Sebelum masuk pada pokok tulisan. saya ingin menegaskan bahwa judul dan uraian yang akan saya sampaikan dalam tulisan ini merupakan pendapat saya atau lebih pada pendapat pribadi. Berdasarkan pemahaman yang saya miliki berdasarkan beberapa literatur dan hasil-hasil seminar yang sempat saya ikuti. Itupun klo tidak lupa. Tapi insyaAllah tidak lupa.
Pada hakikatnya tema ini saya angkat lebih ditujukan
untuk mengiring persamaan opini. Untuk menyepakati bahwa perusahaan/koorporasi
bukan pihak yang dapat menjadi korban pelanggaran HAM baik itu berbasis pada
pelanggaran akibat suatu kebijakan ataupun tindak civil society. Hal ini penting agar bisa menjadi masukan dan rujukan bersama bahwa perusahaan
tidak bisa kita posisikan sebagai korban/objek pelanggaran HAM.
Berbuntut dari fenomena yang ada. Pada praktiknya
terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM yang menempatkan/memposisikan perusahaan
sebagai pihak yang menjadi objek pelanggaran HAM. Baik itu akibat sebuah
kebijakan ataupun tindakan langsung dari negara.
Kenyataan ini terwujud dalam bentuk pengaduan. Ada
konflik dengan masyarakat, sengketa dengan pemerintah dan lain sebagainya. Melihat permasalahan ini
memang kita kudu jeli menyeleksi apakah memang dalam pengaduan tersebut terdapat
unsur-unsur
pelanggaran ham atau tidak. Klopun ada, apakah itu pelanggaran HAM atau permasalahan
hukum biasa, yang penyelesainnya dapat menempuh jalur litigasi atau non
litigasi,seperti melalui gugatan ke PTUN bila itu bersumnber dari sebuah kebijakan/peraturan TUN
yang merugikan operasional perusahaan.
Tapi klo tetap keukeh, pada prinsip awal bahwa pihak
perusahaan merasa ada pelanggaran HAM maka kita kudu merunut pada konsep
dasar. Mengenai pertanyaan apakah itu HAM dan apakah pelanggaran. Kemudian
muncul istilah pelanggaran HAM.
UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM pasal 1 angka 1
dinyatakan bahwa HAM adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan
YME, dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Sementara klo kita
merunut pada DUHAM 1948, walo definisi HAM tidak dinyatakan secara konkret,
namun masih tetap menempatkan manusia sebagai makhluk tuhan yang memiliki
hak-hak dasar sejak ahirnya. Jadi pada prinsipnya HAM itu tetap menempatkan
manusia sebagai makhluk tuhan dalam arti naturlijke
personenistilah hukumnya yakni sebagai pengemban hak dan kewajiban hukum,
dan pihak yang wajib untuk mendapatkan perlindungan karna secara kodrat
dilahirkan bersama hak-hak dasar yang melekat pada dirinya secara alamiah/naturlijke
Bagaimana pula pengertian Pelanggaran HAM berdasarkan
UU tentang HAM. Pada pasal 1 angka 6 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Diatur
bahwa Pelanggaran HAM adalah “setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi,membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau sekelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang ini,dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku. Lagi-lagi bila kita ,mengacu pada ketentuan ini maka bisa
dikatakan bahwa siapa objek pelanggaran HAM itu adalah manusia atau sekelompok
manusia yang berdiri sendiri-sendiri sebagai Naturlijke personen”.
Lalu bagaimana kedudukan perusahaan dalam kaitan
pelanggaran HAM. Sudah menjadi pengertian umum bawah perusahaan merupakan
kumpulan dari modal/persekutuan modal,didirikan berdasarkan perjanjian, dalam
bentuk badan hukum/recht person.
Bukan sebagai naturlijke person, walo
dalam pengertian hukum perdata sama-sama sebagai pemangku hak dan kewajiban
hukum. Hak hukum disini bukan pula dalam arti pemangku HAM. Tapi lebih pada
masalah dapat atau tidaknya melakukan tindakan hukum. Seperti mengugat atau
digugat secara hukum.
Bagaimana pula eksistensi perusahaan dalam konsep HAM
dan Bisnis
Dalam beberapa literatur yang sempat saya baca.
Terdapat perkembangan konsep bahwa
perusahaan dalam penegakkan HAM dapat menjadi pihak yang rentan melakukan
pelanggaran HAM. Konsep ini muncul bersamaan dengan munculnya yurisprudensi
yang mengiring pada masalah pelanggaran HAK EKOSOB yang tidak hanya melulu
berpotensi dilakukan oleh negara tapi juga dapat melibatkan perusahaa. Bukti
intuitif apa yang dapat membenarkan bahwa terdapat hubungan antara perusahaan dengan potensi pelanggaran
HAM itu sendiri. Permasalahan ini dapat kita lihat pada kegiatan dasar mereka,dimana
perusahaan baik sendiri maupun bersama pemerintah dan pelibatan pelaku lain
seperti tentara bayaran, memiliki potensi dan pengaruh yang luas terhadap
kepentingan yang menurut tatanan HAM internasional cenderung dikategorikan
dengan sebutan hak Ekosob
Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob memunculkan
pemikiran mengenai kegiatan perusahaan dengan berbagai ragamnya mencari
keuntungan dan besifat tidak terbatas dapat berakibat negatif terhadap
perlindungan HAM dan berpotensi menimbulkan praktik pelanggaran HAM. Pernyataan
ini cukup beralasan karna perusahaan cenderung memiliki kekuatan
ekonomi/modal/uang yang dapat melakukan apapun termasuk menyewa jasa tentara
pengamanan untuk melindungi objek-objek vital perusahaand dari bebagai bentuk
ancaman.Modal yang dimilikinya juga dapat membeli kebijakan dalam kerangka
sistim hukum yang ditelorkan oleh penguasa. Untuk melancarkan aktivitas
bisnisnya, dan terkadang harus bergesekan dengan kepentingan masyarakat yang
pada umumnya berada dalam kondis yang lemah. Akibat dari kekhawatiran tersebut
maka memunculkan beberapa ketentuan PBB yang diwujudkan dalam Kovenan
Internasional tentang Hak EKOSOB. Salah satunya diatur dalam Pasal 1 ayat (2)
EKOSOB,dinyatakan bahwa; “dalam keadaan apapun manusia tidak boleh dirampas
sumber mata pencariannya” pengaturan ini relevan bila kita hubungkan dengan
fenomena dilapangan saat ini, dimana maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh
perusahaan dalam bentuk perampasan sumber-sumber hak ekonomi masyarakat asli
yang menurut kenyataannya masih ada, dan menjalankan kehidupannya disekitar
wilayah kegiatan perusahaan.
Uraian diatas dapat mengambarkan bahwa posisi
perusahaan dalam HAM, bisa berpotensi sebagai pihak yang melakukan pelanggaran
HAM.tapi bukan berarti otomatis perusahaan sama seperti negara juga sebagai
pihak yang bertanggung jawab dalam rangka pemenuhan HAM, karna tanggung jawab
HAM tetap menjadi kewajiban negara atau yang lebih dikenal dengan state obligation. Sementara perusahaan
hanya mempunyai kewajiban untuk menghormati HAM dalam kaitan adanya potensi
pelanggaran HAM yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Kewajiban perusahaan untuk
menghormati HAM ini kemudian memunculkan kesapatan bersama beberapa negara
anggota PBB untuk menetapkan frame work
bagi perusahaan dalam rangka melaksanakan kegiatan bisnisny atau lebih dikenal
dengan “Guiding Principles On Business
And Human Rights” yang meliputi : Perlindungan, Penghormatan dan pemulihan
(dapat dilihat
dalam buku terbitan PBB tentang pedoman prinsip-prinsipBisnis dan HAM)
Konsep ham dan bisnis tidak mengarahkan pada kewajiban
negara untuk melaksanakan tanggung jawab sosial
atau lebih dikenal CSR kedalam kegiatan usahanya. Karan CSR berada pada
dimensi yang berbeda dari kosep ham dan bisnis. CSR lebih menekankan pada
tujuan pencapaian Good Will
perusahaan atau memperkuat performance perusahaan. Sementara parameter untuk mengukur
komitmen perusahaan terhadap penghormatan HAM mengacu pada hasildue deliquency perusahaan, sebagai tool yang dapat digunakan untuk menunjukkan
kekokohan perusahaan dalam melaksanakan bisnis dan ham berdasarkan pentunjuk
yang telah ada. Dari penjabaran singkat diatas mengarahkan pada simpulan bahwa
perusahaan merupakan badan hukum yang merupakan kumpulan modal, bukan dalam
arti manusia pribadi, yang memiliki kewajiban penghormatan HAM bukan menjadi
pihak yang terkena pelanggaran HAM hal
ini karna adanya tannggung jawab yang melekat pada perusahaan. yang dalam
perkembangannya dipertegas kembali oleh PBB dengan menyusun frame work kegiatan perusahaan. Kemudian
diintegrasikan dalam petunjuk prinsip-prinsip HAM dan Bisnis yang harus
dipedomani oleh perusahaan,selain itu sifat perusahaan sendiri juga tidak
memenuhi unsur-unsur pihak yang
dilindungi dalam UU HAM, dalam pengertian HAM dan Pelanggaran HAM.(rda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar