Selasa, 24 Mei 2016

PERUSAHAAN DAN SUBJEK PELANGGARAN HAM

 
Sebelum masuk pada pokok tulisan. saya ingin menegaskan bahwa judul dan uraian yang akan saya sampaikan dalam tulisan ini merupakan pendapat saya atau lebih pada pendapat pribadi. Berdasarkan pemahaman yang saya miliki berdasarkan beberapa literatur dan hasil-hasil seminar yang sempat saya ikuti. Itupun klo tidak lupa. Tapi insyaAllah tidak lupa.
Pada hakikatnya tema ini saya angkat lebih ditujukan untuk mengiring persamaan opini. Untuk menyepakati bahwa perusahaan/koorporasi bukan pihak yang dapat menjadi korban pelanggaran HAM baik itu berbasis pada pelanggaran akibat suatu kebijakan ataupun tindak civil society. Hal ini penting agar bisa menjadi masukan dan rujukan bersama bahwa perusahaan tidak bisa kita posisikan sebagai korban/objek pelanggaran HAM.
Berbuntut dari fenomena yang ada. Pada praktiknya terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM yang menempatkan/memposisikan perusahaan sebagai pihak yang menjadi objek pelanggaran HAM. Baik itu akibat sebuah kebijakan ataupun tindakan langsung dari negara.
Kenyataan ini terwujud dalam bentuk pengaduan. Ada konflik dengan masyarakat, sengketa dengan pemerintah dan lain sebagainya. Melihat permasalahan ini memang kita kudu jeli menyeleksi apakah memang dalam pengaduan tersebut terdapat unsur-unsur pelanggaran ham atau tidak. Klopun ada, apakah itu pelanggaran HAM atau permasalahan hukum biasa, yang  penyelesainnya dapat menempuh jalur litigasi atau non litigasi,seperti melalui gugatan ke PTUN bila itu bersumnber dari sebuah kebijakan/peraturan TUN yang merugikan operasional perusahaan.
Tapi klo tetap keukeh, pada prinsip awal bahwa pihak perusahaan merasa ada pelanggaran HAM maka kita kudu merunut pada konsep dasar. Mengenai pertanyaan apakah itu HAM dan apakah pelanggaran. Kemudian muncul istilah pelanggaran HAM.
UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa HAM adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan  YME, dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Sementara klo kita merunut pada DUHAM 1948, walo definisi HAM tidak dinyatakan secara konkret, namun masih tetap menempatkan manusia sebagai makhluk tuhan yang memiliki hak-hak dasar sejak ahirnya. Jadi pada prinsipnya HAM itu tetap menempatkan manusia sebagai makhluk tuhan dalam arti naturlijke personenistilah hukumnya yakni sebagai pengemban hak dan kewajiban hukum, dan pihak yang wajib untuk mendapatkan perlindungan karna secara kodrat dilahirkan bersama hak-hak dasar yang melekat pada dirinya secara alamiah/naturlijke
Bagaimana pula pengertian Pelanggaran HAM berdasarkan UU tentang HAM. Pada pasal 1 angka 6 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Diatur bahwa Pelanggaran HAM adalah “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian  yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia  seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini,dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Lagi-lagi bila kita ,mengacu pada ketentuan ini maka bisa dikatakan bahwa siapa objek pelanggaran HAM itu adalah manusia atau sekelompok manusia yang berdiri sendiri-sendiri sebagai Naturlijke personen”.
Lalu bagaimana kedudukan perusahaan dalam kaitan pelanggaran HAM. Sudah menjadi pengertian umum bawah perusahaan merupakan kumpulan dari modal/persekutuan modal,didirikan berdasarkan perjanjian, dalam bentuk badan hukum/recht person. Bukan sebagai naturlijke person, walo dalam pengertian hukum perdata sama-sama sebagai pemangku hak dan kewajiban hukum. Hak hukum disini bukan pula dalam arti pemangku HAM. Tapi lebih pada masalah dapat atau tidaknya melakukan tindakan hukum. Seperti mengugat atau digugat  secara hukum.
Bagaimana pula eksistensi perusahaan dalam konsep HAM dan Bisnis
Dalam beberapa literatur yang sempat saya baca. Terdapat perkembangan konsep  bahwa perusahaan dalam penegakkan HAM dapat menjadi pihak yang rentan melakukan pelanggaran HAM. Konsep ini muncul bersamaan dengan munculnya yurisprudensi yang mengiring pada masalah pelanggaran HAK EKOSOB yang tidak hanya melulu berpotensi dilakukan oleh negara tapi juga dapat melibatkan perusahaa. Bukti intuitif apa yang dapat membenarkan bahwa terdapat hubungan  antara perusahaan dengan potensi pelanggaran HAM itu sendiri. Permasalahan ini dapat kita lihat pada kegiatan dasar mereka,dimana perusahaan baik sendiri maupun bersama pemerintah dan pelibatan pelaku lain seperti tentara bayaran, memiliki potensi dan pengaruh yang luas terhadap kepentingan yang menurut tatanan HAM internasional cenderung dikategorikan dengan sebutan hak Ekosob
Kovenan Internasional tentang Hak Ekosob memunculkan pemikiran mengenai kegiatan perusahaan dengan berbagai ragamnya mencari keuntungan dan besifat tidak terbatas dapat berakibat negatif terhadap perlindungan HAM dan berpotensi menimbulkan praktik pelanggaran HAM. Pernyataan ini cukup beralasan karna perusahaan cenderung memiliki kekuatan ekonomi/modal/uang yang dapat melakukan apapun termasuk menyewa jasa tentara pengamanan untuk melindungi objek-objek vital perusahaand dari bebagai bentuk ancaman.Modal yang dimilikinya juga dapat membeli kebijakan dalam kerangka sistim hukum yang ditelorkan oleh penguasa. Untuk melancarkan aktivitas bisnisnya, dan terkadang harus bergesekan dengan kepentingan masyarakat yang pada umumnya berada dalam kondis yang lemah. Akibat dari kekhawatiran tersebut maka memunculkan beberapa ketentuan PBB yang diwujudkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak EKOSOB. Salah satunya diatur dalam Pasal 1 ayat (2) EKOSOB,dinyatakan bahwa; “dalam keadaan apapun manusia tidak boleh dirampas sumber mata pencariannya” pengaturan ini relevan bila kita hubungkan dengan fenomena dilapangan saat ini, dimana maraknya pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dalam bentuk perampasan sumber-sumber hak ekonomi masyarakat asli yang menurut kenyataannya masih ada, dan menjalankan kehidupannya disekitar wilayah kegiatan perusahaan.
Uraian diatas dapat mengambarkan bahwa posisi perusahaan dalam HAM, bisa berpotensi sebagai pihak yang melakukan pelanggaran HAM.tapi bukan berarti otomatis perusahaan sama seperti negara juga sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam rangka pemenuhan HAM, karna tanggung jawab HAM tetap menjadi kewajiban negara atau yang lebih dikenal dengan state obligation. Sementara perusahaan hanya mempunyai kewajiban untuk menghormati HAM dalam kaitan adanya potensi pelanggaran HAM yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Kewajiban perusahaan untuk menghormati HAM ini kemudian memunculkan kesapatan bersama beberapa negara anggota PBB untuk menetapkan frame work bagi perusahaan dalam rangka melaksanakan kegiatan bisnisny atau lebih dikenal dengan “Guiding Principles On Business And Human Rights” yang meliputi : Perlindungan, Penghormatan dan pemulihan (dapat dilihat dalam buku terbitan PBB tentang pedoman prinsip-prinsipBisnis dan HAM)

Konsep ham dan bisnis tidak mengarahkan pada kewajiban negara untuk melaksanakan tanggung jawab sosial  atau lebih dikenal CSR kedalam kegiatan usahanya. Karan CSR berada pada dimensi yang berbeda dari kosep ham dan bisnis. CSR lebih menekankan pada tujuan pencapaian Good Will perusahaan atau memperkuat performance perusahaan. Sementara parameter untuk mengukur komitmen perusahaan terhadap penghormatan HAM mengacu pada hasildue deliquency perusahaan, sebagai tool yang dapat digunakan untuk menunjukkan kekokohan perusahaan dalam melaksanakan bisnis dan ham berdasarkan pentunjuk yang telah ada. Dari penjabaran singkat diatas mengarahkan pada simpulan bahwa perusahaan merupakan badan hukum yang merupakan kumpulan modal, bukan dalam arti manusia pribadi, yang memiliki kewajiban penghormatan HAM bukan menjadi pihak yang terkena pelanggaran HAM  hal ini karna adanya tannggung jawab yang melekat pada perusahaan. yang dalam perkembangannya dipertegas kembali oleh PBB dengan menyusun frame work kegiatan perusahaan. Kemudian diintegrasikan dalam petunjuk prinsip-prinsip HAM dan Bisnis yang harus dipedomani oleh perusahaan,selain itu sifat perusahaan sendiri juga tidak memenuhi unsur-unsur  pihak yang dilindungi dalam UU HAM, dalam pengertian HAM dan Pelanggaran HAM.(rda)

PERLINDUNGAN HAK ATAS TEMPAT TINGGAL WARGA YANG BERDIRI DI ATAS TANAH NEGARA YANG TERKENA PROYEK PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UU No 39/1999 Tentang HAM, Komentar Umum PBB Tentang Hak Ekosob Dan UUD 1945 amandemen ke III

Disusun oleh
RIDHA WAHYUNI
(hak cipta atas tulisan ini ada pada penulis)


PERLINDUNGAN HAK ATAS TEMPAT TINGGAL WARGA YANG BERDIRI DI ATAS TANAH NEGARA YANG TERKENA PROYEK PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UU No 39/1999 Tentang HAM, Komentar Umum PBB Tentang Hak Ekosob Dan UUD 1945 amandemen ke III 







Misi Pembangunan Nasional menekankan pada pentingnya memperkuat ketahanan perekonomian bagi kemajuan bangsa yang bertujuan mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan tersebut merupakan prinsip dasar yang telah diatur dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Untuk mencapai mandat dasar Negara tersebut maka pemerintah melakukan berbagai strategi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Pemerintah dalam hal ini adalah perwujutan Negara dalam arti bergerak melalui aparaturnya mempunyai kewenangang untuk melaksanakan kewenangan dari rakyatnya untuk melindungi warga dan menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyatnya. Sebagaimana telah diperkenalkan dalam teori hukum mengenai konsep negara kesehjateraan. Teori ini menekankan bahwa Negara tidak semata-mata dilihat sebagai penjaga keamanan saja atau sebagai penjaga malam, tapi juga berperan aktif menjamin peningkatan kesehjateraan rakyatnya baik dibidang sandang,papan dan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Teori ini menekankan bahwa Negara disamping bertugas menjamin tercapainya kesejahteraan juga berkewajiban melindungi hak-hak dasar warganya disamping perlindungan rasa aman, menjamin kesejahteraan perekonomian rakyatnya,termasuk perlindungan atas ketersediaan tempat tinggal yang layak dan bebas dari segala bentuk gangguan dan ancaman.
Murunut pada pemikiran di atas sama halnya dengan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan yang saat ini gencar dilakukan oleh pemerintah dan dilaksanakan oleh  aparaturnya baik di pusat maupun di daerah tetap berkewajiban menghormati nilai-nilai kemanusian jangan sampai pada satu sisi  ingin segera mencapai tujuan pembangunan nasional namun di sisi lain mengabaikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia dalam proses pencapaiannya. Karena perlindungan  prinsip-prinsip HAM  merupkan hak yang bersifat konstitusional atau hak yang dilindungi dalam UUD 1954 amandemen ke III. Point penting lainnya yang juga harus diperhatikan oleh Negara pada saat menjalankan kekuasaannya, adalah adanya tanggung jawab Negara terhadap HAM atau yang dikenal dengan istilah State Obilgation,penerapan konsep ini menjadi salah satu ciri Negara Demokrasi yang dianut oleh Negara-negara modern saat ini. State Oblogation ini menekankan pada 3 (tiga) prinsip tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh Negara yaitu: pertama, Negara sebagai pelindung hak HAM (how to protect), kedua; Negara bertugas menjamin  Penghormatan Hak HAM (how to respect), ketiga; Negara sebagai penjamin pemenuhan hak HAM (how to fullfil) termasuk hak di bidang Ekonomi,Sosial dan Budaya.
Berbagai bentuk pembangunan yang giat dilakukan pada saat ini adalah pembangunan yang bersifat fisik dan perbaikan  infrastruktur, salah satunya pengadaan tanah untuk kepentingan Umum. Berbicara mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum, khususnya tanah-tanah yang berasal dari status tanah Negara, maka tidak akan menimbulkan masalah bila tindakan pemerintah untuk menyediakan tanah tersebut, berasal dari pengadaan tanah-tanah Negara yang kosong, atau tanah yang diatasnya belum ada bangunan rumah atau tempat usaha warga yang tidak berpenghuni. Sebaliknya permasalahan akan  timbul bila tanah yang akan disediakan tersebut adalah tanah-tanah negara yang kebetulan di atas tanah tersebut telah terdapat bangunan rumah sebagai tempat tinggalnya, serta tempat usaha warga yang bersangkutan, bangunan  secara fisik bersifat permanen dan telah berpuluhan tahun ditingali dan diusahakan secara aktif oleh warga tersebut. Walau pada umumnya warga sulit menunjukkan alat bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut, seperti sertifikasi hak atas tanah namun warga yang menepati tanah tersebut mempunyai KTP dan  dapat menunjukkan bukti pembayaran PBB atas penguasaan tanah tersebut.
Berbagai instrumen hukum telah diterbitkan untuk memberikan perlindungan terhadap Hak-hak yang fundamental ini yakni pemenuhan kebutuhan atas tempat tinggal yang layak, diantaranya diatur dalam instrument hukum Nasional dan Internasional,salah satunya  pengaturan mengenai UU Pengadaan tanah untuk kepentinga Umum, UU ini memang telah tegas mengatur bahwa Negara diberikan kewenangan dan dilindungi untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum demi pembangunan, namun disisi lain dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan tersebut tersebut Negara atau pemerintah tidak boleh melanggar peraturan lainnya baik itu peraturan yang bersumber pada konstitusi dan UU setara lainnya seperti  UU yang melindungi dan menghormati prinsip-prinsip HAM yakni UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pada beberapa kasus masih sering terjadi bahwa setiap pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan pembangunan selalu bergesekan dengan masalah yang namanya pengusuran warga dari tempat tinggalnya, dan pengusuran itupun tidak jarang memakan korban dan berbagai kerugian  yang dialamai warga yang terkena penggusuran. Nilai kerugian tidak hanya materil tapi juga immateril. Bentuk-bentuk pengadaan tanah semacam itu jelas dilakukan tanpa memperhatikan perlindungan dan penghormatan HAM
UU No 39/1999 tentang HAM merupakan turunan dari pasal 28 UUD 1945 amandemen ke III dengan demikian HAM merupakan hak konstitusional. Didalam UU No 39/1999 dalam pasal 9 mengatur perlindungan mengenai hak atas tempat tinggal bagi warga Negara dan jaminan perlindungan bagi warga untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman dari segala bentuk gangguan terhadap tempat tinggalnya. Ketentuan pasal ini jelas menolak segala bentuk perlakukan yang bersifat intimidatif dan bentuk kekerasan lainnya terhadap seseorang/sekelompok orang terkait dengan upaya penggusuran tempat tinggal warga dan pengosongan tanah dalam bentuk apapun dan mengunakan cara-cara yang merugikan, tanpa menghormati prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Negara sebagai pemegang tanggung jawab (State obilgatian) berkewajiban untuk tetap menjamin tersedianya tempat tinggal  yang layak bagi warganya bagaimanapun alasanya, hal ini penting  demi menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Jaminan atas keamanan dan penyediaan tempat tinggal  penganti hal ini penting saat dihadapkan pada kegiatan pengosongan lahan/pengadaan tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum. Pertimbangan ini perlu mendapat perhatian khusus dan utuh sebelum dilakasanakannya pengosongan tanah. Mengupayakan berbagai cara untuk mencegah pengunaan  kekerasan dan  praktik pengusuran yang tidak manusiawi  atau yang adalam komentar umum hak EKOSOB  lebih dikenal dengan istilah pengusiran paksa terhadap warga dari tempat tinggalnya. Masalah penggusuran  juga telah diatur dalam  Komentar Umum PBB khususnya yang berkaitan dengan Hak-hak Ekosob dan lebih spesifik lagi perlindungan terhadap hak perumahan. Sementara pada sisi lain Konvensi Internasional di bidang Hak Ekosob (Covenant On Economic,Social And Cultural Rights) ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia kemudian disahkan dalam UU No 11/2005 tentang HAK Ekosob. UU ini tidak berdiri sendiri di dalam pengaturan pasal demi  pasalnya, perjanjian internasional ini merupakan standar aturan umum untuk mengevaluasi  pelaksanaan pemenuhan dan penghormatan hak-hak yang dilindungi dalam konvensi tentang hak Ekosob oleh masing-masing Negara yang mengikatkan dirinya, pada saat melaksanakan UU tersebut di negaranya. Maka dari itu adanya pengaturan dalam komentar-komentar Umum juga termasuk pengaturan mengenai pentingnya perlindungan mengenai tempat tinggal  warga tanpa terkecuali (Non Diskriminasi) sebagaimana telah  diatur di dalam General Comment No.7 Tentang Hak Ekosob Article 11 Perlindungan dan penghormatan terhadap HAK atas tempat tinggal yang layak dari berbagai bentuk tindakan pengusiran paksa/penggusuran, inti dari ketentuan pasal ini bahwa setiap orang bebas dari gangguan tempat tinggalnya dan pengaturan mengenai cara-cara yang lebih beradab pada saat dihadapkan pada kondisi adanya kebutuhan lahan yang mendesak bagi kepentingan yang lebih luas/umum.
Pada uraian ketentuan UU tersebut  tegas mengatur mengenai perlindungan Negara terhadap hak atas perumahanan warga jika tanah tempat berdirinya tempat tinggal warga dibutuhkan untuk kepentingan umum atau pembangunan maka perlu diupayakan cara-cara pemindahanan yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan menghindari kekerasan dan memberikan jaminan tempat tinggal penganti atau lebih dikenal dengan istilah Relokasi warga, namun praktiknya masih terdapat pelaksanaan proyek pengosongan tanah Negara dari bangunan pemukiman warga di beberapa wilayah di Indonesia masih mengunakan pendekatan kekerasan dan mengabaikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip HAM terhadap warga yang bangunannya terkena dampak proyek pengusuran. Salah satu contoh kasusnya adalah  pada saat pelaksaaan penggusuran  di kawasan kampung Pulo Jakarta Timur, dan beberapa kasus lainnnya yang terjadi di daerah.Praktik penggusuran lainnya adalah penggusuran terhadap 114 wargai wilayah Kebon Nanas Jakarta Timur. Pada kasus penggusura di dua wilayah tersebut dapat menjadi contoh pelaksanaan pengosongan tanah yang dilakukan oleh pemerintah daerah  tanpa melalui mekanisme yang ideal menurut prinsip-prinsip perlindungan HAM, seperti pelaksanaan penggusuran tanpa didahului sosialisasi/pemberitahuan, peringatan I dan II, pemberian ganti rugi yang layak dan kepastian tersedianya  tempat tinggal penganti yang layak.( data pengaduan proaktif lapangan Komnas HAM, tim penggusuran, 2015)   Beberapa kasus tersebut cukup menunjukkan adanya praktik-praktik pengosongan lahan, tanpa memberikan jamian rasa aman terhadap warga atas keberlangsungan memperoleh tempat tinggal yang layak sesuai prinsip-prinsip penyediaan tempat tinggal penganti demi kemanusiaan. Kenyataan ini bukan pula menutup fakta bahwa pada wilayah lain  sudah ada beberapa kawasan yang terkena proyek pengosongan lahan layak dijadikan Pilot Project (Percontohan) dalam pelaksaan pengosongan tanah seperti pengadaan tanah, salah satunya pada saat pelaksanaan program pemerintah DKI Jakarta melakuka normaliasi Kali ciliwung  dan beberapa kawasan lainnya baik di Jakarta maupun di kota besar lainnya seperti pemindahan para pedagang buku dan beberapa perumahan warga dari kawasan lapangan merdeka Kota Medan. Tapi beberapa  kasus ini masih bersifat sektoral/kasus perkasus artinya masih belum dapat menyeluruh sesuai standar prosedur yang seragam dengan  tetap mengedepankan penghormatan prinsip-prinsi HAM. Karena pada umumnya pengadaan/pengosongan lahan selalu berujung pada pengunaan kekerasan dan penggusuran warga tanpa memikirkan penyediaan tempat tinggal alternatif lain. Kecendrungan penggusuran yang mengunakan pendekatan kekerasan ini umumnya dilakukan dengan pengerahan aparat kemanan (TNI) dalam jumlah besar, pengerahan SatPol PP yang berlebihan pada saat melakukan pengamanan ditambah penggunaan preman bayaran untuk melakukan intimidasi terhadap warga. Kemudian setelah warga digusur warga korban penggusuran tersebut tidak mendapatkan pilihan tempat tinggal lain  yang dinilai layak dan harusnya telah disediakan oleh pemerintah setempat. Hal lainnya yang juga menjadi pemicu timbulnya pelanggaran Hak-hak warga oleh para aparat adalah pada saat penggusuran adalah mengenai belum adanya upaya mengintegrasikan prinsip-prinsip pelaksanaan pengusuran tempat tinggal yang berbasis pada penghormatan prinsip-prinsip HAM atas tempat tinggal sebagaimana telah jelas diatur dalam komentar Umum Hak EKOSOB no. 4 dan No. 7 ke dalam sisitem UU nasional kita khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk kepentingan Umum hal ini ditunjukkan pada  lemahnya pengaturan  tata cara pelaksaan pengosongan tanah yang berperspektif pada penghormatan dan perlindungan HAM yang diadopsi ke dalam peraturan pemerintah di daerah-daerah, baik dalam bentuk Perda dan turunan dalam bentuk SOP tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Fenomena  ini juga tak dapat  dilepaskan dari permasalahan lainnya seperti ; minimnya perspektip pemerintah di daerah dalam memahami landasan hukum mengenai pentingnya perlindungan dan penghormatan prinsip-prinsip HAM,disamping itu hal lain yang perlu ditegaskan bahwa masyarakat sebagai  masyarakat sipil mempunyai hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, bebas dari segala bentuk gangguan, sebagaimana telah digariskan dalam UU Nasional dan Internasional.
KERANGKA PEMIKIRAN 
Konsep Dasar Tentang HAM
               Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir yang merupakan kodrat dari tuhan sebagai wujud eksistensi ciptaan tuhan.oleh karna itu HAM telah ada sejak manusi lahir.Pada awalnya penafsiran mengenai apa itu HAM belum mendapatkan kesatuan definisi yang seragam. Pemahaman tentang apa itu HAM masih tersebar dalam beberap penafsiran menurut perkembangan zaman. Namun demikian sumber pengertian menganai konsep dasar ham dan batasannya telah mulai dipaparkan berdasarkan sumber hukum tentang Hak Kodrati, penganut mazhab ini sebut saja salah satu tokoh terkena  adalah john locke, John Locke mencoba menetapkan postulat pemikiran bahwa semua individu dikarunia oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak boleh dicabut oleh Negara (PUSHAM UII &Oslo University,2010;12). Pemikiran john locke ini menafsirkan bahwa Negara mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak dasar manusia sekaligus melindungi hak tersebut. Setiap orang adalah bebas dan merdeka berdasarkan martabatnya,tidak hanya itu pada postulat pemikiran selanjutnya ia mengenalkan pemikirannya ke dalam sebuah bukunya yang berjudul “ the Second Treaties of civil government and a letter Concerning Toleration”  buku ini menguraikan mengenai pemikirannya tentang penghormatan terhadap hak, ia menyatakan bahwa semua individu dikarunia oleh alam hak yang melekat  atas hidup,kebebasan dan kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri yang tidak dapat dicabut. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang dalah perkembangannya melandasi munculnya perjuangan revolusi hak seperti revolusi di Inggris, Amerika Serikat dan perancis pada abad 17 dan 18.
Walau dalam sejarah perkembangan pemikiran tentang HAM mengenai teori kodrat  yang disampaikan oleh John Locke ini banyak mendapatkan pertentangan namun pada abad pertengahan konsep yang ditawarkannya mendapatkan peranan yang cukup besar dalam meletakkan pondasi bagi penetapan konsep mengenai HAM dan prinsip-prinsip dari HAM itu sendiri, hal ini dibuktikan pada saat lahirnya Deklarasi Universal HAM tahun 1948 pada pasa 1 DUHAM disebutkan bahwa “semua manusia terlahir bebas dan setara dalam kemuliaan hak-haknya, mereka dikarunia denga akal dan hati nurani dan harus berhubung satu sama lain dalam semangat persaudaraan”(Manfred Nowak,2005;212). Deklarasi DUHAM tahun 1948 ini menjadi tonggak sejarah meletakkan prinsip-prinsip dasar perlindungan dan penghormatan HAM di seluruh dunia termasuk Indonesia. Deklarasi internasional ini tidak mengikat dan sampai perang dunia ke II, standar HAM tidak dikembangkan ke dalam hukum internasional, tapi lebih ditekankan pada hukum nasional masing-masing Negara yang kemudian diwujudkan ke dalam kerangka konstitusi nasional atau yang lebih dikenal dengan proses konstitusionalisme, yang mencerminkan dan menjamin tugas-tugas dan struktur pokok Negara sebagai sumber hukum tertinggi dalam suatu Negara. Kontitusi tersebut dianggap mengikat dan berlaku, dan kemudian dapat diturunkan dalam UU agar dapat diterapkan dalam bentuk hukum nasional seperti UU bagi pelaksanaan hak berdasarkan perkembangan isu dan kebutuhan domestik masing-masing Negara.
Pada tataran hukum nasional kita contohnya. Indonesia dengan tegas tunduk  pada DUHAM 1948 yang terwujud  di dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena kita menetapkan bentuk Negara adalah demokrasi maka Indonesia wajib memasukkan pengakuan dan Penghormatan HAM ke dalam konstitusi yakni UUD 1945 amandemen ke III tepatnya pada pasal 28 tentang HAM. Kemudian diatur ke dalam UU khusus yakni UU No 39/1999 tentang HAM. UU ini mengatur dengan lengkap  mengenai perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM sebagai pedoman bagi pelaksanaannya.Di dalam hukum nasional batasan konsep dasar mengenai HAM diatur dalam UU No 39/1999 tentang HAM pada Bab I pasal 1 dinyatakan HAM adalah “seperangkat Hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yme dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati,dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum,pemerintah dan setipa orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia” didalam UU  terdapat 10 hak yang dilindungi terbagi atas dua klasifikasi Hak yaitu hak Sipi dan Politik dan HAK Ekosob. Hak ekonomi,sosial dan budaya. Khusus hak ekonomi merupakan hak yang mengatur mengenai hak-hak yang berhubungan dengan kesejahteraan yang meliputi jaminan dari Negara untuk memenuhi hak kebutuhan dasar minimum seperti pangan,sandang dan papan/perumahan serta jaminan atas keamanan dan kenyaman atas pelaksanaannya. Konsep ini menekankan pada tanggung jawab Negara untuk memenuhi yang dikenal dengan istilah “state obligation including how to fulfill”, menurut teori ini Negara bergerak aktif untuk mengambil tindakan  baik legislative, administratif agar hak-hak ini dapat dilaksanakan sebesar-beasrnya.( pengantar pada rezim ham Internasional,2013;15), dalam rangka memberikan kesejahteraan bagi warganya, Negara tidak boleh lalai, jika pemerintah lalai/melakukan tindak pembiaran maka Negara telah mengabaikan jaminan pemenuhan hak atas ekonomi tersebut.
PERLINDUNGAN HAK ATAS TEMPAT TINGGAL DALAM KOMENTAR UMUM HAK EKOSOB (General Comment ECOSOB Rights), UU NO. 39/1999 Tentang HAM DAN KONSEP PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN
Hak ekonomi berhubungan dengan kesejehteraan dan property sesorang yang tidak hanya disediakan tapi juga harus dilindungi (how to be protected by state). Termasuk hak atas shelter  atau tempat tinggal. Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia dalam keadaan apapun ia tidak dapat dicabut. Bila harus dicabut maka harus benar-benar dalam keadaan mendesak dan diatur dalam Undang-Undang. Keadaan mendesak tersebut merupakan keadaan yang berhubungan dengan kepentingan Negara/publik dengan tetap memperhatikan skema perlindungan dan penghormatan HAM berdasarkan UU yang berlaku.
Pada hakitanya jauh sebelum pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi hak Ekosob, pemerintah telah mengatur mengenai jaminan perlindungan atas hak atas tempat tinggal di dalam UU No.39/1999 tentang HAM tepatnya pada pasal 40 dinyatakan bahwa “setiap orang berhak untu mendapatkan tempta tinggal serta berkehidupan yang layak”  kemudian pada pasal lain memberikan jaminan atas perlindungan atas tempat tinggal tersebut pada pasal 36 dinyatakan tidak seorangpun bolek dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum, kemudian pada pasal 37 ayat (1) dinyatakan lebih tegas bahwa “pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum,hanya diperbolehkan dengan menganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kembali pada pasa 3 UU No 39/1999 pelaksanaan dan perlindungan hak atas tempat tinggal ini tetap mengacu pada konsep dasar perlindungan yang bersifat tidak boleh diskriminasi/Non discrimination. Konsep Perlindungan HAM atas tempat tinggal dalam UU HAM nasional ini dinilai masih lemah bila dibandingkan dengan pengaturan mengenai perlindungan hak HAM atas tempat tinggal yang diatur dalam Komentar Umum Hak Ekosob.Dalam Komentar Umum Hak Ekosob HAM tempat tinggal diatur lengkap pada Komentar no. 4 bagian ini meletakan standar minimal yang harus dipenuhi oleh Negara dalam rangka perlindungan dan penghormatan Hak atas tempat tinggal yang layak.
Komentar Umum artikel 4 ini tidak hanya memberikan pengaturan  mengenai perlindungan HAM atas tempat tinggal saja tapi  lebih dari, juga  menetapkan batasan apa itu yang dikatakan tempat tinggal yang layak bagi kemanusiaan, jadi bukan hanya sekedar tempat tinggal saja atau dikatakan asal ada tempat tinggal agar tidak terkena hujan atau gangguan cuaca lainnya. Karena arti layak itu luas definisinya. Menurut pasal 11(1) perjanjian  Negara dinyatakan “mengenali hak setiap orang untuk memperoleh standar hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga, termasuk tempat tinggal” hak asasi manusia atas tempat tinggal yang layak, yang dengan demikian akan tercapai standar hidup yang layak merupakan perwujudan penikmatan hak-hak ekonomi.sementara konsep “layak” secara khusus sangat terkait dengan hak atas tempat tinggal.
Ukuran tempat tinggal yang layak itu meliputi : terpenuhinya asas legalistas kepemilikan, ketersediaan atas berbagai layananan minimal, keterjangkauan biaya,layak huni,aksesibilitas atau dapat diakses semua orang bukan malah menambah beban hidup, lokasi yang terjangaku terutama ke tempat sumber-sumber mata pencarian/ekonomi(Komentar umum PBB, 2013;919).
Pada dasarnya pencapaian realisasi pemenuhan standar tempat tinggal yang layak akan berbeda-beda di masing-masing Negara, namum perjanjian ini menetapkan bahwa setian Negara harus segera mengambil langkah-langkag untuk mencapai tujuan pemenuhan standar kelayakan minimal tersebut, bahkan di bebarap Negara, hak atas tempat tinggal yang layak dilindungi oleh konstitusi. Oleh karena itu banyak dari ukuran-ukuran yang diperlukan melibatkan alokasi sumber daya dan insiatif kebijakan secara umum, karena hak atas tempat tinggal yang layak tidak boleh dipandang lepas dari hak asasi manusia yang lain yang tecantum dalam perjanjian internasional dan instrument hukum nasional yang merujuk pada konsep martabat manusia dan prinsip Non-diskriminasi.
Bercermin pada uraian terakhir diatas maka komite menilai pada simpulannya bahwa segala bentuk pengusiran paksa atau penggusuran adalah prima facie yang tidak sejalan dengan  ketetapan dalam perjanjian internasional dan hanya dapat dibenarkan dalam keadaan yang paling luar biasa, dan digariskan dalam prinsip-prinsip hukum internasional yang relevan.
Konsep Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan UU No. 39/1999 tentang HAM dan Konvensi Internasional Hak EKOSOB
Tanah merupakan salah satu cabang Sumber daya agraria yang memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia, bayangkan saja bila bumi ini tidak ada hamparan tanah sebagai tempat kehidupan makhluk hidup maka kehidupan tidak akan pernah ada. Tanah,air dan udara merupakan kombinasi yang saling melengkapi sehingga terciptalah alam raya yakni bumi yang dapat ditinggali.
Tanah disamping memiliki nilai strategis juga memiliki nilai ekonomis, ambil contoh bagaimana manusia dapat bercocok tanam dan melakukan berbagai kegiatan untuk dijadikan sumber mata pencarian jika tidak ada tanah, dan bagaimana manusia dapat hidup nyaman dan aman tanpa adanya tempat tinggal yang dibangun di atas tanah.
Dari aspek ekonomi pulalah tanah menjadi salah satu penyebab konflik atau sengketa, sengketa antara para pihak untuk menguasai dan memanfaatkannya. Ditambah lagi, pada kenyataan bahwa pertumbuhan manusia yang tidak pernah berhenti. Pertumbuhan manusia sangat menentukan terhadap tingkat ketersediaan tanah sebagai lahan untuk membangun tempat tinggal.
Dalam sejarah perkembangannya peranan tanah terus menjadi kebutuhan yang mendesak sampai saat ini. Tidak hanya tanah di daerah pedesaan, apalagi di kawasan perkotaan atau pusat-pusat pemerintahan. Seperti disebutkan di atas dengan pertumbuhan manusia maka adanya kebutuhan untuk menyediakan layanan-layanan dan fasilitas publik/umum. Pendirian fasilitas-fasilitas umum tersebut sudah barang tentu membutuhkan ketersediaan lahan yang cukup untuk mendirikan banguan/infrastruktur, belum lagi kebutuhan komersil lainnya.
Kebutuhan tanah di perkotaan dihadapkan dengan arus urbanisasi manusia yang menumpuk ke kota-kota besar, sehingga menyebabkan semakin sempitnya lahan kosong/terbuka. Semua orang yang telah hijrah ke kota tentut membutuhkan tempat tinggal sementara tanah kepunyaan tidak ada, maka dengan terpaksa tanah kosong dimanfaatkan untuk membangun tempat tinggal sementara/remanen, kemudian semi permanen dan pada akhirnya menjadi permanen, seiring dengan kecukupan ekonominya.
Pada saat masyarakat telah hidup mapan di atas tanah/lahan yang kosong tersebut kemudian muncul permasalahan yaitu; pengakuan bahwa tanah-tanah tersebut adalah tanah Negara dan sewaktu-waktu dapat digunakan oleh Negara dalam hal ini pemerintah.
Kebutuhan tanah atas dasar tujuan pembangunan memotivasi pementintah untuk melakukan penertiban kembali tanah-tanah Negara yang telah ditempati oleh masyarakat, melalui program pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Program tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan berbagai tindakan guna mengambil kembali tanah Negara yang telah ditempati warga selama berpuluh puluh tahun.
Berbagai regulasi telah disusun dan diterbitkan untuk memberikan payung hukum bagi Negara untuk melakukan pengosongan tanah-tanah Negara. Salah satunya UU Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam UU No 2/ 2012. UU ini merupkan UU terakhir setelah beberapa UU sebelumnya diubah. Dalam UU ini arti pengadaan tanah adalah “kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”  Proyek pengadaan tanah pada UU yang sama mensyaratkan untuk semata-mata kepentingan umum bagi kesejahteraan masyarakat.  Dihadapkan pada pengaturan tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana yang diatur dalam UUPA  tampaknya menjadi landasan bagi pembentukan UU pengadaan tanah ini. UUPA mengatur dan melindungi beberapa jenis hak atas tanah dan itu dapat disampangi bila adanya kepentingan yang lebih luas maka hak atas tanah tersebut dapat dicabut, dapat dicabut tentunya dengan suatu pemberian ganti rugi yang layak.
Dalam UU No 39/1999 tentang HAM juga terdapat pasal yang mengatur bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial, yang dimaksud hak milik disini termasuk tanah-tanah hak, kemudian pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan menganti kerugian yang wajar, dan segera.
Dalam UU No 39/1999 tentang HAM juga mengatur tentang perlindungan bangunan tempat tinggal yang tentu berdiri ditas tanah baik tanah hak maupun tanah bukan hak karena UU ini juga melindungi hak asasi atas tempat tinggal warga. Makna pengaturan dalam pasal ini kembali pada maksud pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada pasal di atasnya bahwa pengosongan tanah dilarang mengunakan cara-cara yang tidak bermartabat/tidak manusiawi, seperti pengusiran mendadak, tidak diberikan ganti rugi yang layak/pantas. Sehingga menimbulkan warga kehilangan akses tempat tinggal yang layak.
Pengadaan tanah yang berkeadilan tidak hanya terbatas pada warga yang bisa membuktikan alas haknya atas tanah tersebut saja, tapi juga warga yang dapat membuktikan penguasaan atas tanah tersebut seperti tanda pembayaran PBB dan fisik bangunan yang telah berpuluh tahun ditempati warga.
Berkenaan dengan tindakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum inipun, hukum Indonesia secara umum telah pula membedakan antara pencabutan hak (secara wajib) dan pembebasan/pengadaan tanah.(HUMMA,2010;313)  (Hukum agraria dan masyarakat di Indonesia, Huma, 2010,hlm 313). Bila kita telaah makna istilah pencabutan hak ini maka asosiasi kita lebih ke arah negatif, sementara istilah pembebasan lebih positif, arti positif disini dilakukan dengan sukarela/kesepakatan untuk melepaskan hak atau penguasaannya atas tanah.
Mengenai pengadaan/pembebasan tanah yang terdapat bangunan tempat tinggal diatasnya beberapa peraturan UU telah mengatur mengenai penting untuk memperhatikan aspek kemanusian salah satunya diatur dengan tegas dalam Konvensi Internasional Komentar Umum No.7 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang layak terkait pengusiran paksa. Konvensi ini mengunakan istilah pengusiran paksa terhadap praktik-praktik pengosongan tanah yang berkonotasi negatif seperti tindakan pemerintah/aparat yang mengunakan pola-pola kekerasan dalam mengosongkan tanah dari bangunan rumah-rumah warga seperti pengerahan tentara/preman bayaran,intimidasi, tidak adanya tawaran rehabilitasi/kawasan penganti termasuk rumah penganti, pada intinya pengusiran paksa menurut konvensi ini didefinisikan sebagai “ bentuk tindakan penguasan melakukan pemindahan sementara./permanen yang bertentangan dengan keinginan sejumlah individu/keluarga dan/atau komunitas atas tanah-tanah yang telah mereka kuasai tanpa adanya ketetapan akses hukum yang layak dan perlindungan yang lainnya”(General comment, 2013; 247)
Dalam komentar umum No. 4 (1991) komite menyatakan bahwa setiap orang harus memiliki kepastian tempat kedudukan yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran paksa,kekerasan dan ancaman lainnya. Dalam komentar pasal ini menyimpulan bahwa pengusiran paksa merupakan prima factie yang tidak relevan dengan perjanjian internasional terkait jaminan penghormatan atas tempat tinggal yang nyaman dan aman.
Dalam strategi global pemukiman tahun 2000. Mengariskan bahwa kewajiban pemerintah idealnya meminilalisir terjadinya pengusiran paksa warga dari lahan-lahan pemukimannya dan meningkatkan upaya untuk melindungi dan mengembangkan kawasan pemukiman, bukannya merusak atau menghancurkannya.
Pada akhirnya melindungi semua orang dari praktik pengusiran paksa yang bertentangan dengan hukum dan tanpa memperhatikan prinsip HAM. Dan klopun pengusiran paksa atau pengosongan tanah dari perumahan warga tidak dapat dihindari maka hal-hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah sebelumnya adalah menetapkan solusi-solusi alternatif lainnya bagi kemanusiaan. Jadi pembangunan  masih tetap dapat terwujud dan masyarakatpun tetap sejahtera.(rda)
   
Daftar Pustaka :
Buku-buku
Rhona KM dkk,(2008). Hukum Hak Asasi Manusia.Yogyakarta:PUSHAMUII
Nowak Manfred,(2003).Pengantar Pada Rezim HAM Internasional.Wina:Brill Academic Publisher
Syafitri.mirna dkk,(2010).Hukum agrarian dan Masyarakat di Indonesia.Jakarta: Huma
Harsono budi, (1970). Hukum Agraria di Indonesia, Yogyakarta, Pusataka ilmu
Undang-Undang
Komentar Umum (2013). Komentar Umum Konvensi Hak Sipol &Ekosob, Jakarta,Komnas HAM
UU No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia
UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum