Kamis, 28 Oktober 2021

Optimalisasi Kewenangan Komnas HAM dalam Penyelesaian Sengketa Pemenuhan Hak atas Air Melalui Pemberian Amicus Curiae di Pengadilan (Tinjauan kasus Sengketa Pemenuhan Hak atas Air bersih Bagi Warga di Perumahan Sentul City)

   

A.        Penanganan Kasus sengketa pemenuhan hak atas air warga Sentul City melalui Amicus Curiae Komnas HAM

Komnas HAM sebagai lembaga negara yang mandiri, diberikan beberapa kewenangan di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, salah satunya “memberikan  pendapat” berdasarkan persetujuan ketua pengadilan atas suatu perkara yang sedang diperiksa, hal ini sesuai bunyi ketentuan Pasal 89 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam ketentuan Pasal tersebut juga memberikan batasan bahwa “…bilamana terhadap perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam ranah  masalah publik dan acara pemeriksaan oleh Pengadilan yang kemudian pendapat Komna HAM tersebut wajib diberitahukan oleh Hakim kepada para pihak” merujuk pada ketentuan Pasal tersebut pada alenia terakhir jelas menunjukkan bahwa kasu-kasus yang dapat diberikan pendapat Komnas HAM merupakan kasus-kasus yang berada di ranah masalah publik oleh karena itu ada beberapa pembatasan. 
Berdasarkan terminologi, kewenangan Komnas HAM dalam memberikan pendapat HAM sebagaimana diatur di dalam Pasal 89 ayat (3) huruf h sama halnya dengan istilah pemberian “ amicus curiae”. Amicus Curiae dikenal dengan istilah Friend of the Court, yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus yang mungkin ataupun mungkin tidak diminta oleh salah satu pihak dan membantu Pengadu dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang memiliki kepentingan, perhatian dalam kasus-kasus tersebut dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Kemudian, pengadilan mempunyai kebebasan apakah akan mempertimbangkan atau tidak amicus brief tersebut di dalam pertimbangan  putusannya.
       Keberadaan amicus brief  juga relevan terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa “Hakim berkewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat”. Dengan demikian, hakim harus melihat berbagai pendangan terhadap satu kasus yang sedang ia periksa sehingga keputusan yang diambil sedapatnya bisa memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, selain itu hakim diharapkan bisa memahami masalah-masalah yang sedang ia periksa, salah satunya kasus-kasus yang berimplikasi terhadap masalah hak asasi manusia. 
        Pada praktiknya, Komna HAM telah memberikan amicus curiae terhadap beberapa kasus-kasus yang sedang ditangani, sebagian besar amicus brief diberikan berdasarkan permohonan dari Pengadu/korban, dan beberapa amicus brief yang telah disampaikan dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim dalam memutuskan perkara di Pengadilan, salah satunya di dalam pemeriksaan sengketa hak atas air antara warga di Perumahan Sentul City, Bogor dengan Perusahaan Perumda Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor.
       Kasus berawal pada 2017 Komnas HAM menerima pengaduan dari warga perumahan di Sentul City, Warga melaporkan terkait diputusnya jaringan air bersih ke masing-masing rumah warga oleh perusahaan pengembang PT. Sentul City. Kasus ini bermula dari adanya gugatan warga terhadap PT Sentul City yang telah membebankan biaya tarif BPPL kepada warga di Perumahan Sentul City. Gugatan diajukan melalui Pengadilan Negeri Cibinong Nomor :285/Pdt.G/2016/PN.Cbi, tanggal 10 Agustus 2017. Pada pokoknya warga menilai bahwa penarikan tarif BPPL oleh perusahaan merupakan bentuk komersialisasi sumber daya air sementara hak atas air merupakan hak asasi manusia yang wajib disediakan oleh negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
         Meskipun warga dengan perusahaan telah membuat perjanjian terkait penyediaan air minum di kawasan perumahan warga namun salah satu kalusul perjanjian tersebut dinyatakan cacat sejak lahirnya (adanya unsur sebab causa yang tidak halal) maka perjanjian dianggap telah batal demi hukum karena perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu, dalam putusannya majelis hakim di tingkat kasasi membatalkan perjanjian tersebut khususnya terkait klausul tentang “kewajiban warga untuk membayar tagihan BPPL”. Majelis Hakim menilai bahwa pengenaan tarif BPPL oleh perusahaan merupakan perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaad) karena sebagai bentuk komersialisasi di bidang perairan, oleh karena itu warga tidak mempunyai kewajiban untuk melunasi sisa pembayaran tagihan BPPL kepada perusahaan. Hal ini berdasarkan keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan putusan  Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor: 727/PK/PDT/2020, tanggal 29 September 2020, jo. Nomor: 3415K/Pdt/2018, tanggal 21 Desember 2018.   
      Selain mengajukan gugatan perdata, Perwakilan warga juga melakukan gugatan terhadap Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yakni Keputusan Bupati Bogor Nomor :693/090/00001/DPMTPSP/2017, tertanggal 1 Maret 2017 tentang Pemberian Izin Penyelengaraan Sistem Penyediaan Air Minum Kepada PT Sentul City,Tbk di beberapa wilayah di Kabupaten Bogor termasuk di kawasan perumahan warga di Sentul City. Pada 2019, di tingkat kasasi gugatan tersebut dikabulkan oleh majelis hakim Tata Usaha Negara berdasarkan keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Nomor : 463/K/TUN/2018, tanggal 11 Oktober 2018 kemudian dikuatkan kembali dalam Keputusan Peninjaun Kembali Nomor : 104 PK/TUN/2019, tanggal 22 Oktober 2019 yang intinya meminta Bupati Bogor membatalkan  surat keputusan yang memberikan kewenangan kepada PT.Sentul City, Tbk menyelengarakan penyediaan air minum di kawasan perumahan warga.          
        Menindaklanjuti kedua keputusan TUN tersebut, Bupati Bogor menerbitkan Keputusan Bupati Bogor Nomor : 693/309/Kpts/Per-UU/2019, tanggal 1 Agustus 2019, menggantikan Keputusan Bupati Bogor Nomor :693/090/00001/DPMTPSP/2017, tertanggal 1 Maret 2017 tentang penunjukkan Perumda Air Minum Tirta Kahuripan Bogor agar mengambil alih pengelolaan penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kawasan Perumahan Sentul City, diantaranya melakukan penyambungan jaringan/saluran air bersih ke perumahan warga dan mendaftarkan masing-masing warga sebagai pelanggan tetap Perumda. Namun implementasinya tidak sesuai dengan mandat yang telah ditetapkan di dalam surat keputusan tersebut. Pihak Perumda bersikukuh bahwa warga di Perumahan Sentul City masih mempunyai hutang kepada Perusahaan Pengembang berupa tungakan pembayaran biaya BPPL, oleh karena itu pihak Perumda belum bisa melakukan penyambungan saluran air minum ke masing-masing perumahan warga di Sentul City sampai warga melunasi semua tagihan BPPL kepada perusahaan pengembang.
         Sikap Perumda yang menolak permohonan warga agar perusahaan melakukan penyambungan kembali salurah air ke perumahan warga dinilai sebagai bentuk tindakan Perumda yang tidak taat/mengabaikan kewajibannya untuk melaksanakan Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yakni Surat Bupati Bogor Nomor : 693/309/Kpts/Per-UU/2019, tanggal 1 Agustus 2019. Menyikapi hal ini, pada 19 Maret 2021, 20 (dua puluh ) orang warga perumahan Sentul City mengajukan gugatan Tata Usaha Negara terhadap Perusahaan Umum Daerah Air Minum (Perumda Air Minum) Titra Kahuripan Kabupaten Bogor berdasarkan register perkara Nomor : 28/GKF/2021/PTUN.Bandung. Dalam gugatannya warga menilai bahwa Perumda telah melakukan perbuatan melawan hukum atas keputusan pejabat Tata Usaha Negara.  
      Dalam proses hukumnya di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, Komnas HAM sesuai kewenangannya memberikan pandangan atas permasalahan ini berdasarkan perspektif hak asasi manusia (amicus Curiae), adapun pokok-pokok yang menjadi pendapat Komnas HAM, sebagai berikut :
 
  1. Perusanaan Umum Daerah Air Minum (Perumda Air Minum) Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor merupakan bagian dari Pemerintah Kabupaten Bogor, yang statusnya berbentuk Badan Usaha Milik Daerah. Hal ini, karena Perumda Air Minum Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor dibentuk oleh  Pemerintah Kabupaten Bogor yang modalnya seluruh atau sebagian dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Bogor serta memiliki tugas menyelenggarakan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) bagi masyarakat di Kabupaten Bogor. Tugas tersebut merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bogor Nomor: 5 Tahun 2020 tentang Perusahaan Umum Daerah Air Minum Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor. Perda tersebut merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 122/2015 khususnya Pasal 36 ayat (1) yang menyatakan bahwa “penyelenggaraan SPAM merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan/atau Pemda” kemudian ayat (2) menyatakan bahwa “dalam rangka melaksanakan penyelengaraan SPAM sebagaimana pada ayat (1) dibentuk BUMN/BUMD oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah”. Khusus, penyelenggaraan SPAM di perumahan warga di kawasan Sentul City merujuk pada Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 693/309/Kpts/Per-UU/2019. Dengan demikian, Perumda Air Minum Tirta Kahuripan dikategorikan sebagai Badan Administrasi Pemerintahan yang melaksanakan sebagian fungsi pemerintahan Kabupaten Bogor yakni menyelenggarakan penyediaan dan pelayanan air minum  bagi warga di Kabupaten Bogor;

2.    Tindakan Perumda Air Minum Tirta Kahuripan yang belum melakukan penyambungan aliran air minum ke masing-masing perumahan warga dengan alasan “warga belum melunasi tagihan BPPL kepada pengembang PT Sentul City, Tbk”, merupakan alasan yang tidak mendasar. Hal ini, karena permasalahan tagihan hutang BPPL merupaan masalah keperdataan antara warga perumahan Sentul City dengan pengembang PT Sentul City. Oleh karena itu, Perumda harus tetap melaksanakan Surat Keputusan Bupati Bogor yang menugaskan Perumda mengambil alih penyediaan air minum bagi warga di Perumahan Sentul City namun hal tersebut tidak dilaksanakan. Menyikapi hal ini, Komnas HAM menilai Perumda Tirta Kahuripan sebagai bagian dari pemerintah tidak menerapkan asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik  dalam menyelenggarakan manajemen badan usahanya. Terutama, pada aspek kewajiban pemerintah untuk menerapkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (Good Governance), diantaranya : “asas kemanfaatan, keterbukaan, tidakberpihakan, kepentingan umum dan pelayanan yang baik” sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan;

3.    Berdasarkan “asas kepentingan umum” menekankan kewajiban kepada pemerintah agar dapat menerapkan tata kelola pemerintahan yang berbasis pada sikap untuk mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum, diantaranya adalah pelayanan bagi penyediaan air bersih. Penerapan asas ini, untuk menjamin tercapainya peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh melalui pelayanan yang baik. Pelayanan yang baik dari pemerintahan dengan menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance), pada hakikatnya, juga  berkorelasi dengan prinsip-prinsip HAM. Dengan demikian, sikap PerumDAM Tirta Kahuripan yang menolak permohonan warga untuk menyambungkan saluran air ke masing-masing rumah warga, maka tindakan Perum DAM tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia, khususnya tidak melindungi dan memenuhi hak-hak warga untuk memperoleh air bersih, hak atas air merupakan bagian dari hak yang dilindungi di dalam UU Nomor 39/1999 Tetang HAM;

4.    Berdasarkan perspektif HAM, hak atas air merupakan hak hidup bagi setiap manusia. Hak atas air bersih merupakan hak dasar, hak manusia untuk mempertahankan hidupnya dan meningkatkan kualitas hidup. Jaminan perlindungan hak tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 40 UU Nomor 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 11 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyatakan bahwa “Kovenan mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara pihak harus mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin terpenuhinya hak ini”. Berdasarkan bunyi ketentuan pasal tersebut, kovenan menekankan adanya pengakuan dan jaminan dari negara-negara untuk mengakui dan menjamin hak-hak yang mendasar bagi pemenuhan hidup dan keberlangsungan hidup warga, termasuk pemenuhan “hak atas air yang bersih”.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka Komnas HAM meminta kepada Majelis Hakim diantaranya :

1.    Memastikan agar hak asasi manusia (HAM) warga yang tinggal di kawasan Sentul City mendapatkan keadilan dan tidak terlanggar hak asasinya atas air bersih karena hak tersebut telah dijamin dalam Konstitusi, terutama Pasal 28 huruf H ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 juncto Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 40 UU Nomor 39/1999 Tentang HAM juncto Pasal 11 dan Pasal 12 UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;

2.   Memerintahkan kepada Perusahaan Umum Daerah Air Minum Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor untuk menyelenggarakan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di kawasan Sentul City sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan sebagai wujud penerapan asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik.
 
Pendapat Komnas HAM terhadap permasalahan ini, telah disampaikan kepada Ketua Majelis hakim yang memeriksa perkara gugatan tata usaha negara Nomor: 28/G/TF/2021, tanggal 19 Maret 2021 melalui surat Komnas HAM Nomor : 502/AC-PMT/VII/2021, tanggal 19 Juli 2021. Kemudian, di dalam keputusannya majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung menerima gugatan warga selaku Pengugat berdasarkan Putusan Nomor 28/G/TF/2021/PTUN Bdg, tanggal 12 Agustus 2021. Di dalam pertimbangan hukumnya, Majelis hakim menerima beberapa pandangan Komnas HAM RI diantaranya terkait “pentingnya negara bertanggung jawab dalam hal ini Perumda Tirta Kahuripan Bogor untuk menjamin pemenuhan hak atas air warga sebagai bagian hak asasi manusia” Oleh karena itu, Majelis Hakim memerintahkan kepada Perumda Air Minum Titra Kahuripan Kabupaten Bogor (Tergugat) untuk segera menyelenggarakan Sistem Penyediaan Air minum kepada warga sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku serta menerapkan asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik.
Namun dalam pelaksanaanya, keputusan tersebut belum bisa dilaksanakan, hal ini karena Perumda Air Minum sedang mengajukan upaya hukum banding. Sikap Perumda yang belum melaksanakan keputusan pengadilan tersebut jelas menimbulkan permasalahan baru, khususnya terkait jaminan perlindungan hak warga untuk segera memperoleh air minum yang bersih dan sehat. Berdasarkan konstitusi, hak atas air merupakan hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya dalam keadaan dan kondisi apapun (non-derogable rights) karena hak atas air merupakan bagian dari Hak untuk Hidup dan mempertahankan hidup manusia. Syarat mutlak sehingga hak ini tidak dapat dikesampingkan bagi pemenuhannya diatur di dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dan  Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 39/1999 Tentang HAM. Dengan demikian, segala bentuk penundaan atas pelaksanaan perintah pengadilan tersebut dapat dikategorikan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh Perumda Tirta Kahuripan Bogor.
B.  Kendala Dalam Penanganan Kasus

Pada praktiknya, tidak semua rekomendasi Komnas HAM dapat dilaksanakan secara maksimal oleh pihak-pihak yang diberikan rekomendasi, termasuk rekomendasi yang disampaikan melalui pemeriksaan di Pengadilan yakni Amicus Curriae, meskipun Pendapat Komnas HAM tersebut telah dilembagakan di dalam Keputusan Pengadilan  namun pada praktiknya tidak cukup efektif jika pihak yang wajib melaksanakan keputusan tersebut tidak menindaklanjutinya karena alasan masih menempuh upaya hukum selanjutnya. Sama halnya dengan apa yang terjadi di dalam penanganan sengketa pemenuhan ha katas air minum antra warga di perumahan Sentul City dengan Perumda Air Minum Tirta Kahuripan. Mesikpun telah ada putusan Pengadilan  Tata Usaha Negara yang memerintahkan Perumda agar melaksanakan penyelengaraan sistem air minum bagi warga di Perumahan Sentul City namun perusahaan selaku tergugat belum melaksanakan perintah pengadilan tersebut karena pihak perusahaan sedang mengajukan upaya banding. Sementara, jika kita mengacu pada prinsip-prinsip perlindungan HAM menekankan bahwa hak atas air minum merupakan bagian dari hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya dalam kondisi dan keadaan apapun. Dengan demikian, penyambungan sistem air dan penyelenggaraan penyediaan air minum bagi warga merupan kondisi yang harus segera dipenuhi/dilaksanakan meskipun perusahaan sedang mengajukan upaya hukum selanjutnya. Dari kondisi tersebut maka jelaslah bahwa pemahaman Perumda selaku penyelenggara sebagian tugas negara di bidang air minum belum memahami mengenai tugas dan tanggung jawabnya sebagi pemangku kewajiban (duty barrier) dalam perlindungan dan pemenuhan ham. 
Kondisi tersebut, tentu menimbulkan kendala bagi pemajuan dan penegakan hak asasi manusia meskipun Komnas HAM sebagai lembaga negara yang bekerja berdasarkan undang-undang telah melaksanakan berbagai kewenangannya, diantaranya : pemberian amicus curiae namun pelaksanaannya tidak berdampak bagi upaya pemulihan hak-hak korban. Pada praktinya, tidak semua pihak-pihak yang diberikan rekomendasi melalui amicus curiae bisa langsung merubah kebijakannya meskipun pendapat Komnas HAM tersebut telah dilembagakan ke dalam putusan  Pengadilan. Oleh karena itu, penting bagi Komnas HAM untuk memastikan adanya tindak lanjut atas rekomendasi dan memastikan efektifitas dari amicus curiea yang telah diberikan melalui putusan hukum.

C.    Strategi guna mengatasi kendala-kendala dalam penanganan kasus

      Minimnya pemahaman dan komitmen negara khususnya oleh Badan Usaha Milik Negara dalam perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, hal ini masih menjadi permasalahan umum. Salah satunya, kasus sengketa hak atas air yang sedang ditangani komnas ham. Meskipun langkah penanganan telah dilakukan secara maksimal, namun  tidak akan menimbulkan dampak dan perubahan apapun bagi pemulihan hak-hak korban, jika tujuan yang hendak dicapai tidak mendapat dukungan dari pihak yang direkomendasikan. Kondisi ini menjadi salah satu kendala tersendiri, karena indikator adanya perubahan paradigma bagi upaya pemulihan (remedy) merupakan hal yang penting dilakukan. Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan agar setiap rekomendasi termasuk amicus curiae yang telah dikeluarkan sedapatnya dapat memberikan dampak yang signifikan bagi pemulihan hak-hak korban pelanggaran ham. Salah satunya. di dalam penanganan kasus sengketa pemenuhan hak atas air minum antara warga di perumahan Sentul City Bogor dengan Perumda Air Minum Tirta Kahuripan.
Dalam penanganan kasusnya, Komnas HAM telah melakukan upaya penyelesaian diantaranya memberikan amicus curiae melalui proses pemeriksaan di Pengadilan TUN Bandung. Di dalam putusannya, hakim memerintahkan Perumda Tirta Kahuripan Bagor agar melakukan penyambungan aliran air minum ke perumahan warga namun pihak perusahaan belum melaksanakan perintah pengadilan tersebut karena masih melakukan upaya hukum banding. Namun, mengingat kasus ini terkait pemenuhan hak hidup manusia yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya, serta demi efektifitas penanganan kasus maka dinilai penting untuk melakukan monitoring terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang di dalamnya telah mengadopsi beberapa pandangan Komnas HAM. Optimalisasi penanganan yang telah dilakukan melalui pemberian amicus curiae ini penting dilakukan agar adanya perbaikan dan pemulihan terhadap hak-hak warga/korban yang dilanggar hak asasinya. Untuk itu, Komnas HAM telah memberikan rekomendasi kembali kepada terlapor/tergugat agar mereka melaksanakan keputusan Pengadilan Nomor 28/G/TF/2021/PTUN Bdg, tanggal 12 Agustus 2021 bagi upaya pemulihan dan perbaikan kondisi warga.(rda)