Dalam hukum perdata Indonesia
perusahaan adalah sebagai kesatuan organisasi yang dapat bertindak sebagai Subjek Hukum
(recht person), yang diartikan bahwa perusahaan disamping orang
perseorangan sebagai pengemban hak dan kewajiban. Dalam arti ini Perusahaan
juga dapat bertindak sebagai para pihak dalam perjanjian dan dapat melakukan
perbuatan hukum melalui para pengurusnya. (lihat juga penafsiran hukum bahwa
perusahaan juga dapat ditarik sebagai pelaku pidana)
Dalam melakukan kegiatannya,
perusahaan juga dapat menyusun dan dilengkapi anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga, selain itu mempunyai harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi
pengurusnya. Sebagai pengelola dan pengumpul modal atau kekayaan, perusahaan
mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Oleh karena itu
perusahaan dalam melaksanakan kegiatannya akan mencari sumber-sumber eksploitas
ekonomi/lahan strategsi yang dapat dikelola dan diusahakan untuk mendapatkan
keuntungan untuk menambah modal bagi pengembanggan usahanya.
Pada praktiknya perusahaan akan
cenderung mengorientasikan sumber dayanya untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya dan mengeyampinkan elemen-elemen yang dapat
menghambat/menghalangi jalannya roda perusahaannya.
Dari tujuan-tujuan kegiatan bisinis
tersebut, maka kegiatan bisinis dapat membawa potensi terjadinya berbagai
gesekan dengan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup di sekitar kegiatan
bisnis atau yang lebih dikenal menuju pada konflik sosial. Selain konflik,
perusahaan juga berpotensi melanggar hak-hak pekerja di internal organisasi
perusahaan seperti ; sengketa dengan para pekerja atau dengan serikat pekerja.
Konflik bisnis yang melibatkan kepentinag sosial masyarakat dan kelestarian
lingkungan hidup, hal ini menyentuh pada permasalahan-permasalah hubungan
antara perusahaan dengan masyarakat disekitar perusahaan. Konflik ini terjadi
pada saat perusahaan menjalankan aktivitas bisnisnya seperti banyak terjadi
pada praktik-praktik bisnis perusahaan di bidang perkebunan dan pertambangan
(MINERBA). Merujuk pada kedua bentuk pelanggaran tersebut, timbul pertanyaan,
apakah bentuk hubungan antara kegiatan bisnis perusahaan dengan eksistensi
prinsip-prinsip HAM ??. Maka sudah barang tentu akan saling bersentuhan karena
adanya objek yang berpotensi dilanggar hak-haknya yakni masyarakat, kelompok
pekerja (mohon liat kovensi ILO) dan lingkunggan hidup ketiga element ini bila
kita hadapkan dengan kecendrungan kegiatan perusahaan pada praktiknya
berpotensi meimbulkan berbagai bentuk pelanggaran khususnya pelanggaran
prinsip-prinsip HAM.
Konsep penghormatan HAM yang awalnya
dibebankan menjadi kewajiban negara saat setalah diperkenalkaannya
prinsip-prinsip HAM dan Bisnis oleh Perwakilan Khusus PBB untuk masalah Bisnis
dan HAM John Ruggie dan setelah hampir 6 tahun ruggie melakukan konsultasi dan
monitoring di beberapa negara, akhirnya komite ini menghasilkan Prinsip-Prinsip
Panduan HAM dan Bisnis bagi perusahaan dalam menjalankan kegiatan perusahaan
yang kemudian disahkan oleh PBB menjadi panduan bisnis dan HAM. Prinsip-prinsip
tersebut bersifat non binding namun dalam berkembangannyya sangat
relevan untuk dilaksanakan, adapun 2 dari tiga prinsip-prinsip yang digariskan
dalam panduan tersebut menetapkan perusahaan sebagai salah satu aktor yang
berpotensi menjadi pelaku pelanggar HAM. (ruggie principles, Elsam, hlm 1).
Melalui pengenalan prinsip ini secara langsung menegaskan perluasan makna bahwa
sebagian tanggung jawab pelaksanaan prinsip-prinsip HAM disamping Negara
sebagai pemangku kewajiban HAM. Perusahaan ditarik menjadi pemangku kewajiban
HAM, dalam arti Perusahaan diberikan tanggung jawab untuk menghormati
prinsip-prinsip HAM terutama kewajiban perusahaan untuk menghormati HAM dan
melakukan berbagai upaya yang efektif bagi proses remedy/pemulihan
hak-hak korban yang telah dilanggar.
Penerapan prinsip-prinsip ruggie
juga mengenalkan pentingnya membangun mekanisme internal bagi penyelesaian atas
dugaan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi akibat aktivitas bisnis
perusahaan. salah satunya melalui pembentukan unit pengaduan masyarakat/internal
complaint handeling mechanism, semacam devisi khusus yang dapat
menampung pengaduan-pengaduan dari masyarakat termasuk pengaduan dari internal
perusahaan seperti pekerja yang merasa hak-hak asasinya/normatifnya telah
dilanggar akibat kebijakan manajemen perusahaan,sebelum ditempuhnya upaya
penyelesaian melalui intervensi pihak ketiga. mekanisme pengaduan internal ini
juga disarankan melibatkan tenaga-tenaga ahli di bidang HAM dalam menyeleksi
dan menangani kasus.Sementara untuk penyelsaian masalah pelanggaran HAM melalui
proses remedy melalui bantuan bantuan stake holder
mengupayakan pemulihan yang efektif atas kerugian-kerugian yang ditimbulkan
akibat sebagai kebijakan dan tindakan perusahaan yang tidak berprespektif HAM.
Selain itu guna mencegah/meminimalisir praktik-praktik pelanggaran HAM
dikemudian hari, maka perusahaan disarankan untuk dapat membuat dan
menyampaikan laporan berkala/priodic kepada pemerintah setempat dan organisasi
pemerhati HAM terkait pelaksanaan penghormatan ham termasuk perkembangan proses
penyelesaian pemulihan HAM yang telah dilakukan, hal ini penting dilakukan oleh
perusahaan untuk mengkomunikasikan setiap bentuk praktik penghormatan HAM yang telah
dilakukan oleh perusahaan pada saat menjalankan kegiatan bisnisnya. Laporan
monitoring ini menjadi hal yang penting bagi negara dalam kapasitasnya sebagai
pihak yang paling bertanggung jawab bagi jaminan perlindungan HAM di negaranya
melalui penyediaan konsesi bagi kegiatan pelaku usaha.(rda)