Senin, 18 Oktober 2021

MENGAGAS PENERAPAN ASAS RESTORATIF JUSTICE BAGI PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM KERANGKA PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

 


         Permasalahan hukum terkait pencemaran nama baik, khususnya yang melibatkan pejabat publik dengan kelompok masyarakat sipil tak jarang menimbulkan masalah distorsi bagi pemaknaan kebebasan berpendapat di dalam negara yang mengusung prinsip demokrasi. Karena, pada praktiknya tindakan seseorang yang mengkritisi orang lain yang kebetulan menduduki jabatan publik kerap berujung pada masalah pemindanaan terhadap pihak lain yang melakukan kritik terhadap dirinya, sementara niatan seseorang yang mepublikasikan pendapat/ pemikirannya tersebut, lebih ditujukan untuk memberikan informasi atas sebuah fakta yang ia dalami/ temukan, juga sebagai media untuk melakukan kritisi. Sikap dan tindakan tersebut diyakininya sebagai bagian haknya untuk menyuarakan pendapatnya di muka umum, dan hak ini merupakan bagain dari demokrasi yang harus dilindungi.

Fenomena tersebut memicu munculnya pemikiran mengenai hubungan antara tindakan seseorang dengan dampak yang ditimbulkan akibat pencemaran nama baik yang melibatkan penilaian masyarakat. Permasalahan  diawali adanya tindakan seseorang yang dengan sengaja memberikan penilaian kepada pihak lain atas suatu permasalahan di ranah kepentingan publik, umumnya permasalahan tersebut mengandung sensifitas. Unggahan tersebut dimaksudkan agar diketahui publik, kemudian penilaian tersebut dianggap mengandung informasi negatif atas diri seseorang. Apalagi jika ungkapan/unggahan tersebut ditujukan terhadap seseorang yang kebetulan menududki jabatan publik, tindakan tersebut tentu menyasar pada nama baik dan kehormatan seseorang di dalam masyarakat. Nama baik merupakan kehormatan yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang berhubungan dengan kedudukannya di dalam masyarakat[1], sementara makna “kehormatan” adalah perasaan pribadi atau harga diri seseorang[2].  Sehingga, akibat tindakan pihak lain tersebut, nama baik seseorang (pejabat) menjadi tercemar sehingga ia kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

Posisi seseorang yang berkedudukan sebagai pejabat publik di dalam negara demokrasi memang rentan menghadapi berbagai kritikan, karena pejabat publik tidak hanya berkaitan dengan penilain atas kebijakannya saja tapi juga penilaian terhadap bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam menjalankan kekuasaannya. Di negara yang menganut asas demokrasi, hak kebebasan berpendapat dan berpikir dari masing-masing individu merupakan bagian dari hak yang dilindungi, terutama yang berkaitan dengan public interest, hal ini senada dengan pemikiran Prof Jimly Asshiddiqie, S.H, di dalam Bukunya “Menuju Negara Hukum dan Demokratis”, ia menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) ciri-ciri utama sebuah negara Demokrasi, yakni; 1.) adanya supremasi hukum, 2.) persamaan hak dan kewajiban warga negara di hadapan hukum dan 3.) terjaminnya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan demikian negara Demokrasi bukan hanya diwujudkan dalam bentuk adanya partisipasi publik di dalam Pemilu, adanya lembaga parlemen namun juga adanya jaminan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia.

Negara Demokrasi memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Demokrasi merupakan tongak perjuangan dan aspirasi dari setiap individu ke arah kebebasan dan kemerdekaan, merdeka dari segala bentuk penindasan termasuk perlindungan hak setiap orang untuk berekspresi dan berpendapat di muka umum sepanjang hal itu dapat dipertanggung jawabkan.

          Pemikiran tersebut sesuai bunyi Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 Tentang HAM, yang menyatakan bahwa “ setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nurani, secara lisan maupun tulisan atau melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara”, kemudian dalam Pasal 19 UU No. 12/2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, ayat (2) menyatakan bahwa “ setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat , hak ini termasuk kebebasan untuk mencari , menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun terlepas dari segala bentuk batasan baik lisan maupun tertulis sesuai pilihannya, kemudian ayat (3) menyatakan bahwa” pelaksanaan hak-hak sebagaimana dicantumkan dalam ayat (2) pasal ini, menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, namun hanya dapat dilakukan melalui undang-undang yakni : (a). menghormati hak atau nama baik orang lain; (b). melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, dan norma moral. Berdasarkan ketentuan beberapa pasal tersebut, jelas menyatakan bahwa hak  setiap orang untuk mengungkapkan pikiran dan ekspresi merupakan hak asasi yang dilindungi meskipun tetap harus memperhatikan norma-norma/batasan-batasan yang ada, dan pembatasan tersebut haruslah melalui undang-undang.

       Pada praktiknya, implementasi hak atas kebebasan pribadi berupa kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang tak jarang menimbulkan permasalahan hukum, terutama ekspresi atau penyampaikan pemikiran/pendapat yang diunggah ke dalam media baik cetak atau elektronik, seperti: kasus-kasus dugaan tindak pidana pencemaran nama baik yang bermuara dari adanya pelaporan di kepolisian. Umumnya kasus-kasus tersebut, diawali dari adanya tuduhan pencemaran nama baik terhadap seseorang, akibat adanya tindakan pihak lain yang telah mengumumkan pemikiran atau pendapatnya, kemudian diunggah melalui media baik cetak maupun elektronik. Umumnya tindakan tersebut berupa kritikan atau ungkapan yang bertujuan untuk menyampaikan sebuah fakta/kebenaran, apalagi jika tindakan tersebut bertendensi pada bentuk penilaian yang langsung ditujukan pada nama seseorang yang kebetulan memiliki kedudukan sebagai Pejabat Publik dan berada di ranah kepentingan publik.Terhadap kasus-kasus ini, apakah perlu adanya treatment khusus jika ujaran/ungkapan pendapat/pemikiran tersebut lebih diarahkan untuk tujuan-tujuan mengungkap sebuah kebenaran berdasarkan data-data/hasil penelitan dan kajian yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya dan semata-mata untuk kepentingan publik (masyarakat).

         Meskipun dalam sistem hukum di Indonesia, istilah tindak pidana pencemaran nama baik dikenal dan diatur dengan tegas dalam KUHP tepatnya pada Pasal 310 dan 311 KUHP dan dalam Undang-Undang khusus tentang  Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yakni Pasal 27 ayat (3) namun pemidanaan terhadap pelaku/terlapor tindak pidana ini dapat dikesampingkan jika tuduhan perbuatan pencemaran nama baik terhadap seseorang  sebagaimana diatur di dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dan Pasal 27 UU ITE sebagai lex special dari KUHP semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum atau dengan terpaksa membela kepentingan sendiri, maka unsur motif (alasan) dari tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak dapat dipidana/dikecualikan.  

Unsur motivasi (alasan) atas sebuah perbuatan yang ditujukan untuk kepentingan umum atau untuk mengukapkan fakta atas kebenaran sebagaimana diatur di dalam Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP harus dapat diuji terlebih dahulu oleh penegak hukum  melalui proses pemeriksaan di persidangan yang objektif. Hal ini mengingat terdapat ketentuan  di dalam Pasal 310 ayat 3 KUHP yang mengatur terkait pengecualian terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dapat dihukum dengan Pasal pencemaran nama baik atau penghinaan, jika : (1) Penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum; (2) untuk membela diri, dan (3)  untuk mengukapkan kebenaran.

Beberapa tindakan pengecualian tersebut, juga diatur dalam SKB diantara Menteri Komunikasi dan Informasi, Kepala Kejaksaan Agung dan Kapolri tentang Pedoman implementasi beberapa Pasal dalam UU ITE, diantaranya Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa “ bukan sebuah delik pidana pencemaran nama baik atau fitnah jika kontennya berupa hasil penilaian, pendapat, hasil evaluasi dan sebuah kenyataan”. Namun, untuk menguji kebenaran bahwa motivasi atas tindakan tersebut semata-mata untuk tujuan dari kepentingan publik atau untuk mengungkapkan sebuah fakta/kebenaran maka diperlukan pembuktian atas maksud/tujuan dari seseorang serta kebenaran atas muatan informasi yang ia sampaikan,  “apakah unggahan pemikiran dan pendapat seseorang betul-betul ditujukan untuk kepentingan umum atau untuk mengungkap sebuah kebenaran (berdasarkan data-data yang valid) dan/atau untuk membela diri dari si Pelaku/terlapor”. Pertimbangan ini, semata-mata ditujukan untuk memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan seseorang yang mengunakan media sosial dalam kerangka pelaksanaan hak-haknya untuk mengungkapkan sebuah informasi tentang kebenaran serta ditujukan untuk kepentingan publik.

         Pemikiran tersebut, selaras dengan tujuan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB)[3] Tentang Pedoman Kriteria Implementasi undang-undang Nomor 19 Tahun 2016  Tentang ITE, yang telah ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung dan Kapolri. Lahirnya SKB tersebut merupakan jawaban atas masukan dari berbagai pihak mulai dari Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kemenkoinfo, perwakilan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat yang telah menjadi korban atas penerapan beberapa Pasal di dalam UU ITE yakni Pasal 27,28,29, dan 36. SKB tersebut sebagai respon atas permasalahan yang timbul selama ini, mengingat implementasi UU ITE kerap memakan korban karena mengandung pasal-pasal karet, sehingga berpotensi memunculkan praktik-praktik kriminalisasi terhadap orang-orang yang bersikap kritis dalam menyuarakan informasi-informasi kebenaran, pembelaan diri, opini termasuk untuk mengungkapkan fakta tentang adanya peristiwa yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan/kesewenang-wenangan pejabat publik.

      Demi tetap memelihara iklim demokrasi terutama bagi menjamin perlindungan hak atas kebebasan berpendapat bagi setiap orang dari potensi praktik-praktik kriminalisasi, maka perlu adanya penanganan khusus bagi individu-individu yang mempublikasikan tulisan-tulisan atau kajian-kajian yang di dalamnya mengandung kritisi guna perlindungan publik, seperti : pengungkapan masalah kerusakan lingkungan, korupsi dan kasus-kasus publik lainnya yang melibatkan pejabat publik. Sementara makna “perlindungan publik” itu juga ada batasan-batasannya, sebagaimana dinyatakan di dalam keputusan pengadilan yang membenarkan kritik sosial untuk kepentingan umum (publik) dengan kriteria-kriteria: (1). Kapasitas terdakwa berkaitan dengan objek yang disebutkan dalam unggahannya, (2). Terdakwa dan korban tidak saling mengenal, dan (3). Perbuatan terdakwa dilakukan semata-mata adalah sebagai bentuk protes atas penyalahgunaan kekuasaan dari penguasa untuk tujuan-tujuan kepentingan pribadi.[4]

        Pada hakikatnya, unggahan/menyiarkan berupa buah pikiran, pendapat, hasil kajian/penelitian yang ditujukan untuk mengungkap sebuah fakta yang sedang terjadi ataupun kritikan yang berbasis pada data-data yang ada, hakikatnya bisa menjadi sarana check and blances bagi penyelengara kekuasaan dalam melaksanakan tanggung jawabnya di ranah publik. Oleh karena itu, menjadi sangat ideal jika terhadap kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan pencemaran nama baik yang bersingunggan dengan permasalahan kepentingan publik (masyarakat) dapat diselesaikan melalui penerapan asas keadilan restorative justice. Meskipun proses penegakan hukumnya tetap dilakukan secara selektif dan ketat.

        Prinsip keadilan restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum yang dapat dipilih bagi penyelesaian perkara pidana dan dapat dijadikan instrument pemulihan (remedy) baik terhadap Pelapor maupun Terlapor. Mekanisme penyelesaian hukum melalui penerapan prinsip ini juga telah diterapkan ke dalam sistem peradilan pidana di Indonesia namum masih belum optimal.[5] Di beberapa negara, pendekatan melalui penerapan asas ini juga telah mulai diadopsi dan menunjukkan hasil yang mengembirakan. Belanda misalnya, dianggap negara yang relatif paling berhasil di dunia dalam mengimplementasikan asas keadilan restorative justice, hal ini dibuktikan sejak kurun waktu  2013 hingga Januari 2017, Belanda berhasil menutup 24 (dua pulu empat) penjara karena minimnya angka kriminalitas yang terjadi di negara tersebut.[6]Pada hakikatnya, penerapan keadilan restorative justice ini adalah untuk mereformasi criminal justice system yang masih mengedepankan hukuman penjara (badan). Dalam perkembangannya, sistem pemindanaan saat ini, bukan lagi menitikberatkan pada pelaku tindak pidana, namun lebih pada pemulihan korban dan pertanggung jawaban pelaku pidana.[7]

        Seiring perkembangan hukum dan praktik pemidanaan, menunjukkan bahwa implementasi sanksi pidana pencabutan kemerdekaan mengandung lebih banyak aspek-aspek negatif daripada aspek-aspek positifnya. Aspek negatif yang timbul dari penjatuhan pidana pencabutan kemerdekaan itu misalnya terjadinya dehumanisasi, prisonisasi dan stigmatization, selain itu metode penghukuman pemidanaan berupa penghukuman penjara terhadap seseorang tidak menjamin membuat orang tersebut menjadi jera, ditambah kondisi sebagian besar lapas di Indonesia tidak memperlakukan seorang narapidana sebagai manusia yang harus diperbaiki dan cenderung diperlakukan tidak humanis. Selain itu, masalah overcapacity di sebagian besar lapas di Indonesia berkorelasi terhadap masalah keamanan dan infrastruktur di dalam lapas, kondisi ini juga harus dipertimbangkan. Sementara pada praktiknya, terhadap beberapa kasus-kasus pidana, kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan lebih baik diperbaiki daripada merampas kemerdekaan seorang pelaku kejahatan.
        Selain itu, tidak pula semua perbuatan yang terkategori sebagai tindak pidana menurut KUHP dan peraturan khusus lainnya, harus berujung pada pengenaan hukuman badan bagi pelakunya karena dalam beberapa  kasus hukum seperti “pencemaran nama baik dan/atau penghinaan” mestinya juga dapat mengunakan pendekatan klarifikasi, korektif dan  berakhir pada musyawarah diantara para pihak yang bersengketa. Hal ini, karena kerugian akibat tindak pencemaran nama baik juga masih sulit diukur, terutama untuk masalah-masalah yang berhadapan dengan kepentingan publik yang hendak dituju.

      Sebagai catatan, bahwa penerapan prinsip keadilan restorative justice juga menjadi salah satu pilihan penyelesaian perkara melalui proses peradilan, yang sudah coba diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung, diantaranya:

  1. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadadapan dengan Hukum;
  2. Peraturan MA RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitas Medis dan Rehabilitasi Sosial;
  3. Peraturan Bersama Ketua MA RI, Menkumham, Menkes, Mensos, Jaksa Agung RI, Kapolri dan BNN RI, Nomor 01/PB/MA/II/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor Per-005/A/JA/03/2014  Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.

   Bebarapa pedoman tersebut, ditujukan untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana melalui penerapan asas keadilan restorative justice khususnya dalam bentuk  perkara tindak pidana ringan, tindak pidana perempuan  yang berhadapan dengan hukum, perkara anak dan perkara penyalahgunaan Narkotika, sementara tindak pidana pencemaran nama baik dan/atau penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1),(2) dan (3) KUHP belum ada pengaturannya sehingga dapat diselesaikan melalui penerapapan asas keadilan “restoratives Justice” di dalam proses Peradilan.

        Namun demikian, penyelesaian perkara-perkara pidana terkait pencemaran nama baik/penghinaan masih berpeluang diselesaikan melalui penerapan asas keadilan Restorative Justice jika hal ini merujuk pada SKB tentang Pedoman implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang menyatakan bahwa “ bukan sebuah delik pidana jika kontennya berupa hasil penilaian, pendapat, hasil evaluasi dan sebuah kenyataan”, ketentuan ini tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 ayat (3) KUHP, pada intinya pasal tersebut merupakan pengecualian dari ketentuan Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, bahwa “ perbuatan-perbuatan di dalam ayat (1) dan (2) tidak dapat dihukum apabila tuduhan itu dilakukan; (1) Demi kepentingan Umum, dan (2) untuk pembelaan diri. Namun, untuk menguji kebenaran bahwa tindakan yang diduga sebagai perbuatan pencemaran nama  baik tersebut yang niatnya semata-mata ditujukan untuk membela kepentingan umum atau untuk membela diri maka harus dapat dibuktikan. Oleh karena itu, diperlukan kejelian dan kemampuan aparat penegak hukum terutama oleh hakim yang memilik kewenangan melakukan pemeriksaan melalui proses persidangan yang terbuka untuk umum, guna mengungkap kebenaran objektivitas atas niat seseorang berdasarkan data-data yang ada. Hal ini, selaras dengan komitmen Kapolri yang akan mengedepankan pengunaan asas restoratives justice dalam menangani kasus-kasus tindak pidana UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016 berdasarkan surat edaran Kapolri tertanggal 19 Februari 2021, yang salah satunya meminta kepada seluruh Penyidik memiliki pemahaman dan mengedepankan prinsip asas restoratives justice bagi penanganan perkara pidana yang diatur di dalam UU ITE.

    Berdasarkan uraian tersebut, diharapkan agar setiap tindakan-tindakan yang terkait dengan perbutan melawan hukum pencemaran nama baik  dapat ditangani  melalui penilaian yang cukup ketat mengunakan pendekatan yang memberikan perlindungan kepada para pihak, meminimalisir pengunaan pemidanaan badan/penjara. Oleh karena itu, perlu memperkuat kemampuan penegak hukum dalam melakukan penilaian terhadap berbagai kasus-kasus tindak pidana secara objektif, melihat permasalahan tersebut dalam berbagai dimensi sehingga diharapkan upaya penegakan hukumnya tidak berbenturan dengan permasalahan hak asasi manusia khususnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi baik melalui media eletronik dan/atau cetak, dan tetap terus mendorong upaya revisi terhadap beberapa Pasal di dalam UU ITE agar dapat berperspektif hak asasi manusia. (rda)

 

           



[1] Mudzakkir, “Aspek Hukum Pidana Pasal 27 ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 Tentang ITE, makalah disampaikan pada sosialisasi UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE yang diselengarakan oleh Ditjend Aplikasi Telekomunikasi Departemen  Komunikasi dan Informatika bekerjasama dengan FHUII, Yogyakarta, tanggal 7 Desember 2009,hlm.9

[2] Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung, Citra Aditya Bakti,1994,hlm 136

[3] SKB Nomor : 229/2021, Nomor : 154/2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 Tentang Pedoman Implementasi  atas Pasal  tertentu di dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah  dengan UU No. 19 tahun 2016, yang telah ditandatangani pada 23 Juni 2021

[4] www.badilum.mahkamahagung.go.id,”Aspek Hukum Pencemaran Nama Baik melalui “Facebook”, dikunjungi pada 2 Oktober 2021

[5] ibid, hlm.1, dikunjungi pada 24 September 2021;

[6] http://internasional.kompas.com/read/2017,”Kekurangan penjahat di Belanda ditutup sejak 2014”, diakses pada September 2021;

[7] ibid, hlm 3;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar