Senin, 29 Juni 2020

Keterkaitan Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Cipta dan HAM




Kesadaran masyarakat internasional mengenai pentingnya perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual di bidang Cipta  (Intellectual Property Rights)  mulai muncul pada abad 20 puluh, salah satunya ditandai melalui  pengesahan Konvensi Berne dan Konvensi WIPO pada 1967. Sejak saat itu, masyarakat internasional menyadari  bahwa karya intelektual di bidang cipta dapat membawa perubahan terhadap peradaban, kemajuan dan pembangunan perekonomian melalui perwujudan ide-ide kreatif manusia yang terpublikasikan. Alasan lain, pentingnya perlindungan tehadap karya intelektual seseorang juga tidak terlepas pada fakta atas potensi resiko yang dapat muncul terhadap keberadaan karya intelektual tersebut, seperti : tindakan plagiarisme, pembajakan dan berbagai tindakan merugikan lainnya yang semakin marak terjadi. Karya intelektual di bidang Cipta lebih banyak bergerak di ranah seni, ilmu pengetahuan/karya sastra/tulisan  (Pasal 1 angka 1 UU No. 28/2014). Karya Intelektual di bidang cipta merupakan  peruwujudan dari proses kerja keras baik seseorang/beberapa orang yang bertumpu pada kekuata berpikir, rasa dan pengalaman yang dituangkan dalam suatu bentuk yang khas dan khusus sehingga dapat dilihat/dinikmati dan bersifat eksklusif ( Pasal 1 angka (1) s.d (3) Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 28/2014). Karya Intelektual di bidang Cipta merupakan salah satu bagian dari rumpun kekakyaan intelektual disamping Hak Merek, Hak Paten, Disain Industri, Inidikasi Geografis dan rumpun HAKI lainnya.
Wujud dari karya intelektual khususnya di bidang Cipta mengandung nilai estetika kemudian nilai inilah yang dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Nilai tersebut kemudian menghasilkan dua rumpun turunan hak,  yakni; hak ekonomi dan hak moral. Kedua hak inilah yang melekat pada  diri seorang pengkarya atas keryanya. Hak yang melekat atas sebuah karya intelektual, seperti hak ekonomi dan hak moral tersebut baru muncul sejak karya tersebut dilahirkan dalam bentuk  khas, dan diumumkan. Seseorang yang telah menghasilkan karya intelektual kemudian mengumumkannya maka ia memiliki hak eksklusif atas karya tersebut. Hak eksklusif inilah yang memberikan perlindungan bahwa ia dan karyanya akan tetap melekat dalam satu kesatuan, baik sebagai economic rights dan moral rights. Berdasarkan  Pasal 8 UUHC, Hak ekonomi adalah "hak pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas karya ciptanya,...", kemudian di dalam Pasal 5 UUHC menyatakan bahwa “hak moral adalah hak yang akan terus melekat pada diri  seorang Pengkarya” dalam artian, namanya akan terus melekat pada karyanya meskipun beberapa tahun kemudian karya tersebut beralih/diperalihkan kepada pihak lain maupun karena peruntukan lainnya, termasuk jika karya intelektual tersebut sudah menjadi malik umum (public domain). Jadi, hak ekonomi dan hak moral merupakan rumpun hak-hak terkait, yang muncul akibat adanya hak eksklusif tersebut.
Pentingnya, perlindungan atas sebuah karya seni,dan/atau sastra mengingat karya intelektual tersebut memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi, khususnya di bidang property intellectual  rights. Pandangan tersebut semakin berkembang khususnya di negara-negara penganut faham kapitalis, negara-negara yang menonjolkan privacy intrest. Hak intelektual seseorang bisa dikategorikan sebagai intelectual property seperti halnya aset dimana hak ini bersifat privat (pribadi). Oleh karna itu, mengapa setiap orang sebagai pengguna atas sebuah karya intelektual milik orang lain ketika ia akan menggunakan karya tersebut maka terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan dari orang yang memiliki hak eksklusif atas karya tersebut, terutama untuk kegiatan yang bersifat komersil. Kemudian dari itu muncullah istilah royalty atau semacam konsesi yang akan diperoleh oleh Pengkarya.
Perlindungan hukum terhadap karya intelektual seseorang sampai saat ini terus berkembang melalui berbagai perubahan dan penyesuaian perundang-undangan terkait, peraturan hukum yang bersumber dari berbagai instrument hukum internasional kemudian diwujudkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional. Indonesia sebagai salah satu negara anggota WIPO dan TRIPs telah meratifikasi Konvensi terkait Intellectual Property protection melalui UU No. 19/2002 kemudian diubah dengan UU No. 28/2014 dan beberapa ketentuan Perundang-undangan terkait lainnya di bidangan kekayaan intelektual.
Berbicara mengenai hak, maka tema  Hak  Kekayaan Intelektual secara tidak langsung juga bersinggungan dengan permasalahan Hak Asasi Manusia, hal ini erat kaitannya dengan makna harfiah yang terkandung di dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39/1999 yang menyatakan bahwa “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha  Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Eksistensi perlindungan HKI di dalam UU HAM dapat dilihat dari sudut pandang mengenai hak seseorang atas karya intelektualnya yang bersifat khas yang dihasilkan melalui proses kerja intelektual, kemudian dari karya tersebut ia (Pengkarya) dapat mandatangkan manfaat ekonomi  dan bahkan memberikan lapangan pekerjaan minimal bagi dirinya sendiri. Pemikiran ini relevan kiranya, jika kita hubungkan dengan ketentuan di dalam Pasal 12 UU No. 39/1999 yang menyatakan, bahwa " setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia, beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan Hak Asasi Manusia”. Kemudian, Pasal 13 UUHAM menyatakan bahwa, "setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia". Makna dari kedua pasal tersebut, bisa ditafsirkan bahwa hak kekayaan intelektual merupakan bagian dari rumpun hak yang mendapat perlindungan dari HAM berdasarkan UU No. 39/1999 tentang HAM oleh karena itu, menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi dan menghormati atas eksistensi hak tersebut.
Hak moral dan hak ekonomi yang timbul atas karya intelektual seseorang, sepanjang telah dituangkan dalam bentuk yang khas, maka dari berbagai unsur-unsur yang ada dalam setiap hasil kekayaan intelektual seseorang dapat mendatangkan manfaat yang cukup luas. Oleh karena itu, karya Kekayaan Intelektual menjadi relevan  untuk mendapat perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip HAM. Pendapat ini, dilatarbelakangi pada pemikiran mengenai adanya tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan terhadap hak–hak warga negaranya, termasuk penghargaan/penghormatan terhadap setiap kreativitas intelektual seseorang/sekelompok orang baik di bidang seni dan ilmu pengetahuan terutama  bagi hasil-hasil kreativitas intelektual yang bernilai ekonomi dan positif bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan baik dalam tataran nasional maupun internasional, termasuk pembangunan ekonomi nasional karena dapat memberikan sumber penghidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Berbagai undang-undang di bidang kekayaan intelektual memberikan perlindungan bagi setiap orang yang telah bekerja keras melalui proses kerja intelektualnya baik di bidang kesenian, sastra dan ilmu pengetahuan kemudian dituangkan ke dalam bentuk yang khas, original dan konkrit, sehingga karya tersebut menunjukkan hasil proses kerja pemikiran/intelektualnya sebagai salah satu wujud proses pengembangan dirinya sebagai seorang manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki berbagai potensi intelektual (giveted). Melalui kekuatan akal pikiran dan kerja intelektual yang berkelanjutan serta konsisten sehingga mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, kesenian dan kebudayaan. Guna mendukung pemahaman mengenai hak ekslusif seseorang di bidang karya seni sebagaimana yang diatur dalam UU Hak Cipta. Hal ini menawarkan catatan penting bahwa UU Hak Cipta juga mengatur kapan sebuah karya intelektual baru mendapatkan perlindungan hukum, yakni saat karya tersebut dituangkan ke dalam bentuk yang khas, asli kemudian diumumkan. Oleh karena itu, jika karya tersebut masih di dalam pemikiran/konsep-konsep  maka Intellectual property rights belum dianggap ada karena belum menunjukkan asas kemanfaatann dan belum dapat dilihat secara nyata.
Hak Ekslusif pengkarya yang melekat pada karya ciptanya bukan pula selalu diartikan bahwa setiap penggunaan/pemanfaatan karya cipta dari seorang/pengkarya harus melalui izin/ atau harus melalui suatu pembayaran/royalti. Penggunaan karya cipta untuk tujuan non-komersil terbuka peluang untuk dapat dimanfaatkan oleh pihak lain/publik tanpa harus melalui pembayaran/kompensasi. Namun pengunaan karya intelektual seseorang harus tetap mencantumkan namanya sebagai pengkarya. Disinilah fungsi  sosial yang ada di dalam sebuah karya intelektual di bidang Cipta dan inilah salah satu yang membedakan Hak Cipta dengan hak kekayaan intelektual yang lain. Oleh karena itu, , melalui fungsi sosial yang ada di dalam Hak Cipta ini maka sifat hak ekslusif pengkarya di bidang cipta mengandung keseimbangan, disamping adanya fungsi ekonomi juga ada fungsi sosial. Hak Cipta juga mengandung unsur kemanfaatan untuk tujuan sosial. Oleh karena itu, seorang pengkarya untuk kepentingan sosial harus dapat mengurangi hak esklusifitasnya bila pengunaan karya intelektualnya untuk tujuan-tujuan kepentingan umum non-provit seperti pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya.
Hal menarik lainnya, bahwa Undang-Undang Hak Cipta sendiri tidak memberikan batasan terkait penggunaan atas suatu karya intelektual untuk tujuan non-komersil asalkan nama pengkarya dimuat  di dalam karyanya. Pencantuman nama tersebut pada hakikatnya, untuk mencegah timbulnya praktik-praktik penjiplakan dari pihak lain yang tidak bertanggung jawab/plagiarisme. Pencantuman nama seseorang pada karyanya, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak moral pengkarya. Karena, sejak karya intelektual tersebut dilahirkan dan diumumkan maka sejak saat itu seorang sebagai pengkarya dilindungi oleh hukum baik secara otomatis maupun melalui pendaftaran hak yang dipersyaratkan menurut undang-undang. Negara wajib melindungi hak-hak seseorang atas karyanya, dan ini akan terus melekat dimanapun karyanya berada. Oleh karena itu, setiap pemanfaatan suatu karya cipta/intelektual di bidang Cipta tidak akan berakibat hukum apapun, jika pihak lain yang memanfaatkan karya seseorang  tidak untuk tujuan  komersil. Namun ia wajib mencantumkan nama Pengkarya di dalam karyanya, hal ini sebagai bentuk peghormatan dan pengakuan terhadap hak eksklusif/moral  dari orang yang telah membuat dan menghasilnya karya tersebut mengingat karya tersebut telah dilindungi dalam UU Hak Cipta dan UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.(rda-2020)

MENGINTEGRASIKAN PRINSIP-PRINSIP HAM KEDALAM KERANGKA TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (SDGs)

       





Pembangunan merupakan bagian perwujutan tanggung jawab negara terhadap warga negaranya, dalam bentuk pencapaian peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat oleh karena itu pembangunan merupakan bagian pemenuhan HAM oleh negara (duty barrier) terhadap warga negaranya (Rights Holders),oleh karena itu pembangunan harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan dan pemenuhan HAM. Pemikiran tersebut dapat diartikan bahwa pembangunan itu bukan hanya dalam arti pemenuhan HAM namun tak kalah penting lainnya adalah bagaimana setiap tahap pembangunan itu memperhatikan perlindungan terhadap HAM  (how to protect) kårena pemenuhan dan perlindungan HAM merupakan element utama sebagai tanggung jawab negara dan berdampak secara langsung terhadap kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan itu maka United Nation (UN)/PBB dalam kerangka kerjanya  yang termaktub di dalam Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip etika yang berhubungan dengan perubahan Iklim) atau yang dikenal dengan Declaration of Ethical Principles in Relatian to Climate Change (2017)  tepatnya pada General Provisons di dalam articel 5 pada huruf a tentang Pembangunan Yang berkelanjutan. Dalam ketentuan ini PBB menawarkan konsep tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam kerangka Hak Asasi Manusia atau yang dikenal dengan “Sustainable Development Goals and Human Rights” bagi negara-negara. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa guna menjamin bahwa generasi saat ini dan pada masa mendatang dapat memenuhi segala kebutuhan mereka , ini menjadi hal yang dinilai penting bahwa bagi setiap negara dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan beberapa hal diantaranya:
      “Meyampaikan dan melaksanakan agenda PBB sampai pada tahun 2030 mengenai pembangunan yang berkelanjutan dan tujuan pembangunan yang berkelanjutan, khususnya pembangunan yang mengadopsi pada konsep yang secara efesien melalui pembangunan yang menekanakan pada pengurangan dampak perubahan iklim dan pengurangan dampak emisi rumah kaca.."
Deklarasi tersebut merupakan konsep pembangunan yang menepatkan prinsip-prinsip HAM sebagai titik pusatnya, dan pada akhirnya  konsep pembangunan ini diharapkan dapat diterapkan sebagai agenda pembangunan sampai tahun 2030. Oleh karna itu, proses pembangunan sampai pada tahun 2030 akan menempatkan isu HAM sebagai indikator utama dalam pencapaian pembangunan. Konsep SDGs yang berdimensi HAM ini mengunakan instrument-instrumen HAM internasional sebagai payung hukumnya dimulai dari Deklarasi DUHAM 1948, Konvensi Internasional tentang EKOSOB dan Konvensi Internasional tentang SIPOL, yang kemudian instrument-instrumen tersebut dijadikan  bahan indikator bagi pemenuhan HAM dikaitkan pada 9 (Sembilan) tujuan pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana telah dimuat dalam Panduan Teknis Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjuta (RANPTB) yang diterbitkan oleh BAPPENAS, dari beberapa instrument hukum-HAM yang dijadikan sebagai landasan hukum dalam mengintegrasikan prinisip-prinsip HAM ke dalam rencanan pembangunan (yang berkelanjutan tersebut), masih terdapat hukum nasional yang khusus mengatur tentang perlindunga, pemenuhan dan penghormatan HAM itu sendiri yakni UUD 1945 amandemen ke IV dan UU No. 39/1999 tentang HAM, kedua instrument ini perlu menjadi landasan hukum dalam penyusunan RANPTB oleh pemerintah sebagai pelaksana negara dalam melakukan pembangunan.
Dalam RANPTB-Bappenas telah ditetapkan beberapa target oleh pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Adapun 9 (Sembilan) sektor tujuan pembangunan tersebut adalah (1) Penghapusan kemiskinan, (2) Penghapusan kelaparan (3) Kesehatan dan Kesehjahteraan,(4) pendidikan yang berkualitas, (5) kesetaraan gender, (6) ketersediaan air bersih dan sanitasi (7) pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, (8) penurunan kesenjangan dan (9) perdamaian,keadilan dan kelembagaan yang kuat. Delapan tujuan tersebut dalam konsep tujuan pembangunan yang berkelanjutan merupakan sasaran yang akan dicapai sabagai salah satu bentuk perwujutan pemenuhan HAM.
Namun dari kesembilan tujuan pembangunan yang berbasis pada dampak pemenuhan HAM tersebut menunjukkan bahwa kelompok kerja HAM perwakilan PBB di Indonesia dan pemerintah, masih belum menyentuh pentingnya isu penguasaan dan penatagunaan tanah untuk dijadikan satu point perhatian yang penting dimasukkan kedalam salah satu sektor tujuan pembangunan. Seperti berbagai masalah pengadaan tanah untuk pembangunan di Indonesia baik secara langsung maupun tidak lagsung akan berdampak pada kelanjutan pembangunan. Pembangunan sudah tentu membutuhkan pengadaan tanah, sementara dengan maraknya pembangunan itu sendiri, masalah pengadaan tanah pada dimensi yang berbeda menjadi sebuah masalah yang fundamental (mendasar) dan penting diperhatikan, karena dengan adanya pengadaan tanah untuk pembangunan idealnya bukan malah menyisakan masalah baru lainnya yakni munculnya  titik-titik kemiskinan baru di dalam masyarakat, karna tujuan pembangunan itu sendiri adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu jangan sampai untuk alasan pembangunan pada sisi lain akan menimbulkan kemiskinan karena banyak warga yang kehilagan tempat tiggalnya dan banyak warga yang kehilangan sumber mata pencariannya. Hal lain lagi bahwa masalah tanah melalui projek pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum ini pada praktiknya juga berdampak pada masalah pengabaian hak tempat tinggal masyarakat, sementara jaminan tempat tinggal yang layak dan kemudahan akses perekonomian bagi masyarakat juga menjadi tanggung jawab negara dalam pemenuhan HAM itu sendiri.  Oleh karena itu hak tempat tinggal yang layak dan perlindungan hak atas penguasaan tanah menjadi penting untuk menjadi perhatian dalam kerangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan, jika pemerintah/negara benar-benar ingin konsisten terhadap pelaksanaan pembangunan yang berkelajutan yang meletakkan ke dalam kerangka pemenuhan HAM.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah mengenai keberlangsungan jaminan keseimbangan lingkungan hidup khsusnya mengenai lingkungan dan udara yang sehat. Dampak pembangunan juga berkaitan dengan polusi udara/haze pollution, munculnya kerusahaan lingkungan dan polusi udara yang bersumber pada kebakaran hutan, pemanfaatan sumber daya alam yang tidak memperhatikan keberlangsungan ekosistem dan juga limbah dan asap dari pabrik-pabrik perusahaan industri yang mana hal ini secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada jaminan pemenuhan Hak atas kesehatan.salah satunya mengenai kasus kebakaran hutan yang berdampak pada pencemaran udara dan rusaknya ekosistem. Karna masalah perlindungan lingkungan hidup dan penyediaan lingkungan dan udara yang sehat dan bersih bagi kehidupan umat manusia juga menjadi salah satu kewajiban dari negara. Masalah kerusakan udara/haze polution dan lingkungan ini, di dalam perkembangannya menjadi salah satu isu yang krusial dalam perdebatan global. Seperti munculnya masalah kebakaran hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan salah satunya pencemaran udara dan masalah kesehatan, akibat dampak kerusakan udara dan lingkungan tersebut mendorong beberapa negara-negara yang berdampak mengambil beberapa langkah dan strategi bagi pengurangan penyebab-penyebab munculnya kerusakan udara tersebut, salah satu strategi yang telah dilakukan adalah didahului dalam bentuk pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi internasional dengan membawa isu kerusakan lingkungan ke dalam tema sentralnya, yang kemudian klimaksnya pada bulan Oktober 2005,Sidang Umum UNESCO-UN menerima secara aklamasi Deklarasi (pernyataan) universal tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini menjadi pembuka pintu sejarah yang di dalamnya juga mengatur mengenai masalah etika dalam pengelolaan bisofera dan lingkungan yang mengedepankan dan memperkenalnya prinsip-prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, hak asasi manusia dan memastikan penghormatan terhadap keberlangsungan kehidupan manusia di dalam pembangunan. Deklarasi ini mengakui adanya keterkaitan antara etika dan hak asasi manusia dalam bidang biotika yang khusus dan menyeluruh, adapun keterkaitan tersebut kemudian dimuat di dalam pengaturan pada deklarasi ini,yakni di dalam pasal 3 tentang Martabat manusia dan HAM pada ayat (1) nya dinyatakan: bahwa martabat manusia, hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar harus sepenuhnya dihormati, kemudian pada ayat (2)nya dinyatakan ; bahwa kepentingan dan kesejahteraan perorangan seharusnya diberi prioritas di atas kepentingan satu-satunya dari ilmu pengetahuan atau masyarakat. Selanjutnya dalam pasal 17 tentang Perlindunga Lingkungan Hidup, Biosfera dan Keragaman Hayati dinyatakan bahwa penghormatan perlu diberikan untuk saling terhubung antara manusia dan bentuk-bentuk lain dari kehidupan, untuk pentingnya pencapaian yang sesuai dan penggunaan sumber daya biologi dan genetika, untuk hormat pada pengetahuan tradisional dan untuk peran manusia dalam perlindungan lingkungan hidup, biosfera dan keragaman hayati. Kedua pasal di atas menekankan pentingnya menjaga keseimbagan lingkungan hidup bagi jaminan pemenuhan hak-hak kehidupan manusia yang berkelanjutan, aman dan sehat sebagai bagian dari penghormatan martabat dan hak asasi manusia. Dan kemudian kewajiban negara diatur secara tegas di dalam pasal 22 tentang peranana negara pada ayat (1)nya dinyatakan bahwa negara seharusnya mengambil semua tindakan yang sesuai, apakah itu ada masalah legislatif,administratif dan/atau tindakan-tindalan lainnya, guna memberi pengaruh atas prinsip-prinsip yang tertera dalam pernyataan ini sesuai dengan hukum internasional, hak asasi manusia.,kemudian pada ayat(2)nya dinyatakan bahwa negara seharusnya mendorong pembentukan komunitas etika yang bebas,multidisiplin dan pluralistik…”. Pengunaan pendekatan etika dalam perlindungan lingkungan hidup. Biosfera dan keragaman hayati hal ini lebih disebabkan pada masalah bahwa kerusakan lingkungan hidup kuat hubungannya dengan masalah itikad baik dan prilaku buruk dari manusia itu sendiri, yang karena motivasi kebutuhan dan desakan ekonomi menjadi pemicu manusia dan atau sekelompok manusia melakukan segala hal/aktivitas ekspoloitasi alam tanpa memperhatikan nilai-nilai etika dan keseimbagan alam seperti; pembakaran hutan, penebangan pohon dan segala aktivitas yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan tergangunya ekosistem alam. Oleh karna itu melalui intervensi kebijakan,peraturan, dan administratif oleh Negara diharapkan dapat merubah pola prilaku masyarakat dalam mengelolaan sumber-sumber kekayaan alam seperti apa yang dikenal dengan istilah “Law as tool social engineering” yakni hukum/kebijakan dapat dijadikan sebagai alat perubahan prilaku dalam masyarakat (rda-2020).