Selasa, 24 Mei 2016

PERUSAHAAN DAN SUBJEK PELANGGARAN HAM

 
Sebelum masuk pada pokok tulisan. saya ingin menegaskan bahwa judul dan uraian yang akan saya sampaikan dalam tulisan ini merupakan pendapat saya atau lebih pada pendapat pribadi. Berdasarkan pemahaman yang saya miliki berdasarkan beberapa literatur dan hasil-hasil seminar yang sempat saya ikuti. Itupun klo tidak lupa. Tapi insyaAllah tidak lupa.
Pada hakikatnya tema ini saya angkat lebih ditujukan untuk mengiring persamaan opini. Untuk menyepakati bahwa perusahaan/koorporasi bukan pihak yang dapat menjadi korban pelanggaran HAM baik itu berbasis pada pelanggaran akibat suatu kebijakan ataupun tindak civil society. Hal ini penting agar bisa menjadi masukan dan rujukan bersama bahwa perusahaan tidak bisa kita posisikan sebagai korban/objek pelanggaran HAM.
Berbuntut dari fenomena yang ada. Pada praktiknya terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM yang menempatkan/memposisikan perusahaan sebagai pihak yang menjadi objek pelanggaran HAM. Baik itu akibat sebuah kebijakan ataupun tindakan langsung dari negara.
Kenyataan ini terwujud dalam bentuk pengaduan. Ada konflik dengan masyarakat, sengketa dengan pemerintah dan lain sebagainya. Melihat permasalahan ini memang kita kudu jeli menyeleksi apakah memang dalam pengaduan tersebut terdapat unsur-unsur pelanggaran ham atau tidak. Klopun ada, apakah itu pelanggaran HAM atau permasalahan hukum biasa, yang  penyelesainnya dapat menempuh jalur litigasi atau non litigasi,seperti melalui gugatan ke PTUN bila itu bersumnber dari sebuah kebijakan/peraturan TUN yang merugikan operasional perusahaan.
Tapi klo tetap keukeh, pada prinsip awal bahwa pihak perusahaan merasa ada pelanggaran HAM maka kita kudu merunut pada konsep dasar. Mengenai pertanyaan apakah itu HAM dan apakah pelanggaran. Kemudian muncul istilah pelanggaran HAM.
UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa HAM adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan  YME, dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Sementara klo kita merunut pada DUHAM 1948, walo definisi HAM tidak dinyatakan secara konkret, namun masih tetap menempatkan manusia sebagai makhluk tuhan yang memiliki hak-hak dasar sejak ahirnya. Jadi pada prinsipnya HAM itu tetap menempatkan manusia sebagai makhluk tuhan dalam arti naturlijke personenistilah hukumnya yakni sebagai pengemban hak dan kewajiban hukum, dan pihak yang wajib untuk mendapatkan perlindungan karna secara kodrat dilahirkan bersama hak-hak dasar yang melekat pada dirinya secara alamiah/naturlijke
Bagaimana pula pengertian Pelanggaran HAM berdasarkan UU tentang HAM. Pada pasal 1 angka 6 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Diatur bahwa Pelanggaran HAM adalah “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian  yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia  seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini,dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Lagi-lagi bila kita ,mengacu pada ketentuan ini maka bisa dikatakan bahwa siapa objek pelanggaran HAM itu adalah manusia atau sekelompok manusia yang berdiri sendiri-sendiri sebagai Naturlijke personen”.
Lalu bagaimana kedudukan perusahaan dalam kaitan pelanggaran HAM. Sudah menjadi pengertian umum bawah perusahaan merupakan kumpulan dari modal/persekutuan modal,didirikan berdasarkan perjanjian, dalam bentuk badan hukum/recht person. Bukan sebagai naturlijke person, walo dalam pengertian hukum perdata sama-sama sebagai pemangku hak dan kewajiban hukum. Hak hukum disini bukan pula dalam arti pemangku HAM. Tapi lebih pada masalah dapat atau tidaknya melakukan tindakan hukum. Seperti mengugat atau digugat  secara hukum.
Bagaimana pula eksistensi perusahaan dalam konsep HAM dan Bisnis
Dalam beberapa literatur yang sempat saya baca. Terdapat perkembangan konsep  bahwa perusahaan dalam penegakkan HAM dapat menjadi pihak yang rentan melakukan pelanggaran HAM. Konsep ini muncul bersamaan dengan munculnya yurisprudensi yang mengiring pada masalah pelanggaran HAK EKOSOB yang tidak hanya melulu berpotensi dilakukan oleh negara tapi juga dapat melibatkan perusahaa. Bukti intuitif apa yang dapat membenarkan bahwa terdapat hubungan  antara perusahaan dengan potensi pelanggaran HAM itu sendiri. Permasalahan ini dapat kita lihat pada kegiatan dasar mereka,dimana perusahaan baik sendiri maupun bersama pemerintah dan pelibatan pelaku lain seperti tentara bayaran, memiliki potensi dan pengaruh yang luas terhadap kepentingan yang menurut tatanan HAM internasional cenderung dikategorikan dengan sebutan hak Ekosob
Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob memunculkan pemikiran mengenai kegiatan perusahaan dengan berbagai ragamnya mencari keuntungan dan besifat tidak terbatas dapat berakibat negatif terhadap perlindungan HAM dan berpotensi menimbulkan praktik pelanggaran HAM. Pernyataan ini cukup beralasan karna perusahaan cenderung memiliki kekuatan ekonomi/modal/uang yang dapat melakukan apapun termasuk menyewa jasa tentara pengamanan untuk melindungi objek-objek vital perusahaand dari bebagai bentuk ancaman.Modal yang dimilikinya juga dapat membeli kebijakan dalam kerangka sistim hukum yang ditelorkan oleh penguasa. Untuk melancarkan aktivitas bisnisnya, dan terkadang harus bergesekan dengan kepentingan masyarakat yang pada umumnya berada dalam kondis yang lemah. Akibat dari kekhawatiran tersebut maka memunculkan beberapa ketentuan PBB yang diwujudkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak EKOSOB. Salah satunya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) EKOSOB,dinyatakan bahwa; “dalam keadaan apapun manusia tidak boleh dirampas sumber mata pencariannya” pengaturan ini relevan bila kita hubungkan dengan fenomena dilapangan saat ini, dimana maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dalam bentuk perampasan sumber-sumber hak ekonomi masyarakat asli yang menurut kenyataannya masih ada, dan menjalankan kehidupannya disekitar wilayah kegiatan perusahaan.
Uraian diatas dapat mengambarkan bahwa posisi perusahaan dalam HAM, bisa berpotensi sebagai pihak yang melakukan pelanggaran HAM.tapi bukan berarti otomatis perusahaan sama seperti negara juga sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam rangka pemenuhan HAM, karna tanggung jawab HAM tetap menjadi kewajiban negara atau yang lebih dikenal dengan state obligation. Sementara perusahaan hanya mempunyai kewajiban untuk menghormati HAM dalam kaitan adanya potensi pelanggaran HAM yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Kewajiban perusahaan untuk menghormati HAM ini kemudian memunculkan kesapatan bersama beberapa negara anggota PBB untuk menetapkan frame work bagi perusahaan dalam rangka melaksanakan kegiatan bisnisny atau lebih dikenal dengan “Guiding Principles On Business And Human Rights” yang meliputi : Perlindungan, Penghormatan dan pemulihan (dapat dilihat dalam buku terbitan PBB tentang pedoman prinsip-prinsipBisnis dan HAM)

Konsep ham dan bisnis tidak mengarahkan pada kewajiban negara untuk melaksanakan tanggung jawab sosial  atau lebih dikenal CSR kedalam kegiatan usahanya. Karan CSR berada pada dimensi yang berbeda dari kosep ham dan bisnis. CSR lebih menekankan pada tujuan pencapaian Good Will perusahaan atau memperkuat performance perusahaan. Sementara parameter untuk mengukur komitmen perusahaan terhadap penghormatan HAM mengacu pada hasildue deliquency perusahaan, sebagai tool yang dapat digunakan untuk menunjukkan kekokohan perusahaan dalam melaksanakan bisnis dan ham berdasarkan pentunjuk yang telah ada. Dari penjabaran singkat diatas mengarahkan pada simpulan bahwa perusahaan merupakan badan hukum yang merupakan kumpulan modal, bukan dalam arti manusia pribadi, yang memiliki kewajiban penghormatan HAM bukan menjadi pihak yang terkena pelanggaran HAM  hal ini karna adanya tannggung jawab yang melekat pada perusahaan. yang dalam perkembangannya dipertegas kembali oleh PBB dengan menyusun frame work kegiatan perusahaan. Kemudian diintegrasikan dalam petunjuk prinsip-prinsip HAM dan Bisnis yang harus dipedomani oleh perusahaan,selain itu sifat perusahaan sendiri juga tidak memenuhi unsur-unsur  pihak yang dilindungi dalam UU HAM, dalam pengertian HAM dan Pelanggaran HAM.(rda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar