiap Pemerintah di Daerah agar segera melakukan identifikasi, menertibkan kemudian mendokumentasikan aset-asetnya secara hukum dan jelas, salah satu terkait aset berupa tanah dan bangunan. Aset daerah berupa “tanah”pada umumnya dapat menimbulkan permasalahan ketika pemerintah melakukan pengamanan dalam bentuk penertiban aset, karena umumnya aset negara di daerah dalam bentuk tanah masih lemah dalam aspek pencatatan administrasi hukumnya. Salah satu study kasus yang diacak, yakni terkait kasus sengketa lahan antara Pemkot Tangerang dengan warga Sdr. Dadang,dkk yang berlokasi di Batuceper, Batujaya, Kota Tangerang, dan beberapa kasus lainnya seperti kasus pengosongan tanah di Kembangan, Jakarta Barat yang melibatkan Pemkot Adm Jakarta Barat dengan warga RT 16/ RW 05, Kelurahan Kembangan Utara, Kota Administrasi Jakarta Barat. Berdasakan diskusi dengan Pemprov DKI Jakarta diperoleh informasi bahwa ada permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah sehingga mereka mengalami kesulitan dalam melakukan identifikasi terhadap aset-asetnya terutama tanah, karena pemerintah setempat tidak memiliki energi untuk melakukan pengamanan atas tanah-tanah negara di daerahnya termasuk yang ada di setiap pelosok wilayah administrasi hukumnya.
Selain dalam rangka pengamanan aset-aset daerah berupa tanah, pengosongan tanah juga kerap ditujukan untuk penataan tata ruang kota sebagaimana yang coba diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemprov DKI telah membuat konsep Rencana Tata Ruang wilayah 2011-2030 kebijakan tersebut merupakan pelaksanaan Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang.[1]DalamMaster plannya, Pemerintah Prov. DKI juga akan melakukan penataan terkait keberadaan permukiman kumuh, padat, dan miskin. Permukiman tersebut tidak hanya di pinggiran kota, tapi justru berada di tengah kota, terutama di bantaran sungai/kali. Maka itu, dipergunakan berbagai cara dalam rangka penataan kota salah satunya pengosongan lahan-lahan yang dinilai tidak layak untuk menjadi tempat pemukiman.
“Pengosongan aset Daerah berupa tanah untuk kepentingan umum”pada hakikatnya tidaklah melanggar hukum, karena hal itu diatur dalam hukum/undang-undang. Bahkan dapat dibenarkan dalam ketentuan hukum Nasional dan internasional, yakni UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 11/2005 tentang Ratifikasi Hak Ekosob. Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, kemudian dalam Komentar Umum No. 7 Penjabaran dari perlindungan hak-hak Ekosob sebagaimana yang diatur dalam ratifikasi Hak Ekosob UU No. 11/2005 dinyatakan bahwa pengosongan lahan dapat saja dilakukan, namun dalam kondisi-kondisi tertentu seperti : tidak dibayarkannya sewa tanpa alasan yang jelas, atau seminimal mungkin telah dilakukan negosiasi dan mediasi, memilih untuk tidak mengunakan pendekatan-pendekatan kekerasan,menyiapkan alternative-alternatif pemulihan yang layak seperti kompensasi dan lainnya.Namun praktiknya, pada beberapa kasus tindakan pengosongan tanah Negara (aset daerah) dalam berbagai bentuk tujuannya, yang selama ini dilakukan oleh beberapa Pemerintah Daerah menyisakan berbagai permasalahan salah satunya penolakan dari warga terdampak di mana mereka telah lama menduduki/menguasai dan mengusahakan lahan tersebut sebagai sumber penghidupan. Salah satu contoh adalah kasus sengketa pengosongan lahan warga RT/RW 03, Batu ceper, Batu Jaya, Sdr.Dadang,dkk oleh Pemerintah Kota Tangerang. Berdasarkan surat perintah pengosongan, Pemerintah Kota meminta beberapa KK untuk mengosongkan lahan seluas 360 M2, Pemkot berdalih bahwa tanah tersebut merupakan aset daerah berdasarkan Berita Acara Serah terima Aset dari Pemerintah Kabupaten Tangerang kepada Pemerintah Kota Tangerang Nomor 030/5026-PLK/1999namun berdasarkan konfirmasi dari Kantor Pertanahan Kota Tangerang bahwa luasan lahan-lahan tersebut belum memiliki peta bidang dan batas-batas lokasi sehingga pencatatan dari aspek administrasi hukum pertanahan masih belum jelas. Sementara, klaim warga Sdr. Dadang, dkk mengakui bahwa tanah seluas 360 M2 tersebut merupakan tanah titisarah sejenis tanah kas Desa. Tanah tersebut telah diberikan kepada orang tua warga. Warga sudah menguasai tanah tersebut sejak lama, dan warga juga tercatat sebagai penduduk dalam wilayah tersebut berdasarkan KTP yang dimiliki, juga diwajibkan membayar pajak secara aktif oleh pemerintah setempat. Warga telah membangun tempat tinggal permanen di atas tanah tersebut sejak 1959. Kemudian, pada 1 Oktober 2018 beberapa warga yang bermukim di atas tanah tersebut menerima surat perintah pengosongan lahan dari Kecamatan Batuceper dan pada 3 Oktober 2018 warga dipaksa meninggalkan bangunan tempat tinggalnya. Dalam keterangannya warga pada dasarnya menolak keras perintah Pemerintah Kota Tangerang saat itu, sementara mekanisme dialogis melalui mediasi dan konsultasi yang selama ini dibangun terkesan intimidatif dan tidak prokepada warga. Alternatif tempat tinggal pengganti yang ditawarkan oleh pemerintah setempat kurang memadai karena lokasinya cukup jauh dari titik awal tempat tinggal warga sehingga aksesibilitas dari segi ekonomi, sosial dan budaya warga cukup tergangu. Warga juga tidak mendapatkan kompensasi yang layak. Kondisi ini merupakan salah satu model kasus yang sering diterima oleh Komnas HAM RI terkait penataan dan pengamanan Aset Negara di Daerah. Disamping itu, juga ada penertiban aset berupa pengosongan tanah negara yang berlokasi di 16/RW 05 Kel.Kembangan Utara yang telah dilakukan oleh Pemkot Adm. Jakarta Barat. Terkait denganpengosongan tanah tersebut, sebelumnya Pemkot telah menawarkan agar warga pindah ke Rusun Rawa Buaya namun warga menolak karena lokasi rusun cukup jauh dari lokasi tempat tinggal warga sebelumnya selain itu, warga juga harus dibebankan uang sewa, hal tersebut jelas tambah memberatkan warga. Jika berpihak pada kedua kasus tersebut, menunjukkan adanya unsur abainya negara terhadap jaminan pemenuhan dan perlindungan hak – hak Ekonomi, Sosial dan Kesejahteraan warga terdampak, selain aspek utama yakni pengabaian perlindungan hak atas keberlangsungan tempat tinggal warga yang terdampak. Dalam Pasal 40 UU No. 39/1999 bahwa “ Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” sementara jika kita merunut pada asas perlekatan hak atas tanah dan bangunan maka pemilik tanah terlepas dari penguasaan hak atas bangunan di atasnya yang dikenal dengan asas perlekatan vertikal hak atas tanah dan bangunan. Oleh karena itu, setiap kebijakan penggusuran dengan dalih penetiban tanah sebagai aset negara/daerah harus juga memperhatikan perlindungan hak atas bangunan yang ada di atasnya, bangunan yang melekat di atas tanah tersebut umumnya milik warga terdampak. Selian itu, penetapan kawasan untuk relokasi warga yang terdampak pada umumnya berada di tempat-tempat yang relatif jauh disertai pembebanan sistim pembayaran uang sewa dalam jangka panjang. Kondisi tersebut tentu bukan menjadi jalan penyelesaian untuk jangka panjang, justru menimbulkan permasalahan baru dan berdampak negatif terhadap keberlangsungan kehidupan warga. Berbagai masalah di bidang ekonomi, sosial dan budaya warga yang terkena dampak penertiban aset daerah berupa tanah ditemukan faktanya seperti ; hilangnya akses mata pencarian/ekonomi dan jaminan keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak warga terdampak sementara jika kita mengacu pada Konstitusi Pasal 33 ayat (3) tegas menyatakan “bahwa Bumi,air, dankekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” kemudian kita hadapkan pada fenomena dampak permasalahan tersebut, tergambar jelas bahwa dalam kaitan ini negara telah abai/melakukan pembiaran atas tanggung jawabnya agar dapat menjamin kesejahteraan warga. Berdasarkan Konvensi Internasional tengang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah dirativikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenan on Economic Social & Cultural Rights dalam Pasal 11 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Negara-negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kelayakan pangan, sandang dan papan/tempat tinggal. Khusus kelayakan tempat tinggal untuk selanjutnya diperjelas dalam Komentar Umum Nomor 4, angka 8 tentang Hak atas tempat tinggal yang layak. Adapun beberapa aspek yang perlu dipenuhi untuk dapat dikatakan tempat tinggal yang layak haruslah memenuhi beberapa hal: ketersediaan akan berbagai layanan publik, keterjangkauan biaya, layak huni (lingkungan yang aman dan bersih), aksesibilitas (keterjangkauan) dan lokasi (tempat tinggal yang terbuka terhadap akses pekerjaan).
Sementara, unsur tindakan lainnya yakni pegusiran paksa yang berdampak pada timbulnya pelanggaran Hak Rasa Aman bagi warga terdampak fenomena ini dominan terjadi di dalam praktik-praktik penggusuran masyarakat seperti kasus pembongkaran perumuhaman padat penduduk di Taman Sari, Kota Bandung. Pendekatan kekerasan dan pelibatan aparat keamanan TNI-Polri dan Satpol PP pada akhir 2019 sempat menjadi
trending issuedi dalam berbagai pemberitaan media dan mengusik nilai-nilai kemanusiaan. Kasus yang bermula dari adanya rencana penataan tata ruang kota berupa rencana pembangunan rumah deret yang digagas oleh Pemerintah Kota Bandung namun kasus tersebut sampai saat ini belum kunjung tuntas dan masih dalam penanganan Komnas HAM. Kasus tersebut bermula adanya pengaduan dari LBH Bandung, tertanggal 3 Agustus 2018 kepada Komnas HAM perihal rencana penggusuran bangunan warga di Kampung Balubur RW 11, Kelurahan Taman Sari, Kecamata Bandung Wetan, Kota Bandung oleh pihak Pemkot Bandung. Pada intinya, Pengadu menyatakan keberatan terhadap rencana penggusuran mereka dari tanah tersebut karena belum ada musyawarah mufakat terhadap masalah tersebut namun pada 12 Desember 2019 Pemkot Bandung akhirnya melakukan pengosongan secara paksa kepada warga Taman Sari, penggosongan tersebut berakhir ricuh. Aparat Satpol PP dibantu aparat keamanan dari Polrestabes Bandung bentrok dengan warga. Pada saat itu warga masih memilih teta bertahan karena mereka menilai bahwa pengosongan yang dilakukan oleh Pemkot Bandung tidak sesuai dengan prosedur mengingat sengketa penguasaan lahan antara warga dengan Pemerintah Kota masih
proses banding di pengadilan. Aparat melakukan tindakan represif berupa pemukulan terhadap warga setidaknya ada 25 warga yang ditangkap oleh aparat. Peristiwa pengosongan lahan di Taman Sari, Kota Bandung yang telah terjadi pada pertengahan bulan Desember 2019 menyisakan berbagai persoalan sebagai bagi warga permasalahan tersebut juga menimbulkan dampak ikutan. Selain potensi hilangnya hak atas keberlanjutan tempat tinggal juga menghilangkan rasa aman warga untuk berkehidupan dan bertempat tinggal. Karena warga praktis mengalami berbagai bentuk gangguan akibat adanya praktik kekerasan/intimidatif yang dilakukan oleh Satpol PP dibantu oleh aparat keamanan pada saat dilakukannya proses pengosongan tanah yang notabene sebagai tempat tinggal warga. Sementara, jika kita merujuk pada Komentar Umum Hak Ekosob, Nomor 7 (1997) tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak; Bagian Pengusiran Paksa (Pasal 11 ayat 1) memberi pengaturan tentang pedoman dan prosedur yang harus dipenuhi sebelum melakukan pemindahan warga yang terdampak akibat kebijkanan penataan/penertiban kawasan yang meliputi:
1. Membuka media/sarana negosiasi;
2. Melakukan sosialisasi yang wajar dan jelas;
3. Adanya informasi mengenai lokasi yang jelas guna relokasi warga yang terdampak;
4. Para warga yang akan dipindahkan harus benar-benar terindetifikasi;
5. Menghadirkan pejabat setempat;
6. Pemindakan tidak dibenarkan dalam cuaca buruk dan/atau malam hari;
7. Mekanisme pemulihan hukum dan ketersediaan bantuan hukum guna mengajukan gugatan ke pengadilan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Langkah-langkah tersebut seharusnya dapat diadopsi dalam berbagai kebijakan dan teknis pelaksanaannya sehingga potensi timbulnya benturan-benturan dapat diminimalisir demi terjaminnya keberlangsungan hidup warga yang terdampak sesuai nilai-nilai hak asasi manusia. Dan diharapkan setiap warga yang terdampak tidak akan mengalami penurunan kualitas hidup di kumudian hari.
V. Simpulan dan Proyeksi Penanganan Ke depan
Simpulan
- Penataan dan Pengamanan Aset Daerah berupa pengosongan tanah yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah kerap menimbulkan pelanggaran HAM, khususnya hak atas jaminanan keberlangsungan tempat tinggal dan aspek lain dari kehidupan warga yang terdampak, seperti hilangnya akses ekonomi, sosial dan budaya. Rasa aman dan tentram dalam berkehidupan;
- Pada umumnya pemerintah pada saat melakukan klaim atas tanah-tanah sebagai aset Daerah didasarkan pada penunjukkan, tidak memiliki alas hak/dokumen hukum yang cukup kuat, tidak adanya pengadminsitrasian/pencatatan hukum atas aset terutama di kantor Pertanahan setempat;
- Pemerintah setempat belum mengadopsi berbagai ketentuan internasional dan Nasional ( UU No.39/1999 dan UU NO.11/2005 tentan Ratifikasi Konvensi Ekosob) ke dalam berbagai kebijakan-kebijakan dalam kaitan penataan aset berupa tanah sehingga langkah-langkah relokasi yang humanis dan berprespektif HAM jarang diimplementasikan;
- Pemerintan Daerah belum cukup memahami soal asas perlekatan penguasaan antara tanah dan bangunan tidaklah bersifat satu kesatuan hak sebagaimana dianut dalam konsep hukum tanah Nasional. Hal ini perlu diberikan perhatian karena akan berdampak pada masalah kebijakan kompensasi yang layak dan wajib diberikan kepada pihak terdampak.
Rekomendasi Bagi Pemerintah Daerah/Kota dalam Penanganan Ke Depan
- Membentuk tim lintas sektoral di daerah guna mendorong percepatan penanganan/penyelesaian secara komprehensif atas berbagai kasus konflik pertanahan khsusunya penertiban dan penataan tanah Barang Milik Daerah;
- Memberikan perhatian khusus melalui kajian yang ketat, mengenai perlu adanya penetapan kebijakan terkait Redistribusi tanah-tanah yang berada di kawasan perkotaana ke dalam kerangka kebijakan pertanahan Nasional;
- Melakukan konsultasi secara intensif guna mengkomunikasikan permasalahan-permasalahan HAM yang berpotensi timbul akibat penataan tanah-tanah aset daerah yang kerap memunculkan konflik antara warga dengan aparat pemerintahan mengingat warga telah mengusahakan tanah-tanah tersebut sebagai tempat tinggal dalam waktu yang lama. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terkait penataan aset daerah ke depan bisa mengintegrasikan prinsip-prinsip dan pendekatan HAM sehingga, pada saat pelaksanaannya bisa lebih berperspektif perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM guna meminimalisir gesekan-gesekan keras dengan masyarakat yang semestinya menjadi pihak yang dilindungi berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. (rda-anm/ 2019)
Bahan-Bahan Bacaan :
1. UU No. 39/1999 Tentan HAM;
2. UU No. 11/2005 tentan Rarifikasi Konvensi Int Hak Ekosob;
3. Komentar Umum Konvensi Internasional Hak Ekosob dan Sipol;
4.UU No. 23/2014 Tengang Pemda;
5. UU No. 1/ 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;
6. UU No. 26/2007 Tentan Penataan Ruang.
Buku-Buku :
Budi Harsono, SH Judul Hukum Agraria;
AP Parlindungan, SH, Tanya -Jawab Persoalan Agrari di Indonesia
Berita okezonews, 19 Januari 2019