Minggu, 29 Januari 2017

MENERAPKAN PRINPSI-PRINSIP HAM KEDALAM ORGANISASI PERUSAHAAN/BISINIS



Dalam hukum perdata Indonesia perusahaan adalah sebagai kesatuan organisasi yang dapat bertindak sebagai Subjek Hukum (recht person), yang diartikan bahwa perusahaan disamping orang perseorangan sebagai pengemban hak dan kewajiban. Dalam arti ini Perusahaan juga dapat bertindak sebagai para pihak dalam perjanjian dan dapat melakukan perbuatan hukum melalui para pengurusnya. (lihat juga penafsiran hukum bahwa perusahaan juga dapat ditarik sebagai pelaku pidana)
Dalam melakukan kegiatannya, perusahaan juga dapat menyusun dan dilengkapi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, selain itu mempunyai harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi pengurusnya. Sebagai pengelola dan pengumpul modal atau kekayaan, perusahaan mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Oleh karena itu perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya akan mencari sumber-sumber eksploitas ekonomi/lahan strategsi yang dapat dikelola dan diusahakan untuk mendapatkan keuntungan untuk menambah modal bagi pengembanggan usahanya.
Pada praktiknya perusahaan akan cenderung mengorientasikan sumber dayanya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan mengeyampinkan elemen-elemen yang dapat menghambat/menghalangi jalannya roda perusahaannya.
Dari tujuan-tujuan kegiatan bisinis tersebut, maka kegiatan bisinis dapat membawa potensi terjadinya berbagai gesekan dengan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup di sekitar kegiatan bisnis atau yang lebih dikenal menuju pada konflik sosial. Selain konflik, perusahaan juga berpotensi melanggar hak-hak pekerja di internal organisasi perusahaan seperti ; sengketa dengan para pekerja atau dengan serikat pekerja. Konflik bisnis yang melibatkan kepentinag sosial masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup, hal ini menyentuh pada permasalahan-permasalah hubungan antara perusahaan dengan masyarakat disekitar perusahaan. Konflik ini terjadi pada saat perusahaan menjalankan aktivitas bisnisnya seperti banyak terjadi pada praktik-praktik bisnis perusahaan di bidang perkebunan dan pertambangan (MINERBA). Merujuk pada kedua bentuk pelanggaran tersebut, timbul pertanyaan, apakah bentuk hubungan antara kegiatan bisnis perusahaan dengan eksistensi prinsip-prinsip HAM ??. Maka sudah barang tentu akan saling bersentuhan karena adanya objek yang berpotensi dilanggar hak-haknya yakni masyarakat, kelompok pekerja (mohon liat kovensi ILO) dan lingkunggan hidup ketiga element ini bila kita hadapkan dengan kecendrungan kegiatan perusahaan pada praktiknya berpotensi meimbulkan berbagai bentuk pelanggaran khususnya pelanggaran prinsip-prinsip HAM.
Konsep penghormatan HAM yang awalnya dibebankan menjadi kewajiban negara saat setalah diperkenalkaannya prinsip-prinsip HAM dan Bisnis oleh Perwakilan Khusus PBB untuk masalah Bisnis dan HAM John Ruggie dan setelah hampir 6 tahun ruggie melakukan konsultasi dan monitoring di beberapa negara, akhirnya komite ini menghasilkan Prinsip-Prinsip Panduan HAM dan Bisnis bagi perusahaan dalam menjalankan kegiatan perusahaan yang kemudian disahkan oleh PBB menjadi panduan bisnis dan HAM. Prinsip-prinsip tersebut bersifat non binding namun dalam berkembangannyya sangat relevan untuk dilaksanakan, adapun 2 dari tiga prinsip-prinsip yang digariskan dalam panduan tersebut menetapkan perusahaan sebagai salah satu aktor yang berpotensi menjadi pelaku pelanggar HAM. (ruggie principles, Elsam, hlm 1). Melalui pengenalan prinsip ini secara langsung menegaskan perluasan makna bahwa sebagian tanggung jawab pelaksanaan prinsip-prinsip HAM disamping Negara sebagai pemangku kewajiban HAM. Perusahaan ditarik menjadi pemangku kewajiban HAM, dalam arti Perusahaan diberikan tanggung jawab untuk menghormati prinsip-prinsip HAM terutama kewajiban perusahaan untuk menghormati HAM dan melakukan berbagai upaya yang efektif bagi proses remedy/pemulihan hak-hak korban yang telah dilanggar.
Penerapan prinsip-prinsip ruggie juga mengenalkan pentingnya membangun mekanisme internal bagi penyelesaian atas dugaan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi akibat aktivitas bisnis perusahaan. salah satunya melalui pembentukan unit pengaduan masyarakat/internal complaint handeling mechanism, semacam devisi khusus yang dapat menampung pengaduan-pengaduan dari masyarakat termasuk pengaduan dari internal perusahaan seperti pekerja yang merasa hak-hak asasinya/normatifnya telah dilanggar akibat kebijakan manajemen perusahaan,sebelum ditempuhnya upaya penyelesaian melalui intervensi pihak ketiga. mekanisme pengaduan internal ini juga disarankan melibatkan tenaga-tenaga ahli di bidang HAM dalam menyeleksi dan menangani kasus.Sementara untuk penyelsaian masalah pelanggaran HAM melalui proses remedy melalui bantuan bantuan stake holder mengupayakan pemulihan yang efektif atas kerugian-kerugian yang ditimbulkan akibat sebagai kebijakan dan tindakan perusahaan yang tidak berprespektif HAM. Selain itu guna mencegah/meminimalisir praktik-praktik pelanggaran HAM dikemudian hari, maka perusahaan disarankan untuk dapat membuat dan menyampaikan laporan berkala/priodic kepada pemerintah setempat dan organisasi pemerhati HAM terkait pelaksanaan penghormatan ham termasuk perkembangan proses penyelesaian pemulihan HAM yang telah dilakukan, hal ini penting dilakukan oleh perusahaan untuk mengkomunikasikan setiap bentuk praktik penghormatan HAM yang telah dilakukan oleh perusahaan pada saat menjalankan kegiatan bisnisnya. Laporan monitoring ini menjadi hal yang penting bagi negara dalam kapasitasnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab bagi jaminan perlindungan HAM di negaranya melalui penyediaan konsesi bagi kegiatan pelaku usaha.(rda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar