Rabu, 20 Desember 2017

PERLINDUNGAN HAK-HAK BURUH MIGRAN/PEKERJA MIGRAN INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA



Permasalahan tentang pekerja migran Indonesia di luar negeri sampai saat ini masih terus menjadi isu menarik untuk diperbincangkan, karena dari tahun ke tahun jumlah TKI yang mengalami tindakan-tindakan kekerasan, pelanggaran hak pengupahan, dan permasalahan hukum lainnya terus bertambah.
Walau telah ada peraturan-peraturan nasional dibentuk, dan peraturan internasional yang telah diratifikasi, namun instrumen-instrumen hukum tersebut belum mampu mengurangi berbagai bentuk pelanggaran terhadap para TKI yang bekerja di luar negeri.
Hal utama yang memicu timbulnya permasalahan para pekerja migran indonesia di luar negeri adalah mekanisme rekrutmen calon TKI dan penempatan mereka di luar negeri yang tidak berbasis pada keahlian dan kompetensi dan penguasaan standar bahasa asing.
Tidak jelasnya sistim rekriutmen para calon TKI dapat berdampak buruk bagi perlindungan calon TKI yang bekerja di Luar Negeri.
Rekrutmen atau perekrutan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), untuk mencari orang-orang yang akan dijadikan TKI/TKW atau buruh migran.
Pada kasus tertentu masih banyak PJTKI yang melakukan rekruitmen para calon TKI yang tidak memperhatikan skill para calon TKI yang mana skill/atau keahlian tersebut dibutuhkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan di negara penerima. Hal lain juga disebabkan oleh motivasi sebagian besar PJTKI yang lebih berorientasi pada keuntungan dan mengabaikan jaminan keselamatan para calon TKI yang akan dipekerjakan di luar negeri. Bercermin pada kenyataan tersebut maka penting menjadi perhatian bagi para PJTKI untuk menyeleksi dengan seksama para calon TKI yang akan dikirim untuk bekerja di luar negeri, salah satunya yang dapat dilakukan dengan mengadakan program pelatihan bagi para calon TKI sebelum mereka di kirim ke luar negeri. Pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada calon TKI hurus disesuikan dengan kebutuhan skil dari perusahaan/pihak yang akan memberikan pekerjaan di negara penerima.
Permasalahan lainnya adalah Penempatan TKI di luar negeri.
Penempatan merupakan proses penyerahan buruh migran dari PJTKI atau agen kepada pihak majikan(pengguna jasa tenaga kerja) setelah buruh migran tiba di negara tujuan kerja.
Tanggung jawab penempatan TKI di luar negeri ada pada PJTKI, penempatan calon TKI yang tidak selektif sering menimbulkan buruknya perlindungan bagi calon TKI yang bekerja di luar negeri. Tidak selektifnya PJTKI tersebut juga dikarnakan pihak PJTKI tidak benar-benar menyeleksi pihak-pihak penyedia pekerjaan di luarnegeri tidak memastikan status badan hukum pemberi pekerjaan, itikad baik pihak pemberi pekerjaan, status/jenis kegiatan usaha yang dilakukan dan faktor lainnya. Maka akibat ketidak selektifan PJTKI dalam pengiriman TKI tersebut menjadi salah satu akar masalah banyaknya TKI yang mengalami tindakan pelecehan, penganiayaan, pemerasan, upah tidak di bayar, penipuan dan tindakan merugikan lainnya.
Selain tanggung jawab PJTKI, idealnya/sedapat mungkin para calon TKI juga dapat aktif untuk memperoleh informasi yang benar dari pihak-pihak berwenang mengenai pasar kerja yang ditawarkan. Keaktifan calon TKI juga dapat meminimalisir timbulnya resiko yang merugikan bagi calon TKI yang akan dikirim ke luar negeri.
Instrumen Hukum Internasional bagi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran di Luar Negeri
Terdapat perbedaan istilah yang dikenal dalam konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya mengenai Buruh Migran. Dalam Konvensi Internasional tersebut memberikan istilah “Pekerja Migran”. Pekerja Migran adalah “seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan pekerjaan yang dibayar dalam suatu negara dimana ia bukan menjadi warga negara”
Buruh migran/pekerja migran adalah berbeda dengan mereka yang melakukan aktivias di Luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ketentuan International Conv On Protection of The Rights af All Migrant Worker an Members Of Their Families (ICRMW) Pasal 3 :
a) Orang-orang yang dipekerjakan oleh organisasi dan badan-badan Internasional, atau  orang-orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh suatu negara diluar wilayahnya unutk menjalankan fungsi resmi,yang kedatangan dan statusnya diatur oleh hukum internasional.....dst lihat (Bab 8 Konv Int ttg Perlindungan Pekerja Migran....)
b)  Orang-orang yang dikirim atau dipekerjakan oleh suatu negara atas nama negara tersebut di luar wilayahnya, yang berpartisipasi dalam program-program pengembangan dan program-program kerja sama lainnya, yang kedatangan dan statusnya diatur oleh perjanjian dengan negara tempatnya bekerja, dan yang sesuai dengan perjanjian tersebut, tidak dianggap sebagai pekerjaan migran;
c) Orang-orang yang bertempat tinggak di negara yang berbeda dengan Negara asalnya   sebagai penanam modal;
d) Pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan, kecuali ketentuan tentang hal ini  dicantumkan dalam ketentuan perudangan-undangan nasional dari negara yang bersangkutan, atau dalam instrumen internasional yang berlaku bagi Negara pihak tersebut;
e)  Pelajar dan orang yang ikut pelatihan;
f)   Pelaut dan pekerja pada instansi lepas pantai yang belum diterima untuk bertempat tinggal dan melakukan pekerjaan yang dibayar di Negara tempatnya bekerja
Buruh migran adalah seseorang yang bukan berstatus warga negara di tempat negara pemberi pekerjaan (art 2 (1) ICRMW). Oleh karena itu perlindungan hukum menjadi hal penting bagi seseorang yang bekerja dalam status sebagai buruh migran.
Perlindungan bagi para pekerja migran diberikan pada saat sebelum TKI diberangkatkan, pada saat bekerja di luar negeri dan kepulangan TKI, namun permasalahan yang banyak terjadi bila dilihat penyebanya lebih pada kelemahan perlindungan sebelum TKI diberangkatkan/bekerja di luar negeri oleh karena itu titik perhatian mengenai upaya perlindungan Hak-Hak Seseorang Calon TKW/TKI dilihat pada saat Sebelum TKI dikirim bekerja ke Luar Negeri.
Adapun hak-hak calon TKI sebelum bekerja di luar negeri diantaranya:[1]
1.    Memperoleh akses informasi yang benar dari pihak yang berwenang mengenai pasar kerja dan prosedural penempatan buruh migran di luar negeri;
2.    Memperoleh kebebasan dalam memilih jenis pekerjaan dan negara tujuan bekerja;
3.    Memperoleh pelayanan yang baik dan perlakuan  yang sama selama proses rekruitmen;
4.    Memperoleh perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi;
5.    Kelengkapan dokumen;
6.    Memperoleh izin dari pihak keluarga;
7.    Informasi atas kebenaran job order dari pihak aparat setempat;

Pembangunan komitmen dan kesadaran  negara-negara yang terlibat dalam program peengiriman dan penerima buruh/pekerja migran guna memberikan perhatian khusus bagi perlindungan para pekerja migran baik dalam skala multilateral maupun bersifat regional.
Selanjutnya perlindugan hak-hak para pekerja migran pada saat mereka bekerja diluar negeri. ICRMW menganut prinsip non diskriminasi bagi perlindungan hak-hak pekerja migran selama mereka bekerja di luar negeri, prinsip perlakuan non diskriminasi ini diatur dalam pasal 7 :
“Negara-negara pihak berjanji, sesuai dengan instrumen-instrumen internasional tentang hak asasi manusia, untuk menghormati dan memastikan bahwa semua pekerja migran dan anggota keluarganya dalam wilayahnya atau tunduk pada yurisdiksinya, agar memperoleh hak yang diatur dalam Konvensi ini tanpa pembedaan apapun seperti : jenis kelamin, ras, warna kulit,bahasa,agama atau kepercayaan, pendapat politik atau lainnya,kebangsaan,asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia, kedudukan ekonomi, kekayaan, status perkawinan,....” 
Salah satu wujud komitmen Internasional dalam forum regional yang fokus pada perlindungan hak-hak para pekerja buruh migran, diatur dalam Declaration on The Protection and Promotion Of the Rights of Migrant Worker at the 12th ASEAN Summit in January 2007.
Deklarasi tersebut merupakan hasil kesepakatan para menteri luar negeri se- ASEAN, khsusnya negara anggota ASEAN yang tergabung dalam dalam South East Asia National Human Rights Institutions Forum (SEANF).
Forum ini menekankan pentingnya pembahasan mengenai berbagai kebijakan dan merancang kebijakan berbagai instrumen untuk melindungi hak-hak pekerja migran diantara negara pengirim dan penerima pekerja migran dalam lingkup negara-negara ASEAN/SEANF (Indonesia,Malaysia, Thailand dan Philipina).
Perinsip perlindungan bagi para pekerja migran dalam konsep SEANF pada issu ini adalah “perlakuan nasional” dan “ perlakuan Non Diskriminasi”, maksud dari kedua prinsip tersebut lebih pada untuk menjamin agar para pekerja migran dapat diperlakukan yang sama dengan para pekerja yang berasal dari negara peneriam/pemberi kerja pada level pekerjaan yang sama. Perlakuan sama/non diskriminasi tersebut meliputi : kebijakan upah,kondisi lingkungan kerja, dan kebijakan penerapan kontrak. Kebijakan-kebijakan non diskriminasi tersebut berlaku selama pekerja migran bekerja di negara pemberi pekerjaan.
Dengan mengadopsi beberapa aturan standar yang relevan dalam ILO,CRC,CEDAW,ICESCR, ICCPR dan ICRMW. SEANF dalam menindaklanjuti pengesahan deklarasi pada pemimpin ASEAN ke 12 bagi perlindungan dan pemahan mengenai hak-hak pekerja migran,  menempatkan beberapa instrumen hak yang penting untuk dimasukkan ke dalam draft perjanjian bagi perlindungan para pekerja migran saat mereka bekerja pada negara penerima/pihak penyedia pekerjaan.Instrumen hak tersebut diantaranya: Hak untuk  berpindah/bergerak, hak untuk bekerja bebas sesuai pilihan, hak untuk bebas dari segala bentuk pemaksaan melakukan suatu pekerjaan/perdagangan manusia, hak atas kebebasan untuk berpikir, berorganisasi dan beragama, hak atas kesehatan/pelayanan kesehatan, hak menikah dan mempunyai keluarga, hak untuk memperoleh rumah yang layak, akses atas keadilan dan bantuan hukum.

Instrumen Hukum Nasional Bagi Perlindungan Buruh Migran/TKI Di Luar Negeri

Dalam hukum nasional, perlindungan terhadap buruh migran termasuk pekerja domestik di luar negeri diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri, selanjutnya Undang-Undang ini dikenal dengan UU TKI/Buruh Migran. Namun dalam penerapannya, keberadaan Undang-Undang ini masih dalam perdebatan, terutama mengenai marwah dari Undang-Undang tersebut yang bertujuan memberikan perlindungan hak-hak pada TKI namun pada praktiknya Undang-Undang tersebut lebih mengedepankan pada kepentingan perusahaan jasa pengirim TKI ke luar negeri. Sementara Undang-Undang yang secara khusus memberikan perlindungan hak-hak  para pekerja migran di luar negeri termasuk di dalam negeri juga mendapat pengaturan di dalam Undang-Undang No.39/1999 tentang HAM tepatnya di dalam pasal 38 pada ayat (1) s.d ayat (4),pada ketentuan pasal tersebut menekankan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pekerjaan sesuai kecakapan, bakat dan kemampuannya, setiap orang juga wajib dilindungi selama yang bersangkutan melaksanakan pekerjaannya dalam bentuk perjanjian kerja yang memuat dengan jelas hak-hak dan kewajibannya. Dan yang tak kalah penting mengenai pengupahanan. Bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah yang layak sesuai standar hidup yan layak bagi kemanusiaan. Mengenai potensi mendapatkan ancaman fisik dan phsikis selama melaksanaan pekerjaan UU tentang HAM juga memberikan pengaturan mengenai perlindungan mengenai hak rasa aman seseorang yakni pada pasal 29 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat …”, selanjutnya perlindungan dari segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi diatur dalam pasal 33 pada ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap orang berhak bebas dari penyiksaan,penghukuman atau perlakukan yang kejam,tidak manusiawi,merendahkan derajat dan martabat manusia”.pada beberapa kasus aduan yang masuk ke Komnas HAM sebagai contoh, sebagian besar permasalahan yang diadukan adalah mengenai tidak dibayarkannya upah dan penempatan TKI sewenang-wenang oleh PJTKI. Dari kasus-kasus tersebut Komnas HAM akan meindetifikasi dan memastikan bahwa adanya pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban sebagai terlampor yakni perusahaan pengirim/PJTKI karna dalam pelanggaran HAM unsur pelaku yang disasar berdasarkan UU No.39/1999 tentang HAM adalah Negara dan/atau perusahaan yang berpotensi sebagai actor/pelaku pelanggar HAM bukan pihak-pihak perorangan yang memberikan pekerjaan. Jika ada unsur kekerasan pidana maka akan direkomendasikan melakukan pelaporan pidana ke aparat penegak hukum setempat. Oleh karena itu segala bentuk pengabaian yang telah dilakukan oleh perusahaan pengirim TKI dan penempatan pekerja migrant adalah bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia,disamping potensi adanya pelanggaran pidana.



[1] Panduan Buruh Migran di Taiwan,2005, Komnas HAM, hlm 4.

KORELASI PENCAPAIAN MDGs DI BIDANG PANGAN DAN PENDIDIKAN TERHADAP PEMENUHAN HAK BERDASARKAN UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM





Berbasis pada UU No 39 Tahun 1999 dan Indikator dalam Komentar Umum Konvensi Internasional tentang  Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya


Disepakatinya sasaran Pembangunan Milenium atau yang lebih dikenal MDGs oleh beberapa negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Maka sejak ditandatanganinya delarasi tersebut  oleh negara-negara yang hadir, otomatis mengikat untuk segera direalisasikan sebagai salah satu komitmen  pemimpin-pemimpin dunia untuk dapat mencapai 8 (delapan) sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDG).sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
Indonesia sebagai salah satu delegasi yang hadir dalam pertemuan puncak Milenium di New York turut menandatangani deklarasi Milenium tersebut, dan wajib untuk mewujudkan 8 buah sasaran pembangunan dalam MDGs,adapun delapan (8) sasaran tersebut diantaranya; Negara peserta menjamin mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita kelaparan, dan menjamin semua anak untuk menyeleasaikan pendidikan dasarnya. Pemenuhan sasaran tersebut harus sudah dapat tercapai pada tahun 2015.
Kewajiban pemerintah untuk menjamin pemenuhan capaian MDGs di bidang pendidikan berarti tuntutan komitmen pemerintah atas hak-hak warga negara untuk dapat memperoleh pendidikan dasar sebagai salah satu hak dasar  sebagai warga negara. Begitu pula jaminan pemerintan untuk memenuhi capaian MDGs di Bidang Pangan berarti kemampuan pemerintah untuk dapat mengurangi hingga separuh jumlah orang-orang yang menderita akibat kelaparan/ jaminan pemenuhan pangan.
Tujuan capaian MDGS untuk dua program tersebut sangat berhubungan dengan jaminan pemenuhan hak-hak asasi di bidang Hak Ekononomi, Sosial dan Budaya sebagaimana tercantum dalam UU No 12 Tahun 2005 Jo Komentar Umum Ekosob dan UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Hak atas pendidikan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara melalui penyediaan anggaran  bagi pengadaan sarana prasarana pelaksanaan pendidikan, Peningkatan mutu SDM pendidik, meningkatkan mutu kurikulum pendidikan, mengadakan program-program dibidang pendidikan terutama pemberian pembebasan beban-beban biaya terhadap anak didik dari berbagai pungutun yang memberatkan, membebaskan dari kawajiban untuk membayar SPP bagi waga miskin/pemberian pendidikan gratis sehinnga anak-anak dari kelurga miskin dapat terjamin untuk terus dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi  sesuai dengan pemenuhan hak atas pendidikan sampai pada level dasar. Jaminan pemerintah untuk melakukan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas dan bebas biaya sampai ke pelosok daerah/seluruh wilayah Indonesia, juga menjadi hal penting untuk dilakukan, sehingga dapat memperkecil ketimpangan antara daerah-daerah perkotaan dengan daerah-daerah terpencil.
Program untuk mengurangi jumlah orang-orang yang menderita akibat kelaparan/ketiadaan bahan makanan adalah hal penting dan mendesak bagi negara untuk dapat melakukan langkah-langkah nyata, strategis dan terukur sehingga resiko-resiko timbulanya bencana kelaparan akibat kekeringan dapat dihindari. Pelaksanaan Program tersebut dalam realisasinya harus dapat menjangkau sampai ke daerah pelosok-pelosok/daerah yang rawan terjadinya bencana kelaparan. Program untuk mengurangi jumlah orang-orang yang menderita akibat kelaparan sengat relevan bila kita hubungkan dengan Hak Pangan dari masyarakat yang mana hak tersebut sebagai salah satu hak dasar (element nencessary) yang wajib dipenuhi ketersediaannya oleh negara. Hak atas pangan ini menjadi hal penting untuk menjadi salah satu perhatian serius oleh negara-negara peserta, masuk menjadi proram sasaran capaian dalam MDGs 2010-2015, dengan bercermin pada banyaknya kasus-kasus kelaparan/kekurangan bahan pangan di tengah masyarakat dunia.
Deklarasi Milineum MGDs sangat membantu untuk mendorong negara-negara peserta dalam membangun komitmen dan memberikan arahan program-program guna pencapaian tatanan masyarat dunia yang sejahtera.
Pencapaian atas adanya jaminan pemenuhan hak atas Pendidikan dasar dan Hak atas Pangan/bahan makanan yang layak bagi seluruh wara negara,diharapkan dapat menjadi salah satu penilaian bahwa suatu negara telah berhasil dalam memenuhi hak-hak dasar bagi warganya dan pencapaian tersebut otomatis telah memenuhi komitmen yang telah disepakati sesuai Deklarasi MGDs 2010-2015.
Khusus di Indonesia kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak dasar (to fullfill) tersebut  juga telah diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan ratifikasi terhadap UU No 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi konvensi internasional hak ekonomi, sosial dan budaya/ICESCR, dan beberapa peraturan perUndang-undagangan terkait lainya.
Untuk mewujudkan keberhasilan dalam pemenuhan hak-hak dasar tersebut maka salah satu indikator yang dapat kita gunakan untuk mengukur keberhasilan pemenuhan hak atas pendidikan dan hak atas pangan bagi warga negara oleh negara dapat  mengunakan beberapa indikator. Indikator pengukuran tersebut telah dijabarkan dalam Komentar Umum Kovenan Internasional Hak EKOSOB.
1.  Indikator Pemenuhan Hak Atas  Pendidikan Dasar di Indonesia
Menikmati pendidikan merupakan salah hak dasar setiap orang. Pencapaian Pendidikan bagi semua orang merupakan salah satu dari 8 (delapan) sasaran pembangunan dalam MDGs. Pencapaian tersebut diperkuat  sebagai salah satu hak dasr manusia sebagaimana diatur pada bagian pengantar komentar Umum 13 mengenai Hak Untuk Menikmati Pendidikan sebagaimana dinyatakan pada Pr 1: “Pendidikan adalah sebuah hak asasi...” selanjutnya dalam dalam ketentuan UU nasional, hak atas pendidikan secara tegas  diatur dalam Pasal 11 dan Pasal12  UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM 
Pasal 11 dinyatakan;
Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak”
 selanjutnya dalam Pasal 12 pada UU yang sama dinyatakan;
Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan.....”
Selanjutnya dalam UU ratifikasi ICESCR, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Pasal 13 dan Pasal 14. Pasal 13 dinyatakan ;
(1) Negara-negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan......”
(2) Negara pihak dalam kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh :
a)    Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara Cuma-Cuma bagi semua orang;
c)    Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-Cuma secara bertahap;
d)    Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar mereka.......
Selanjutnya dalam Pasal 14 dinyatakan:
“Setiap negara pihak pada kovenan ini yang pada saat menjadi pihak belum mampu menyelenggarakan wajib belajar tingkat dasar secara cuma-cuma di wilayah perkotaan atau wilayah lain di bawah yurisdiksinya, harus berusaha dalam jangka waktu dua tahun, untuk menyusun dan menetapkan rencana kegiatan rinci untuk diterapkan secara progresif, dan dalam beberapa tahun yang layak harus melaksanakan prinsip wajib belajar dengan cuma-cuma bagi semua orang, yang harus dimasukkan dalam rencana kegiatan tersebut”
Untuk menentukan implemantasi pencapaian pemenuhan hak atas pendidikan bagi warga negara, maka perlu diperhatikan beberapa unsur-unsur dasar (fundamental) yang harus terpenuhi, meliputi :
a.    Ketersediaan;
Berbagai institusi dan program pendidikan harus tersedia dalam jumlah yang memadai di dalam  yurisdiksi negara itu. Apa yang mereka butuhkan supaya berfungsi bergantung pada banyak faktor, termasuk konteks pengembangan di mana mereka beroperasi; sebagai contoh, semua institusi dan program tentu cenderung memerlukan bangunan atau perlindungan fisik dari unsur-unsur tertentu, fasilitas sanitasi bagi kedua jenis kelamin, air minum yang sehat, guru-guru yang terlatih dengan gaji yang kompetitif, materi-materi pengajaran dst. Ketersediaan fasilitas perpustakaan, laboratorium komputer dan teknologi informasi;
b.    Akses;
Berbaga institusi dan program pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang, tanpa diskriminasi, di dalam yurisdiksi negara itu.Aksesibilitas mempunyai tiga (3) dimensi karakteristik umum diantaranya:
1)    Non Diskriminasi;
2)    Aksesibilitas Fisik;
3)    Aksesibilitas Ekonomi – biaya pendidikan harus terjangkau oleh semua orang. Khusus untuk pendidikan dasar harus bebas biaya bagi semua orang, sedangkan untuk Pendidikan Menengah dan Tinggi negara wajib mememperkenalkan program pembebasan biaya pendidikan.
c.    Dapat diterima;
Bentuk dan subtansi pendidikan termasuk kurikulum dan metode-metode pengajaran, harus bisa diterima.
d.    Dapat diadaptasi
Pendidikan harus sangat fleksibel sehingga dapat menyesuaikan diri, dengan kebutuhan untuk mengubah masyarakat dan komunitas, dan merespon kebutuhan para sisiwa dalam masyarakat dan tatanan budaya mereka.
Pendidikan sebagai fundamental needs meliputi; unsur-unsur ketersediaan, aksesibilitas, dapat diterima, dan dapat diadaptasi yang umum dalam segala bentuk pendidikan pada semua tingkat. Hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan dasar dijamin dalam  Deklarasi Dunia bagi pendidikan untuk semua orang”. Dalam perkembangannya sangat relevan bila Pendidikan dasar adalah kebutuhan bagi semua orang, setiap orang berhak menerima, menikmati dan menyelesaikan pendidikan dasarnya.
State Obligation:      Memberikan Jaminan terhadap Sistem Sekolah, Sistem Beasiswa dan Kondisi Staf Pengajar/Pendidik
Sistem Sekolah
Negara berkewajiban untuk menyusun strategi pengembangan yang menyeluruh bagi sistem persekolahan. Dan menuntut Negara dapat menekankan priortas pada level pendidikan awal.
Sistem Beasiswa
Negara perlu menetapkan suatu sistem beasiswa dan harus diterapkan berlandaskan Non Diskriminasi dan kesetaraan, dengan adanya program beasiswa ini harus memajukan kesetaraan akses pendidikan dari kelompok-kelompok yang kurang beruntung.
Kondisi Staf Pengajar
Kondisi hidup/kesejahteraan staf pengajar harus terus menerus ditingkatkan.
2.  Indikator Pencapaian Program Untuk Mengurangi Jumlah Orang-Orang Yang Menderita Akibat Kelaparan/Jaminan Pemenuhan Hak Atas Pangan
Konfrensi FAO tahun 1996 merupakan tongak penting bagi pengakuan bahwa Pangan sebagai salah satu hak yang paling asasi. Indonesia  sebagai salah satu negara yang turut hadir pada Konfrensi FAO tersebut berarti mempunyai kewajiban untuk membangun komitmen bagi perlindungan ketersediaan pangan bagi warganya dalam bentuk kebijakan dalam membangun ketahanan pangan  yang diwujudkan dengan disahkannya UU No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Namun terlebih penting dari semua itu,  perlu menjadi pertimbangan utama yang perlu diperhatikan terutama dari sisi esensi antara pangan dan manusia dimana Pangan merupakan salah satu kebutuham mendasar (basic needs) dan relevan bila pangan mempunyai keterikatan pada Hak Asasi Manusia karena bila terdapat suatu daerah atau warga negara yang meninggal karena kekuarangan makan/gizi maka secara langsung negara dapat dimintakan pertanggung jawaban akibat kelalainnya atas kewajibannya (state obligation) memberikan jaminan bagi pemenuhan hak atas pangan yang layak bagi warga negaranya.
Dalam Komentar umum No 12 EKOSOB dinyatakan,  bahwa kewajiban hukum bagi negara penandatangan adalah patut sesegera mungkin untuk mengambil langkah-langkah untuk mencapai secara progresif unutk mewujudkan pemenuhan hak atas bahan pangan. Dalam arti negara diwajibkan untuk menjamin semua orang di wilayahnya atas akses bahan pangan pokok minimum yang memadai,layak dan aman secara gizi untuk membebaskan mereka dari rasa lapar.
Secara implisit Hak seseorang atas pangan tidak ada diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM tapi perlindungan hak ini dominan kita masukan dalam pengaturan bagi perlindungan Hak Untuk Hidup BAB III Pasal 9 ayat (1), dinyatakan:
“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan”
Relevan bila kewajiban negara untuk menjamin pengurangan lebih dari separuh orang-orang menderita kelaparan kita masukan pada bagian Hak Hidup karena motivasi orang membutuhkan/mencari makanan tidak lain adalah untuk mempertahankan hidupnya/untuk keberlangsungan hidupnya.
Namun berbeda bila kita mengacu pada ketentuan UU No 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Hak atas Pangan diatur secara jelas pada Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2).
Ayat (1) dinyatakan;
“Negara pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya,termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan konidisi hidup terus menerus....”
Ayat (2) dinyatakan;
“Negara pihak pada kovenan ini, dengan mengakui hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari kelaparan.......”
Bebarap indikator yang dapat digunakan oleh negara untuk mencapai keberhasilan pada program pengurangan jumlah orang-orang menderita kelaparan, dapat mengacu pada Ukuran 
yang digariskan dalam Komentar Umum Kovenan Internasional  di bidang Hak Ekosob.
1     Ketersediaan
Tersedianya bahan pangan yang layak baik secara kualitas dan kuantitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mekanan individu, bebas dari subtansi yang merugikan, seta bisa diterima dalam budaya setempat;
a.    Bebas dari subtansi-subtansi yang merugikan, menetapkan kebutuhan atas keamanan bahan pangan dan tindakan-tindakan perlindungan, baik dalam arti publik atau swasta untuk mencegah kontaminasi bahan pangan melalui pencampuran dan/atau melalui kesehatan lingkungan atau penanganan yang buruk pada tingkat yang berbeda sepanjang rantai makan;
b.    Penerimaan budaya atau konsumen
Kebutuhan juga harus dipertimbangkan sebisa mungkin, unsur-unsur yang dirasakan Non-Nutrine yang terkandung dalam makanan dan konsumsi makanan serta menginformasikan pendapat konsumen tentang sifat dari suplai bahan makanan yang bisa diakses.
2.   Aksesibilitas mencakup aksesibiltas ekonomis maupun fisik :
a.      Aksesibilitas Ekonomis;
Bahwa biaya finansial personal atau rumahtangga yang berkaitan dengan pembelian bahan pangan untuk suatu menu yang layak harus berada pada tingkatan tertentu diman tidak mengangku atau membahayakan perolehan dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
Aksesibilitas Ekonomi berlaku pada semua pola pembelian atau perolehan dengan mana masyarakat mengadakan bahan makanan dan merupakan suatu ukuran kepuasan bagi pemenuhan hak atas bahan pangan yang layak. Kelompok – kelompok yang rentan secara sosial seperti orang-orang yang tidak memiliki lahan dan kelompok miskin tertentu di masyarakat mungkin membutuhkan perhatian melalu program – program khusus.
b.      Aksesibilitas fisik
Bahwa bahan pangan yang layak harus terjangkau bagi semua orang termasuk individu-individu yang rentan secara fisik, seperti : bayi,anak-anak, orang lanjut usia, cacat fisik, wanita hamil. Korban bencana, orang yang hidup di lokasi bencana dan kelompok-kelompok tak beruntung lainnya yang membutuhkan perhatian khusus. Juga kerentanan khusus lainnya ialah banyak kelompok masyarakat adat yang digangu aksesnya kepada tanah leluhur mereka.


Beberapa indikator-indikator tersebutlah yang menjadi ukuran pemenuhan hak-hak atas pangan dan pendidikan yang telah digariskan berdasarkan Komentar Umum PBB yang juga menjadi dasar pengukuran terhadap pemenuhan hak-hak atas kesejahteraan dan hak untuk mengembangkan diri di dalam UU No. 39/1999 tentang HAM.