Senin, 29 Juni 2020

Keterkaitan Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Cipta dan HAM




Kesadaran masyarakat internasional mengenai pentingnya perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual di bidang Cipta  (Intellectual Property Rights)  mulai muncul pada abad 20 puluh, salah satunya ditandai melalui  pengesahan Konvensi Berne dan Konvensi WIPO pada 1967. Sejak saat itu, masyarakat internasional menyadari  bahwa karya intelektual di bidang cipta dapat membawa perubahan terhadap peradaban, kemajuan dan pembangunan perekonomian melalui perwujudan ide-ide kreatif manusia yang terpublikasikan. Alasan lain, pentingnya perlindungan tehadap karya intelektual seseorang juga tidak terlepas pada fakta atas potensi resiko yang dapat muncul terhadap keberadaan karya intelektual tersebut, seperti : tindakan plagiarisme, pembajakan dan berbagai tindakan merugikan lainnya yang semakin marak terjadi. Karya intelektual di bidang Cipta lebih banyak bergerak di ranah seni, ilmu pengetahuan/karya sastra/tulisan  (Pasal 1 angka 1 UU No. 28/2014). Karya Intelektual di bidang cipta merupakan  peruwujudan dari proses kerja keras baik seseorang/beberapa orang yang bertumpu pada kekuata berpikir, rasa dan pengalaman yang dituangkan dalam suatu bentuk yang khas dan khusus sehingga dapat dilihat/dinikmati dan bersifat eksklusif ( Pasal 1 angka (1) s.d (3) Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 28/2014). Karya Intelektual di bidang Cipta merupakan salah satu bagian dari rumpun kekakyaan intelektual disamping Hak Merek, Hak Paten, Disain Industri, Inidikasi Geografis dan rumpun HAKI lainnya.
Wujud dari karya intelektual khususnya di bidang Cipta mengandung nilai estetika kemudian nilai inilah yang dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Nilai tersebut kemudian menghasilkan dua rumpun turunan hak,  yakni; hak ekonomi dan hak moral. Kedua hak inilah yang melekat pada  diri seorang pengkarya atas keryanya. Hak yang melekat atas sebuah karya intelektual, seperti hak ekonomi dan hak moral tersebut baru muncul sejak karya tersebut dilahirkan dalam bentuk  khas, dan diumumkan. Seseorang yang telah menghasilkan karya intelektual kemudian mengumumkannya maka ia memiliki hak eksklusif atas karya tersebut. Hak eksklusif inilah yang memberikan perlindungan bahwa ia dan karyanya akan tetap melekat dalam satu kesatuan, baik sebagai economic rights dan moral rights. Berdasarkan  Pasal 8 UUHC, Hak ekonomi adalah "hak pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas karya ciptanya,...", kemudian di dalam Pasal 5 UUHC menyatakan bahwa “hak moral adalah hak yang akan terus melekat pada diri  seorang Pengkarya” dalam artian, namanya akan terus melekat pada karyanya meskipun beberapa tahun kemudian karya tersebut beralih/diperalihkan kepada pihak lain maupun karena peruntukan lainnya, termasuk jika karya intelektual tersebut sudah menjadi malik umum (public domain). Jadi, hak ekonomi dan hak moral merupakan rumpun hak-hak terkait, yang muncul akibat adanya hak eksklusif tersebut.
Pentingnya, perlindungan atas sebuah karya seni,dan/atau sastra mengingat karya intelektual tersebut memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi, khususnya di bidang property intellectual  rights. Pandangan tersebut semakin berkembang khususnya di negara-negara penganut faham kapitalis, negara-negara yang menonjolkan privacy intrest. Hak intelektual seseorang bisa dikategorikan sebagai intelectual property seperti halnya aset dimana hak ini bersifat privat (pribadi). Oleh karna itu, mengapa setiap orang sebagai pengguna atas sebuah karya intelektual milik orang lain ketika ia akan menggunakan karya tersebut maka terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan dari orang yang memiliki hak eksklusif atas karya tersebut, terutama untuk kegiatan yang bersifat komersil. Kemudian dari itu muncullah istilah royalty atau semacam konsesi yang akan diperoleh oleh Pengkarya.
Perlindungan hukum terhadap karya intelektual seseorang sampai saat ini terus berkembang melalui berbagai perubahan dan penyesuaian perundang-undangan terkait, peraturan hukum yang bersumber dari berbagai instrument hukum internasional kemudian diwujudkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional. Indonesia sebagai salah satu negara anggota WIPO dan TRIPs telah meratifikasi Konvensi terkait Intellectual Property protection melalui UU No. 19/2002 kemudian diubah dengan UU No. 28/2014 dan beberapa ketentuan Perundang-undangan terkait lainnya di bidangan kekayaan intelektual.
Berbicara mengenai hak, maka tema  Hak  Kekayaan Intelektual secara tidak langsung juga bersinggungan dengan permasalahan Hak Asasi Manusia, hal ini erat kaitannya dengan makna harfiah yang terkandung di dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39/1999 yang menyatakan bahwa “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha  Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Eksistensi perlindungan HKI di dalam UU HAM dapat dilihat dari sudut pandang mengenai hak seseorang atas karya intelektualnya yang bersifat khas yang dihasilkan melalui proses kerja intelektual, kemudian dari karya tersebut ia (Pengkarya) dapat mandatangkan manfaat ekonomi  dan bahkan memberikan lapangan pekerjaan minimal bagi dirinya sendiri. Pemikiran ini relevan kiranya, jika kita hubungkan dengan ketentuan di dalam Pasal 12 UU No. 39/1999 yang menyatakan, bahwa " setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia, beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan Hak Asasi Manusia”. Kemudian, Pasal 13 UUHAM menyatakan bahwa, "setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia". Makna dari kedua pasal tersebut, bisa ditafsirkan bahwa hak kekayaan intelektual merupakan bagian dari rumpun hak yang mendapat perlindungan dari HAM berdasarkan UU No. 39/1999 tentang HAM oleh karena itu, menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi dan menghormati atas eksistensi hak tersebut.
Hak moral dan hak ekonomi yang timbul atas karya intelektual seseorang, sepanjang telah dituangkan dalam bentuk yang khas, maka dari berbagai unsur-unsur yang ada dalam setiap hasil kekayaan intelektual seseorang dapat mendatangkan manfaat yang cukup luas. Oleh karena itu, karya Kekayaan Intelektual menjadi relevan  untuk mendapat perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip HAM. Pendapat ini, dilatarbelakangi pada pemikiran mengenai adanya tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan terhadap hak–hak warga negaranya, termasuk penghargaan/penghormatan terhadap setiap kreativitas intelektual seseorang/sekelompok orang baik di bidang seni dan ilmu pengetahuan terutama  bagi hasil-hasil kreativitas intelektual yang bernilai ekonomi dan positif bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan baik dalam tataran nasional maupun internasional, termasuk pembangunan ekonomi nasional karena dapat memberikan sumber penghidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Berbagai undang-undang di bidang kekayaan intelektual memberikan perlindungan bagi setiap orang yang telah bekerja keras melalui proses kerja intelektualnya baik di bidang kesenian, sastra dan ilmu pengetahuan kemudian dituangkan ke dalam bentuk yang khas, original dan konkrit, sehingga karya tersebut menunjukkan hasil proses kerja pemikiran/intelektualnya sebagai salah satu wujud proses pengembangan dirinya sebagai seorang manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki berbagai potensi intelektual (giveted). Melalui kekuatan akal pikiran dan kerja intelektual yang berkelanjutan serta konsisten sehingga mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan. Guna mendukung pemahaman mengenai hak ekslusif seseorang di bidang karya seni sebagaimana yang diatur dalam UU Hak Cipta. Hal ini menawarkan catatan penting bahwa UU Hak Cipta juga mengatur kapan sebuah karya intelektual baru mendapatkan perlindungan hukum, yakni saat karya tersebut dituangkan ke dalam bentuk yang khas, asli kemudian diumumkan. Oleh karena itu, jika karya tersebut masih di dalam pemikiran/konsep-konsep  maka Intellectual property rights belum dianggap ada karena belum menunjukkan asas kemanfaatann dan belum dapat dilihat secara nyata.
Hak Ekslusif pengkarya yang melekat pada karya ciptanya bukan pula selalu diartikan bahwa setiap penggunaan/pemanfaatan karya cipta dari seorang/pengkarya harus melalui izin/ atau harus melalui suatu pembayaran/royalti. Penggunaan karya cipta untuk tujuan non-komersil terbuka peluang untuk dapat dimanfaatkan oleh pihak lain/publik tanpa harus melalui pembayaran/kompensasi. Namun pengunaan karya intelektual seseorang harus tetap mencantumkan namanya sebagai pengkarya. Disinilah fungsi  sosial yang ada di dalam sebuah karya intelektual di bidang Cipta dan inilah salah satu yang membedakan Hak Cipta dengan hak kekayaan intelektual yang lain. Oleh karena itu, , melalui fungsi sosial yang ada di dalam Hak Cipta ini maka sifat hak ekslusif pengkarya di bidang cipta mengandung keseimbangan, disamping adanya fungsi ekonomi juga ada fungsi sosial. Hak Cipta juga mengandung unsur kemanfaatan untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, seorang pengkarya untuk kepentingan sosial harus dapat mengurangi hak esklusifitasnya bila pengunaan karya intelektualnya untuk tujuan-tujuan kepentingan umum non-provit seperti pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya.
Hal menarik lainnya, bahwa Undang-Undang Hak Cipta sendiri tidak memberikan batasan terkait penggunaan atas suatu karya intelektual untuk tujuan non-komersil asalkan nama pengkarya dimuat  di dalam karyanya. Pencantuman nama tersebut pada hakikatnya, untuk mencegah timbulnya praktik-praktik penjiplakan dari pihak lain yang tidak bertanggung jawab/plagiarisme. Pencantuman nama seseorang pada karyanya, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak moral pengkarya. Karena, sejak karya intelektual tersebut dilahirkan dan diumumkan maka sejak saat itu seorang sebagai pengkarya dilindungi oleh hukum baik secara otomatis maupun melalui pendaftaran hak yang dipersyaratkan menurut undang-undang. Negara wajib melindungi hak-hak seseorang atas karyanya, dan ini akan terus melekat dimanapun karyanya berada. Oleh karena itu, setiap pemanfaatan suatu karya cipta/intelektual di bidang Cipta tidak akan berakibat hukum apapun, jika pihak lain yang memanfaatkan karya seseorang  tidak untuk tujuan  komersil. Namun ia wajib mencantumkan nama Pengkarya di dalam karyanya, hal ini sebagai bentuk peghormatan dan pengakuan terhadap hak eksklusif/moral  dari orang yang telah membuat dan menghasilnya karya tersebut mengingat karya tersebut telah dilindungi dalam UU Hak Cipta dan UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.(rda-2020)

MENGINTEGRASIKAN PRINSIP-PRINSIP HAM KEDALAM KERANGKA TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (SDGs)

       





Pembangunan merupakan bagian perwujutan tanggung jawab negara terhadap warga negaranya, dalam bentuk pencapaian peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat oleh karena itu pembangunan merupakan bagian pemenuhan HAM oleh negara (duty barrier) terhadap warga negaranya (Rights Holders),oleh karena itu pembangunan harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan dan pemenuhan HAM. Pemikiran tersebut dapat diartikan bahwa pembangunan itu bukan hanya dalam arti pemenuhan HAM namun tak kalah penting lainnya adalah bagaimana setiap tahap pembangunan itu memperhatikan perlindungan terhadap HAM  (how to protect) kÃ¥rena pemenuhan dan perlindungan HAM merupakan element utama sebagai tanggung jawab negara dan berdampak secara langsung terhadap kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan itu maka United Nation (UN)/PBB dalam kerangka kerjanya  yang termaktub di dalam Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip etika yang berhubungan dengan perubahan Iklim) atau yang dikenal dengan Declaration of Ethical Principles in Relatian to Climate Change (2017)  tepatnya pada General Provisons di dalam articel 5 pada huruf a tentang Pembangunan Yang berkelanjutan. Dalam ketentuan ini PBB menawarkan konsep tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam kerangka Hak Asasi Manusia atau yang dikenal dengan “Sustainable Development Goals and Human Rights” bagi negara-negara. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa guna menjamin bahwa generasi saat ini dan pada masa mendatang dapat memenuhi segala kebutuhan mereka , ini menjadi hal yang dinilai penting bahwa bagi setiap negara dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan beberapa hal diantaranya:
      “Meyampaikan dan melaksanakan agenda PBB sampai pada tahun 2030 mengenai pembangunan yang berkelanjutan dan tujuan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya pembangunan yang mengadopsi pada konsep yang secara efesien melalui pembangunan yang menekanakan pada pengurangan dampak perubahan iklim dan pengurangan dampak emisi rumah kaca.."
Deklarasi tersebut merupakan konsep pembangunan yang menepatkan prinsip-prinsip HAM sebagai titik pusatnya, dan pada akhirnya  konsep pembangunan ini diharapkan dapat diterapkan sebagai agenda pembangunan sampai tahun 2030. Oleh karna itu, proses pembangunan sampai pada tahun 2030 akan menempatkan isu HAM sebagai indikator utama dalam pencapaian pembangunan. Konsep SDGs yang berdimensi HAM ini mengunakan instrument-instrumen HAM internasional sebagai payung hukumnya dimulai dari Deklarasi DUHAM 1948, Konvensi Internasional tentang EKOSOB dan Konvensi Internasional tentang SIPOL, yang kemudian instrument-instrumen tersebut dijadikan  bahan indikator bagi pemenuhan HAM dikaitkan pada 9 (Sembilan) tujuan pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana telah dimuat dalam Panduan Teknis Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjuta (RANPTB) yang diterbitkan oleh BAPPENAS, dari beberapa instrument hukum-HAM yang dijadikan sebagai landasan hukum dalam mengintegrasikan prinisip-prinsip HAM ke dalam rencanan pembangunan (yang berkelanjutan tersebut), masih terdapat hukum nasional yang khusus mengatur tentang perlindunga, pemenuhan dan penghormatan HAM itu sendiri yakni UUD 1945 amandemen ke IV dan UU No. 39/1999 tentang HAM, kedua instrument ini perlu menjadi landasan hukum dalam penyusunan RANPTB oleh pemerintah sebagai pelaksana negara dalam melakukan pembangunan.
Dalam RANPTB-Bappenas telah ditetapkan beberapa target oleh pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Adapun 9 (Sembilan) sektor tujuan pembangunan tersebut adalah (1) Penghapusan kemiskinan, (2) Penghapusan kelaparan (3) Kesehatan dan Kesehjahteraan,(4) pendidikan yang berkualitas, (5) kesetaraan gender, (6) ketersediaan air bersih dan sanitasi (7) pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, (8) penurunan kesenjangan dan (9) perdamaian,keadilan dan kelembagaan yang kuat. Delapan tujuan tersebut dalam konsep tujuan pembangunan yang berkelanjutan merupakan sasaran yang akan dicapai sabagai salah satu bentuk perwujutan pemenuhan HAM.
Namun dari kesembilan tujuan pembangunan yang berbasis pada dampak pemenuhan HAM tersebut menunjukkan bahwa kelompok kerja HAM perwakilan PBB di Indonesia dan pemerintah, masih belum menyentuh pentingnya isu penguasaan dan penatagunaan tanah untuk dijadikan satu point perhatian yang penting dimasukkan kedalam salah satu sektor tujuan pembangunan. Seperti berbagai masalah pengadaan tanah untuk pembangunan di Indonesia baik secara langsung maupun tidak lagsung akan berdampak pada kelanjutan pembangunan. Pembangunan sudah tentu membutuhkan pengadaan tanah, sementara dengan maraknya pembangunan itu sendiri, masalah pengadaan tanah pada dimensi yang berbeda menjadi sebuah masalah yang fundamental (mendasar) dan penting diperhatikan, karena dengan adanya pengadaan tanah untuk pembangunan idealnya bukan malah menyisakan masalah baru lainnya yakni munculnya  titik-titik kemiskinan baru di dalam masyarakat, karna tujuan pembangunan itu sendiri adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu jangan sampai untuk alasan pembangunan pada sisi lain akan menimbulkan kemiskinan karena banyak warga yang kehilagan tempat tiggalnya dan banyak warga yang kehilangan sumber mata pencariannya. Hal lain lagi bahwa masalah tanah melalui projek pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum ini pada praktiknya juga berdampak pada masalah pengabaian hak tempat tinggal masyarakat, sementara jaminan tempat tinggal yang layak dan kemudahan akses perekonomian bagi masyarakat juga menjadi tanggung jawab negara dalam pemenuhan HAM itu sendiri.  Oleh karena itu hak tempat tinggal yang layak dan perlindungan hak atas penguasaan tanah menjadi penting untuk menjadi perhatian dalam kerangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, jika pemerintah/negara benar-benar ingin konsisten terhadap pelaksanaan pembangunan yang berkelajutan yang meletakkan ke dalam kerangka pemenuhan HAM.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah mengenai keberlangsungan jaminan keseimbangan lingkungan hidup khsusnya mengenai lingkungan dan udara yang sehat. Dampak pembangunan juga berkaitan dengan polusi udara/haze pollution, munculnya kerusahaan lingkungan dan polusi udara yang bersumber pada kebakaran hutan, pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keberlangsungan ekosistem dan juga limbah dan asap dari pabrik-pabrik perusahaan industri yang mana hal ini secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada jaminan pemenuhan Hak atas kesehatan.salah satunya mengenai kasus kebakaran hutan yang berdampak pada pencemaran udara dan rusaknya ekosistem. Karna masalah perlindungan lingkungan hidup dan penyediaan lingkungan dan udara yang sehat dan bersih bagi kehidupan umat manusia juga menjadi salah satu kewajiban dari negara. Masalah kerusakan udara/haze polution dan lingkungan ini, di dalam perkembangannya menjadi salah satu isu yang krusial dalam perdebatan global. Seperti munculnya masalah kebakaran hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan salah satunya pencemaran udara dan masalah kesehatan, akibat dampak kerusakan udara dan lingkungan tersebut mendorong beberapa negara-negara yang berdampak mengambil beberapa langkah dan strategi bagi pengurangan penyebab-penyebab munculnya kerusakan udara tersebut, salah satu strategi yang telah dilakukan adalah didahului dalam bentuk pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi internasional dengan membawa isu kerusakan lingkungan ke dalam tema sentralnya, yang kemudian klimaksnya pada bulan Oktober 2005,Sidang Umum UNESCO-UN menerima secara aklamasi Deklarasi (pernyataan) universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini menjadi pembuka pintu sejarah yang di dalamnya juga mengatur mengenai masalah etika dalam pengelolaan bisofera dan lingkungan yang mengedepankan dan memperkenalnya prinsip-prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, hak asasi manusia dan memastikan penghormatan terhadap keberlangsungan kehidupan manusia di dalam pembangunan. Deklarasi ini mengakui adanya keterkaitan antara etika dan hak asasi manusia dalam bidang biotika yang khusus dan menyeluruh, adapun keterkaitan tersebut kemudian dimuat di dalam pengaturan pada deklarasi ini,yakni di dalam pasal 3 tentang Martabat manusia dan HAM pada ayat (1) nya dinyatakan: bahwa martabat manusia, hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar harus sepenuhnya dihormati, kemudian pada ayat (2)nya dinyatakan ; bahwa kepentingan dan kesejahteraan perorangan seharusnya diberi prioritas di atas kepentingan satu-satunya dari ilmu pengetahuan atau masyarakat. Selanjutnya dalam pasal 17 tentang Perlindunga Lingkungan Hidup, Biosfera dan Keragaman Hayati dinyatakan bahwa penghormatan perlu diberikan untuk saling terhubung antara manusia dan bentuk-bentuk lain dari kehidupan, untuk pentingnya pencapaian yang sesuai dan penggunaan sumber daya biologi dan genetika, untuk hormat pada pengetahuan tradisional dan untuk peran manusia dalam perlindungan lingkungan hidup, biosfera dan keragaman hayati. Kedua pasal di atas menekankan pentingnya menjaga keseimbagan lingkungan hidup bagi jaminan pemenuhan hak-hak kehidupan manusia yang berkelanjutan, aman dan sehat sebagai bagian dari penghormatan martabat dan hak asasi manusia. Dan kemudian kewajiban negara diatur secara tegas di dalam pasal 22 tentang peranana negara pada ayat (1)nya dinyatakan bahwa negara seharusnya mengambil semua tindakan yang sesuai, apakah itu ada masalah legislatif,administratif dan/atau tindakan-tindalan lainnya, guna memberi pengaruh atas prinsip-prinsip yang tertera dalam pernyataan ini sesuai dengan hukum internasional, hak asasi manusia.,kemudian pada ayat(2)nya dinyatakan bahwa negara seharusnya mendorong pembentukan komunitas etika yang bebas,multidisiplin dan pluralistik…”. Pengunaan pendekatan etika dalam perlindungan lingkungan hidup. Biosfera dan keragaman hayati hal ini lebih disebabkan pada masalah bahwa kerusakan lingkungan hidup kuat hubungannya dengan masalah itikad baik dan prilaku buruk dari manusia itu sendiri, yang karena motivasi kebutuhan dan desakan ekonomi menjadi pemicu manusia dan atau sekelompok manusia melakukan segala hal/aktivitas ekspoloitasi alam tanpa memperhatikan nilai-nilai etika dan keseimbagan alam seperti; pembakaran hutan, penebangan pohon dan segala aktivitas yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan tergangunya ekosistem alam. Oleh karna itu melalui intervensi kebijakan,peraturan, dan administratif oleh Negara diharapkan dapat merubah pola prilaku masyarakat dalam mengelolaan sumber-sumber kekayaan alam seperti apa yang dikenal dengan istilah “Law as tool social engineering” yakni hukum/kebijakan dapat dijadikan sebagai alat perubahan prilaku dalam masyarakat (rda-2020).






Jumat, 29 Mei 2020

Pandemi Covid- 19 As A Tool Social Engineering




                 

Presiden Jokowi belum lama ini mengumumkan pentingnya masyarakat untuk segera berdamai dengan wabah Covid-19/corona. Berdamai atau hidup bersama dengan virus corona menjadi fokus perhatian pemerintah ke depan, hal ini mempertimbangkan bahwa virus ini berpotensi tidak akan bisa dihilangkan dan akan terus ada di muka bumi sampai menunggu waktu adanya vaksin yang belum bisa dipastikan kapan bisa diumumkan secara resmi.
Kebijakan baru yang akan diterapkan akibat kondisi tersebut, salah satunya melalui strategi tata kehidupan normal baru atau yang dikenal dengan istilah New Normal Life. Jika dilihat secara umum, penerapan kebijakan new normal life ini bisa dimaknai dengan pelonggaran PSBB yang awalnya diterapkan secara ketat di mana sebelumnya pada beberapa kebijakannya, pemerintah melakukan penutupan tempat-tempat fasiltas umum, sekolah-sekolah, rumah-rumah ibadah termasuk perkantoran-perkantoran yang non signifikan. Kemudian melalui penerapan tata kehidupan normal yang baru ini, pusat-pusat keramaian, institusi-institusi resmi dan rumah-rumah ibadah akan dibuka kembali walau sifatnya bertahap dan melalui skema evaluasi ketat. 
Sementara, mengenai batasan New Normal Life ini bisa jadi belum semua orang faham oleh karena itu, menjadi kewajiban pemerintah melakukan sosialisasi secara masif. Tatanan hidup normal yang baru bukan berarti kita bisa kembali hidup normal seperti sebelum adanya wabah ini, istilah ini baru muncul sebagai dampak pandemi Covid-19 yang sampan saat ini belum berakhir.  Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita, New Normal merupakan perubahan tata prilaku manusia untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Pada prinsipnya, menurut Wiki,[1]New Normlal life merupakan kemampuan dan kesadaran kita untuk dapat beradaptasi dengan pola hidup baru jadi bukan berarti kehidupan kembali normal sama seperti sebelum adanya Pandemi Covid-19. Penerapan  New Normal  Life merupakan strategi utama yang disarankan WHO[2] yang dalam penerapannya tetap berpedoman pada beberapa standar yang ada yakni testtracingtreat dan isolate. Dalam penerapannya, masing-masing negara juga harus memenuhi beberapa kriteria-kriteria diantaranya, bahwa negara sudah menunjukkan kemampuannya dalam pengendalian penyebaran wabah ini serta ketersediaan layanan kesehatan yang baik dalam pengendaliannya[3]. Lebih lanjut, seorang Epidemiolog Dicky Budiman[4]juga memaparkan bahwa  New Normal Life ini    sebagai strategi yang akan diterapan di berbagai negara selama belum ditemukannya vaksin dan obat untuk virus corona. Pembatasan jumlah kerumunan, batasan jarak, pengukuran suhu tubuh , kebiasaan mencuci tangan, merubah pola hidup dan makanan yang lebih sehat menjadi pilihan dan diharapkan dapat merubah pola prilaku masyarakat agar terhindar dari penularan dan penyebaran virus tersebut. 

Tatanan Kehidupan Normal Baru dalam Kerangka Teori Social Engineering

Berbicara mengenai perubahan pola prilaku dan tata kehidupan masyarakat akibat pandemi Covid-19 ini, secara tidak langsung dapat menarik analogi berpikir kita terhadap salah satu teori hukum yakni Law as tool social engineering. Istilah tersebut sudah dikenal dikalangan para sarjana hukum.  Teori ini digagas oleh Rosce Pound (1870-1964), di dalam teorinya ia menyatakan, bahwa hukum bisa menjadi alat pembaruan dan perubahan pola perilaku masyarakat sehingga diharapkan dapat berperan merubah tata nilai di dalam masyarakat, sebagai contoh terbitnya sebuah aturan hukum/Undang-Undang guna mengatur suatu prilaku atau kondisi dan diharapkan masyarakat dapat mematuhi dan beradaptasi dengan keadaan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Dalam kaitan ini pound menilai bahwa fungsi hukum merupakan salah satu sarana (tools) dalam rangka melakukan rekayasa sosial (social Engineering). Menurutnya lagi, bahwa control sosial sangatlah penting melalui pengendalian dari Negara secara sistematis dan terukur. 
Perkembangan saat ini, khususnya kondisi saat  pandemi Covid-19 yang tidak kunjung usai dan menimbulkan berbagai dampak terhadap kehidupan masyarakat, maka Negara sebagai pemegang kekuasaan melalui kewenangannya dapat menekankan kebijakan guna mendorong perubahan penyikapan terhadap wabah ini yang awalnya cenderung fighting menjadi cooperative. Sikap tersebut akan tetap bertahan sampai adanya pengendalian yang efektif dan permanen melalui penemuan vaksin yang waktunya tidak dapat dipastikan. Oleh karena itu, untuk mengakhiri dampak ikutan yang lebbig luas akibat wabah ini, pemerintah melalui rekomendasi WHO akan menerapkan kebijakan New Normal Life. Penerapan tatanan kehidupan baru ini secara langsung akan merubah pola kehidupan masyarakat secara bertahap guna menahan dan/atau mengurangi penyebaran wabah tersebut dan masyarakat masih bisa beraktivitas seperti biasa namun demikian semua protokol kesehatan masih tetap diberlakukan dalam penerapan New Normal Life ini diantaranya : untuk tetap membiasakan diri menggunakan masker, jaga jarak, menghindari kerumunan, mencuci tangan dan tata kesehatan lainnya. Melalui kebijakan hidup baru nantinya masyarakat didorong untuk dapat merubah pola prilakunya dalam berkehidupan sehari-hari sampai waktu yang velum data ditentukan. Dengan demikian, kondisi pandemi Covid-19 ini telah merubah tatanan pola prilaku kehidupan masyarakat ( Social Engineering)-rda (May 2020)


[1]Kompas.com, 16 Mei 2020
[2]Syarat-syarat penerapan New Normal Lifedari WHO 1. terbukti bahwa transmisi covid-19 telah dikendalikan, 2. kesehatan masyarakat yang mumpuni dalam mengendalikan penyebaran covid-19, 3. pengaturan ketat di tempat-tempat yang rentan atas penyebaran, 4. Pencegahan ditempat kerja mengikuti protokol kesehatan yang relevan, dsb.
[3]Kompas.com, 9 Mei 2020
[4]ibid, Kompas.com

Minggu, 17 Mei 2020

Dampak Penertiban Aset Daerah Tanah dan Bangunan di Kawasan Perkotaan Terhadap Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia

       

I. Permasalahan

Perkembangan transportasi dan pembangunan jalur-jalur jalan baru telah meningkatkan interaksi desa-kota.Perkembangan kota dengan segala permasalahan yang ditimbulkan tersebut dipengaruhi oleh faktor budaya, alam, dan kependudukan. Sehubungan dengan jumlah penduduknya, terdapat dua hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota, yaitu pertambahan alami dan tingkat urbanisasi. Pertambahan penduduk alami dihitung dari banyaknya kelahiran dikurangi banyaknya kematian penduduk kota. Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses pesebaran atau distribusi, difusi, perubahan, dan pola menurut waktu dan tempat.  Sempitnya lapangan pekerjaan di kawasan pedesaan menjadi faktor pendorong masyarakat untuk berbondong-bondong melakukan urbanisasi. Mereka memiliki harapan bahwa mutu hidup diperkotaan bakal lebih tinggi ketimbang di tempat asalnya di desa . Fenomena ini sudah menjadi hal rutin di sebagian besar negara berkembang dan menjadi masalah pelik penyebab pokoknya secara makro nasional adalah terjadinya disparitas atau ketimpangan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan. Tetapi, perpindahan mereka ke kota tidak didukung dengan skil dan pendidikan yang memadai sehingga mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan. Harapan untuk mengubah nasib di perkotaan hanya tinggal angan-angan.
Meningkatnya jumlah urbanisasi menimbulkan dampak terhadap lingkungan perkotaan khususnya dalam segi tata kota. Salah satunya adalah semakin minimnya tanah kosong di daerah perkotaan. Lahan kosong yang terdapat di daerah perkotaan semakin jarang ditemui. Masyarakat urban yang gagal merubah nasib di perkotaan, mulai memanfaatkan tahan-tahan kosong yang ada untuk membangun tempat tinggal baik remanan/permanen sekaligus lahan-lahan tempat usaha. Dampak  negatif dari urbanisasi adalah munculnya kawasan slum-slum area di perkotaan. Kondisi tersebut  kembali  menimbulkan permasalahan  pada saat  dihadapkan munculnya kebijakan pemerintah setempat dalam rangka penataan aset daerah melaui penertiban dan penataan kembali ruang kota. fenomena tersebut, tidak jarang secara sepihak pemangku kewajiban/pemerintah daerah setempat melakukan berbagai cara salah satunya melakukan pengosongan lahan melalui pengusuran warga dari tanah tempat tinggalnya.  Permasalahan Penertiban aset Barang Milik Negara berupa tanah yang terjadi di beberapa kota, pada satu sisi berdampak positif bagi pembangunan namun pada sisi lain akan berdampak langsung bagi jaminan perlindungan keberlanjutan hak atas tempat tinggal warga, jaminan keberlangsungan akses ekonomi dan sosial budaya masyarakat  terdampak. 

 Maraknya sengketa aset daerah berupa lahan di kota-kota besar sudah pasti akan melibatkan dua kepentingan yakni pemerintah (Daerah) versuswarga penduduk. Kondisi tersebut disebabkan bahwa selama ini masih lemahnya Pemda dalam melakukan pengamanan aset-aset negara berupa tanah di wilayahnya. Berbagai konflik penguasaan BMN yang paling banyak muncul dan mengundang kompleksitifitasnya yakni, sengketa penguasaan tanah. Karena pada saatu sisi diklaim oleh pemerintah setempat sebagai aset negara/Daerah sementara pada sisi lain masyarakat mengklaim bahwa mereka sudah menguasai dan mengusahakan lahan tersebut secara aktif dalam waktu lama baik dalam rentan belasan dan bahkan puluhan tahun tanpa adanya gangguan, tak jarang  Masyarakat telah membangun tempat tinggal permanen diatas tanah tersebut, membuka usaha dan melakukan aktivitas sosial dan ekonomi disekitar lahan tersebut. Tiba-tiba muncul kebijakan pemerintah melakukan pengosongan lahan dengan dalih tanah yang telah diduduki masyarakat merupakan aset negara (daerah) melalui beberapa kali surat peringatan. Salah satu contoh, kasus konflik penguasaan tanah antara 8 KK warga Batujaya, Batu ceper dengan Pemerintah Kota Tangerang. Di dalam sejarahnya warga mengklaim bahwa mereka telah menguasai dan menempati tanah tersebut sejak 1980, status tanah berupa tanah pemberian kepala desa kepada orang tua warga (berdasarkan surat pernyataan) selama ini warga aktif membayar pajak dan telah memiliki dokumen kependudukan kemudian pada 2017 muncul kebijakan pemerintah kota yang akan mengosongkan tanah tersebut karena akan digunakan untuk perluasan gedung sekolah Batujaya. Pemerintah mengklaim bahwa tanah yang dikuasai warga selama ini merupakan aset pemerintah Kota Tangerang berdasarkan bukti Berita Acara penyerahan aset daerah dari Pemkab Tangerang kemudian pada awal 2018 pemerintah kota tangerang melakukan pengusiran paksa terhadap para warga yang menempati tanah tersebut. Pemerintah Kota Tangerang pada awalnya telah menawarkan sistem relokasi tempat tinggal kepada warga berupa Rusunawa namun warga menilai bahwa lokasi rusunawa yang disediakan tersebut sangat jauh dari lokasi tempat tinggal warga yang pertama, selain itu warga juga merasa keberatan jika harus dibebankan membayar uang sewa. Ini merupakan salah satu contoh kasus konflik BMN tanah di daerah yang berpotensi menimbulkan pelangaran HAM. Karena ada Hak-hak dasar warga yang cenderung dilanggar yakni hak atas perumahan, hak atas keberlanjutan kehidupan di bidang Sosial dan ekonomi. Perlindungan hak-hak tersebut telah jelas diatur dalam UU No. 39/1999, UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Untuk lebih jelasnya telah diindetifikasi beberapa tipologi terkait kasus sengketa penguasaan aset Barang Milik Negara di Daerah.


II. Pelanggaran Hak-Hak Warga Selaku Korban Gusuran

Berbagai kebijakan pengosongan tanah yang terjadi di beberapa wilayah khususnya di perkotaan dalam kerangka penataan Aset daerah selama 2019 berpotensi menimbulkan  berbagai pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan UU No. 39/1999, adapun hak-hak tersebut meliputi  :

1)    Hak Atas Kesejahteraan 
Dampak pelaksanaan kebijakan pengosongan dan penertiban tanah dalam rangka penataan aset dan tata ruang wilayah di beberapa daerah tidak jarang berpotensi terjadinya penghilangan jaminan pemenuhan keberlangsungan hak atas tempat tinggal terhadap warga yang terdampak. Sementara, berdasarkan UU No 39 tentang HAM jelas memandatkan bahwa negara wajib  menjamin pemenuhan keberlansungan hak-hak atas tempat tinggal warga sebagaimana diatur di dalam Pasal 40, yang menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” kemudian pada Pasal 36 ayat (2) menyatakan, bahwa “ tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”, perlindungan hak yang dijamin di dalam kedua Pasal tersebut masih memungkinkan dinafikan daya berlakunya oleh Pasal 37 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”oleh karena itu yang dapat dimungkinkan adalah memberikan kompensasi yang layak dan wajar.
2)    Hak Atas Rasa Aman 
 Pengabaian jaminan hak atas rasa aman berdasarkan UU No. 39/1999 pada praktiknya dapat dilihat ketika adanya tindakan pemerintah Daerah melalui perangkat Satpol PP yang mengunakan cara-cara non-humanispada saat melakukan pengosongan lahan yang diklaim sebagai aset Daerah. Bentuk-bentuk pengusiran paksa warga dari lahan tempat tinggalnya kerap menimbulkan masalah kekerasan terhadap warga terdampak, seperti : intimidasi dan pemaksaan terhadap warga setempat untuk mengosongkan tanah yang diatasnya terdapat tempat tinggalnya dan tidak diguanakannya upaya komunikasi dan koordinasi dengan warga terdampak. Pengosongan paksa atas tanah-tanah yang diklaim sebagai aset daerah pada praktiknya kerap menimbulkan potensi pelanggaran terhadap hak atas rasa aman warga khsusunya hak warga untuk bertempat tinggal dan berkehidupan yang layak, sebagaimana dijamin di dalam Pasal 35 UU No. 39 Tentang HAM, yang menyatakan bahwa “ setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tentram yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Hak ini juga berkorelasi terhadap perlindungan hak Hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa” Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”

III. Munculnya Sengketa Dalam Rangka Penataan Aset Daerah Tanah dan Bangunan
Berdasarkan temuan data-data dan beberapa diskusi dengan para Ahli, baik pemerintah atau Ngo teridentifikasi beberapa akar masalah timbulnya pelanggaran hak-hak warga  dalam kerangka penataan aset daerah berupa tanah, sebagai berikut :
1)   Selama ini, Pemerintah di Daerah tidak melakukan pengamanan aset-asetnya terutaman terkait tanah-tanah kosong namun ketika BPK menyatakan bahwa tindakan penelantaran aset-aset negara berdampak pada potensi temuan atas kerugian negara, karena adanya kerugian tersebut diduga telah adanya tindakan pembiaran aset-aset berupa tanah sehingga dikuasai pihak ke tiga yakni sekelompok orang/masyarat yang hanya diberikan tanggung jawab membayar pajak.
2)   Pemerintah Daerah belum menerapkan pendokumentasian secara hukum/SHP atas aset-asetnya khususnya tanah sehingga tidak jarang, pada saat dilakukan penataan aset/pengosongan lahan, pemerintah mendapatkan perlawanan dari warga yang terdampak;
3)   Tidak adanya kewajiban membayar ganti rugi atas bagunan yang dihancurkan pada saat pengosongan lahan;
4)   Masalah minimnya perspektif perlindungan dan penghormatan HAM di Daerah pada saat dihadapkan pada pelaksanaan kebijakan penataan aset-aset daerah berupa tanah


IV. Dampak Penertiban Aset Daerah Tanah dan Jaminan Keberlansungan Hak atas    Tempat Tinggal warga.

Dalam rangka pengamanan aset-aset daerah dan sebagai wujud pelaksanaan dari UU No. 1/ 2004 tentang Perbendaharaan Negara dinyatakan “bahwa setiap instansi baik pusat maupun daerah diwajibkan melakukan pengamanan aset negara”. Khusus bagi penyelenggara pemerintah di Daerah, kewajiban tersebut kembali diperjelas dalam Permendagri Pasal 296 ayat (1),  No. 19 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah wajib melakukan pengamanan Barang Milik Daerah yang meliputi , fisik, admnistrasi dan hukum”, lahirnya Permendagri tersebut menjadi acuan bagi setiap Pemerintah di Daerah agar segera melakukan identifikasi, menertibkan kemudian mendokumentasikan aset-asetnya secara hukum dan jelas, salah satu terkait aset berupa tanah dan bangunan. Aset daerah berupa “tanah”pada umumnya dapat menimbulkan permasalahan ketika pemerintah melakukan pengamanan dalam bentuk penertiban aset, karena umumnya aset negara di daerah dalam bentuk tanah masih lemah dalam aspek pencatatan administrasi hukumnya. Salah satu study kasus yang diacak, yakni  terkait kasus sengketa lahan antara Pemkot Tangerang dengan warga Sdr. Dadang,dkk yang berlokasi di Batuceper, Batujaya, Kota Tangerang, dan beberapa kasus lainnya seperti kasus pengosongan tanah di Kembangan, Jakarta Barat yang melibatkan Pemkot Adm Jakarta Barat dengan warga RT 16/ RW 05, Kelurahan Kembangan Utara, Kota Administrasi Jakarta Barat. Berdasakan diskusi dengan Pemprov DKI Jakarta diperoleh informasi bahwa ada permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah sehingga mereka mengalami kesulitan dalam melakukan identifikasi terhadap aset-asetnya terutama tanah, karena pemerintah setempat tidak memiliki energi untuk melakukan pengamanan atas tanah-tanah negara di daerahnya termasuk yang ada di setiap pelosok wilayah administrasi hukumnya. 
Selain dalam rangka pengamanan aset-aset daerah berupa tanah, pengosongan tanah juga kerap ditujukan untuk penataan tata ruang kota sebagaimana yang coba diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemprov DKI telah membuat konsep Rencana Tata Ruang wilayah 2011-2030 kebijakan tersebut merupakan pelaksanaan Undang-Undang No 26/2007 tentang Penataan Ruang.[1]DalamMaster plannya, Pemerintah Prov. DKI juga akan melakukan penataan terkait keberadaan permukiman kumuh, padat, dan miskin. Permukiman tersebut tidak hanya di pinggiran kota, tapi justru berada di tengah kota, terutama di bantaran sungai/kali. Maka itu,  dipergunakan berbagai cara dalam rangka penataan kota salah satunya pengosongan lahan-lahan yang dinilai tidak layak untuk menjadi tempat pemukiman. 
“Pengosongan aset Daerah berupa tanah untuk kepentingan umum”pada hakikatnya tidaklah melanggar hukum, karena hal itu diatur dalam hukum/undang-undang. Bahkan dapat dibenarkan dalam ketentuan hukum Nasional dan internasional, yakni UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 11/2005 tentang Ratifikasi Hak Ekosob.  Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, kemudian dalam Komentar Umum No. 7 Penjabaran dari perlindungan hak-hak Ekosob sebagaimana yang diatur dalam ratifikasi Hak Ekosob UU No. 11/2005 dinyatakan bahwa pengosongan lahan dapat saja dilakukan, namun dalam kondisi-kondisi tertentu seperti : tidak dibayarkannya sewa tanpa alasan yang jelas, atau seminimal mungkin telah dilakukan negosiasi dan mediasi, memilih untuk tidak mengunakan pendekatan-pendekatan kekerasan,menyiapkan alternative-alternatif pemulihan yang layak seperti kompensasi dan lainnya.Namun praktiknya, pada beberapa kasus tindakan pengosongan tanah Negara (aset daerah) dalam berbagai bentuk tujuannya, yang selama ini dilakukan oleh beberapa Pemerintah Daerah  menyisakan berbagai permasalahan salah satunya penolakan dari warga terdampak di mana mereka telah lama menduduki/menguasai dan mengusahakan lahan tersebut sebagai sumber penghidupan. Salah satu contoh adalah kasus sengketa pengosongan lahan warga RT/RW 03, Batu ceper, Batu Jaya, Sdr.Dadang,dkk oleh Pemerintah Kota Tangerang. Berdasarkan surat perintah pengosongan, Pemerintah Kota meminta beberapa KK untuk mengosongkan lahan seluas 360 M2, Pemkot berdalih bahwa tanah tersebut merupakan aset daerah berdasarkan Berita Acara Serah terima Aset dari Pemerintah Kabupaten Tangerang kepada Pemerintah Kota Tangerang Nomor 030/5026-PLK/1999namun berdasarkan konfirmasi dari Kantor Pertanahan Kota Tangerang bahwa luasan lahan-lahan tersebut belum memiliki peta bidang dan batas-batas lokasi sehingga pencatatan dari aspek administrasi hukum pertanahan masih belum jelas. Sementara, klaim warga Sdr. Dadang, dkk mengakui bahwa tanah seluas 360 M2 tersebut merupakan tanah titisarah sejenis tanah kas Desa. Tanah tersebut telah diberikan kepada orang tua warga. Warga sudah menguasai tanah tersebut sejak lama, dan warga juga tercatat sebagai penduduk dalam wilayah tersebut berdasarkan KTP yang dimiliki, juga diwajibkan membayar pajak secara aktif oleh pemerintah setempat. Warga telah membangun tempat tinggal permanen di atas tanah tersebut sejak 1959. Kemudian, pada 1 Oktober 2018 beberapa warga yang bermukim di atas tanah tersebut menerima surat perintah pengosongan lahan dari Kecamatan Batuceper dan pada 3 Oktober 2018 warga dipaksa meninggalkan bangunan tempat tinggalnya. Dalam keterangannya warga pada dasarnya menolak keras perintah Pemerintah Kota Tangerang saat itu, sementara mekanisme dialogis melalui mediasi dan konsultasi yang selama ini dibangun terkesan intimidatif dan tidak prokepada warga. Alternatif tempat tinggal pengganti yang ditawarkan oleh pemerintah setempat kurang memadai karena lokasinya cukup jauh dari titik awal tempat tinggal warga sehingga aksesibilitas dari segi ekonomi, sosial dan budaya warga cukup tergangu. Warga juga tidak mendapatkan kompensasi yang layak.  Kondisi ini merupakan salah satu model kasus yang sering diterima oleh Komnas HAM RI terkait penataan dan pengamanan Aset Negara di Daerah. Disamping itu, juga ada penertiban aset berupa pengosongan tanah negara yang berlokasi di 16/RW 05 Kel.Kembangan Utara yang telah dilakukan oleh Pemkot Adm. Jakarta Barat. Terkait denganpengosongan tanah tersebut, sebelumnya Pemkot telah menawarkan agar warga pindah ke Rusun Rawa Buaya namun warga menolak karena lokasi rusun cukup jauh dari lokasi tempat tinggal warga sebelumnya selain itu, warga juga harus dibebankan uang sewa, hal tersebut jelas tambah memberatkan warga. Jika berpihak pada kedua kasus tersebut, menunjukkan adanya unsur abainya negara terhadap jaminan pemenuhan dan perlindungan hak – hak Ekonomi, Sosial dan Kesejahteraan warga terdampak, selain aspek utama yakni pengabaian perlindungan hak atas keberlangsungan tempat tinggal warga yang terdampak. Dalam Pasal 40 UU No. 39/1999 bahwa “ Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” sementara jika kita merunut pada asas perlekatan hak atas tanah dan bangunan maka pemilik tanah terlepas dari penguasaan hak atas bangunan di atasnya yang dikenal dengan asas perlekatan vertikal hak atas tanah dan bangunan. Oleh karena itu, setiap kebijakan penggusuran dengan dalih penetiban tanah sebagai aset negara/daerah harus juga memperhatikan perlindungan hak atas bangunan yang ada di atasnya, bangunan yang melekat di atas tanah tersebut umumnya milik warga terdampak.  Selian itu, penetapan kawasan untuk relokasi warga yang terdampak pada umumnya berada di tempat-tempat yang relatif jauh disertai pembebanan sistim pembayaran uang sewa dalam jangka panjang. Kondisi tersebut tentu bukan menjadi jalan penyelesaian untuk jangka panjang, justru menimbulkan permasalahan baru dan berdampak negatif terhadap keberlangsungan kehidupan warga.  Berbagai masalah di bidang ekonomi, sosial dan budaya warga yang terkena dampak penertiban aset daerah berupa tanah ditemukan faktanya seperti ; hilangnya akses mata pencarian/ekonomi dan jaminan keberlangsungan pendidikan bagi anak-anak warga terdampak sementara jika kita mengacu pada Konstitusi Pasal 33 ayat (3) tegas menyatakan bahwa Bumi,air, dankekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” kemudian kita hadapkan pada fenomena dampak permasalahan tersebut, tergambar jelas bahwa dalam kaitan ini negara telah abai/melakukan pembiaran atas tanggung jawabnya agar dapat menjamin kesejahteraan warga. Berdasarkan Konvensi Internasional tengang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah dirativikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenan on Economic Social & Cultural Rights dalam Pasal 11 ayat (1) yang menegaskan bahwa  “Negara-negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kelayakan pangan, sandang dan papan/tempat tinggal. Khusus kelayakan tempat tinggal untuk selanjutnya diperjelas dalam Komentar Umum Nomor 4, angka 8  tentang Hak atas tempat tinggal yang layak. Adapun beberapa aspek yang perlu dipenuhi untuk dapat dikatakan tempat tinggal yang layak haruslah memenuhi beberapa hal: ketersediaan akan berbagai layanan publik, keterjangkauan biaya, layak huni (lingkungan yang aman dan bersih), aksesibilitas (keterjangkauan) dan lokasi (tempat tinggal yang terbuka terhadap akses pekerjaan).
Sementara, unsur tindakan lainnya yakni pegusiran paksa yang berdampak pada timbulnya pelanggaran Hak Rasa Aman bagi warga terdampak fenomena ini dominan terjadi di dalam praktik-praktik penggusuran masyarakat seperti kasus pembongkaran perumuhaman padat penduduk di Taman Sari, Kota Bandung. Pendekatan kekerasan dan pelibatan aparat keamanan TNI-Polri dan Satpol PP pada akhir 2019 sempat menjadi trending issuedi dalam berbagai pemberitaan media dan mengusik nilai-nilai kemanusiaan. Kasus yang bermula dari adanya rencana penataan tata  ruang kota berupa rencana pembangunan rumah deret yang digagas oleh Pemerintah Kota Bandung namun kasus tersebut sampai saat ini belum kunjung tuntas dan masih dalam penanganan Komnas HAM. Kasus tersebut bermula adanya pengaduan dari LBH Bandung, tertanggal 3 Agustus 2018 kepada Komnas HAM perihal rencana penggusuran bangunan warga di Kampung Balubur RW 11, Kelurahan Taman Sari, Kecamata Bandung Wetan, Kota Bandung oleh pihak Pemkot Bandung. Pada intinya, Pengadu menyatakan keberatan terhadap rencana penggusuran  mereka dari tanah tersebut karena belum ada musyawarah mufakat terhadap masalah tersebut namun pada 12 Desember 2019 Pemkot Bandung akhirnya melakukan pengosongan secara paksa kepada warga Taman Sari, penggosongan tersebut berakhir  ricuh. Aparat Satpol PP dibantu aparat keamanan dari Polrestabes  Bandung bentrok dengan warga. Pada saat itu warga masih memilih teta bertahan karena mereka menilai bahwa pengosongan yang dilakukan oleh Pemkot Bandung tidak sesuai dengan prosedur mengingat sengketa penguasaan lahan antara warga dengan Pemerintah Kota masihproses banding di pengadilan. Aparat melakukan tindakan represif berupa pemukulan terhadap warga setidaknya ada 25 warga yang ditangkap oleh aparat. Peristiwa pengosongan lahan di Taman Sari, Kota Bandung yang telah terjadi pada pertengahan bulan Desember 2019 menyisakan berbagai persoalan sebagai bagi warga permasalahan tersebut juga menimbulkan dampak ikutan. Selain potensi hilangnya hak atas keberlanjutan tempat tinggal juga menghilangkan rasa aman warga untuk berkehidupan dan bertempat tinggal. Karena warga praktis mengalami berbagai bentuk gangguan akibat adanya praktik kekerasan/intimidatif yang dilakukan oleh Satpol PP dibantu oleh aparat keamanan pada saat dilakukannya proses pengosongan tanah yang notabene sebagai tempat tinggal warga. Sementara, jika kita merujuk pada Komentar Umum Hak Ekosob, Nomor 7 (1997) tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak; Bagian Pengusiran Paksa (Pasal 11 ayat 1) memberi pengaturan tentang pedoman dan  prosedur yang harus dipenuhi sebelum melakukan pemindahan warga yang terdampak akibat kebijkanan penataan/penertiban kawasan yang meliputi:
1.    Membuka media/sarana negosiasi;
2.    Melakukan sosialisasi yang wajar dan jelas;
3.    Adanya informasi mengenai lokasi yang jelas guna relokasi warga yang terdampak;
4.    Para warga yang akan dipindahkan harus benar-benar terindetifikasi;
5.    Menghadirkan pejabat setempat;
6.    Pemindakan tidak dibenarkan dalam cuaca buruk dan/atau malam hari;
7.    Mekanisme pemulihan hukum dan ketersediaan bantuan hukum guna mengajukan gugatan ke pengadilan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. 
Langkah-langkah tersebut seharusnya dapat diadopsi dalam berbagai kebijakan dan teknis pelaksanaannya sehingga potensi timbulnya benturan-benturan dapat diminimalisir demi terjaminnya keberlangsungan hidup warga yang terdampak sesuai nilai-nilai hak asasi manusia. Dan diharapkan setiap warga yang terdampak tidak akan mengalami penurunan kualitas hidup di kumudian hari.

V. Simpulan dan Proyeksi Penanganan Ke depan

Simpulan 
  1. Penataan dan Pengamanan Aset Daerah berupa pengosongan tanah yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah kerap menimbulkan pelanggaran HAM, khususnya hak atas jaminanan keberlangsungan tempat tinggal dan aspek lain dari kehidupan warga yang terdampak, seperti hilangnya akses ekonomi, sosial dan budaya. Rasa aman dan tentram dalam berkehidupan;
  2. Pada umumnya pemerintah pada saat melakukan klaim atas tanah-tanah sebagai aset Daerah didasarkan pada penunjukkan, tidak memiliki alas hak/dokumen hukum yang cukup kuat, tidak adanya pengadminsitrasian/pencatatan hukum atas aset terutama di kantor Pertanahan setempat;
  3. Pemerintah setempat belum mengadopsi berbagai ketentuan internasional dan Nasional ( UU No.39/1999 dan UU NO.11/2005 tentan Ratifikasi Konvensi Ekosob) ke dalam berbagai kebijakan-kebijakan dalam kaitan penataan aset berupa tanah sehingga langkah-langkah relokasi yang humanis dan berprespektif HAM jarang diimplementasikan;
  4. Pemerintan Daerah belum cukup memahami soal asas perlekatan penguasaan antara tanah dan bangunan tidaklah bersifat satu kesatuan hak sebagaimana dianut dalam konsep hukum tanah Nasional. Hal ini perlu diberikan perhatian karena akan berdampak pada masalah kebijakan kompensasi yang layak dan wajib diberikan kepada pihak terdampak.
Rekomendasi Bagi Pemerintah Daerah/Kota dalam Penanganan Ke Depan 
  1. Membentuk tim lintas sektoral di daerah guna mendorong percepatan penanganan/penyelesaian secara komprehensif atas berbagai kasus konflik pertanahan khsusunya penertiban dan penataan tanah Barang Milik Daerah;
  2. Memberikan perhatian khusus melalui kajian yang ketat, mengenai perlu adanya penetapan kebijakan terkait Redistribusi tanah-tanah yang berada di kawasan perkotaana ke  dalam kerangka kebijakan pertanahan Nasional;
  3. Melakukan konsultasi secara intensif guna mengkomunikasikan permasalahan-permasalahan HAM yang berpotensi timbul akibat penataan tanah-tanah aset daerah yang kerap memunculkan konflik antara warga dengan aparat pemerintahan mengingat warga telah mengusahakan tanah-tanah tersebut sebagai tempat tinggal dalam waktu yang lama. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terkait penataan aset daerah ke depan bisa mengintegrasikan prinsip-prinsip dan pendekatan HAM sehingga, pada saat pelaksanaannya bisa lebih berperspektif perlindungan, pemenuhan dan penghormatan HAM guna meminimalisir gesekan-gesekan keras dengan masyarakat yang semestinya menjadi pihak yang dilindungi berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. (rda-anm/ 2019)

Bahan-Bahan Bacaan :
1. UU No. 39/1999 Tentan HAM;
2. UU No. 11/2005 tentan Rarifikasi Konvensi Int Hak Ekosob;
3. Komentar Umum Konvensi Internasional Hak Ekosob dan Sipol;
4.UU No. 23/2014 Tengang Pemda;
5. UU No. 1/ 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;
6. UU No. 26/2007 Tentan Penataan Ruang.
Buku-Buku :
Budi Harsono, SH Judul Hukum Agraria;
AP Parlindungan, SH, Tanya -Jawab Persoalan Agrari di Indonesia









[1]Berita okezonews, 19 Januari 2019