PERLINDUNGAN
HAK ATAS TEMPAT TINGGAL WARGA YANG
BERDIRI DI ATAS TANAH NEGARA YANG TERKENA PROYEK PENGADAAN TANAH UNTUK
KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UU No 39/1999 Tentang HAM, Komentar Umum PBB
Tentang Hak Ekosob Dan UUD 1945 amandemen ke III
Misi Pembangunan Nasional menekankan
pada pentingnya memperkuat ketahanan perekonomian bagi kemajuan bangsa yang
bertujuan mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Tujuan tersebut merupakan prinsip dasar yang telah diatur dalam UUD
1945 dan Pancasila.
Untuk mencapai mandat dasar Negara
tersebut maka pemerintah melakukan berbagai strategi untuk mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan bangsa. Pemerintah dalam hal ini adalah perwujutan Negara
dalam arti bergerak melalui aparaturnya mempunyai kewenangang untuk
melaksanakan kewenangan dari rakyatnya untuk melindungi warga dan menjamin
terwujudnya kesejahteraan rakyatnya. Sebagaimana telah diperkenalkan dalam teori
hukum mengenai konsep negara kesehjateraan. Teori ini menekankan bahwa Negara
tidak semata-mata dilihat sebagai penjaga keamanan saja atau sebagai penjaga
malam, tapi juga berperan aktif menjamin peningkatan kesehjateraan rakyatnya
baik dibidang sandang,papan dan pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Teori ini
menekankan bahwa Negara disamping bertugas menjamin tercapainya kesejahteraan
juga berkewajiban melindungi hak-hak dasar warganya disamping perlindungan rasa
aman, menjamin kesejahteraan perekonomian rakyatnya,termasuk perlindungan atas
ketersediaan tempat tinggal yang layak dan bebas dari segala bentuk gangguan
dan ancaman.
Murunut pada pemikiran di atas sama
halnya dengan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan yang saat ini gencar
dilakukan oleh pemerintah dan dilaksanakan oleh aparaturnya baik di pusat
maupun di daerah tetap berkewajiban menghormati nilai-nilai kemanusian jangan
sampai pada satu sisi ingin segera mencapai tujuan pembangunan nasional
namun di sisi lain mengabaikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip
perlindungan Hak Asasi Manusia dalam proses pencapaiannya. Karena perlindungan
prinsip-prinsip HAM merupkan hak yang bersifat konstitusional atau
hak yang dilindungi dalam UUD 1954 amandemen ke III. Point penting lainnya yang
juga harus diperhatikan oleh Negara pada saat menjalankan kekuasaannya, adalah
adanya tanggung jawab Negara terhadap HAM atau yang dikenal dengan istilah State
Obilgation,penerapan konsep ini menjadi salah satu ciri Negara Demokrasi
yang dianut oleh Negara-negara modern saat ini. State Oblogation ini menekankan
pada 3 (tiga) prinsip tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh Negara yaitu:
pertama, Negara sebagai pelindung hak HAM (how to protect), kedua;
Negara bertugas menjamin Penghormatan Hak HAM (how to respect),
ketiga; Negara sebagai penjamin pemenuhan hak HAM (how to fullfil)
termasuk hak di bidang Ekonomi,Sosial dan Budaya.
Berbagai
bentuk pembangunan yang giat dilakukan pada saat ini adalah pembangunan yang
bersifat fisik dan perbaikan infrastruktur, salah satunya pengadaan tanah
untuk kepentingan Umum. Berbicara mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, khususnya tanah-tanah yang berasal dari status tanah Negara, maka tidak
akan menimbulkan masalah bila tindakan pemerintah untuk menyediakan tanah tersebut,
berasal dari pengadaan tanah-tanah Negara yang kosong, atau tanah yang
diatasnya belum ada bangunan rumah atau tempat usaha warga yang tidak
berpenghuni. Sebaliknya permasalahan akan timbul bila tanah yang akan
disediakan tersebut adalah tanah-tanah negara yang kebetulan di atas tanah
tersebut telah terdapat bangunan rumah sebagai tempat tinggalnya, serta tempat
usaha warga yang bersangkutan, bangunan secara fisik bersifat permanen
dan telah berpuluhan tahun ditingali dan diusahakan secara aktif oleh warga
tersebut. Walau pada umumnya warga sulit menunjukkan alat bukti kepemilikan hak
atas tanah tersebut, seperti sertifikasi hak atas tanah namun warga yang
menepati tanah tersebut mempunyai KTP dan dapat menunjukkan bukti
pembayaran PBB atas penguasaan tanah tersebut.
Berbagai
instrumen hukum telah diterbitkan untuk memberikan perlindungan terhadap
Hak-hak yang fundamental ini yakni pemenuhan kebutuhan atas tempat tinggal yang
layak, diantaranya diatur dalam instrument hukum Nasional dan Internasional,salah
satunya pengaturan mengenai UU Pengadaan tanah untuk kepentinga Umum, UU
ini memang telah tegas mengatur bahwa Negara diberikan kewenangan dan
dilindungi untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pengadaan tanah untuk
kepentingan umum demi pembangunan, namun disisi lain dalam rangka pengadaan
tanah untuk pembangunan tersebut tersebut Negara atau pemerintah tidak boleh
melanggar peraturan lainnya baik itu peraturan yang bersumber pada konstitusi
dan UU setara lainnya seperti UU yang melindungi dan menghormati
prinsip-prinsip HAM yakni UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pada beberapa kasus
masih sering terjadi bahwa setiap pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan
pembangunan selalu bergesekan dengan masalah yang namanya pengusuran warga dari
tempat tinggalnya, dan pengusuran itupun tidak jarang memakan korban dan
berbagai kerugian yang dialamai warga yang terkena penggusuran. Nilai
kerugian tidak hanya materil tapi juga immateril. Bentuk-bentuk pengadaan tanah
semacam itu jelas dilakukan tanpa memperhatikan perlindungan dan penghormatan
HAM
UU
No 39/1999 tentang HAM merupakan turunan dari pasal 28 UUD 1945 amandemen ke
III dengan demikian HAM merupakan hak konstitusional. Didalam UU No 39/1999
dalam pasal 9 mengatur perlindungan mengenai hak atas tempat tinggal bagi warga
Negara dan jaminan perlindungan bagi warga untuk mendapatkan rasa aman dan
nyaman dari segala bentuk gangguan terhadap tempat tinggalnya. Ketentuan pasal
ini jelas menolak segala bentuk perlakukan yang bersifat intimidatif dan bentuk
kekerasan lainnya terhadap seseorang/sekelompok orang terkait dengan upaya
penggusuran tempat tinggal warga dan pengosongan tanah dalam bentuk apapun dan
mengunakan cara-cara yang merugikan, tanpa menghormati prinsip-prinsip Hak
Asasi Manusia. Negara sebagai pemegang tanggung jawab (State obilgatian)
berkewajiban untuk tetap menjamin tersedianya tempat tinggal yang layak
bagi warganya bagaimanapun alasanya, hal ini penting demi menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan. Jaminan atas keamanan dan penyediaan tempat
tinggal penganti hal ini penting saat dihadapkan pada kegiatan
pengosongan lahan/pengadaan tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum.
Pertimbangan ini perlu mendapat perhatian khusus dan utuh sebelum
dilakasanakannya pengosongan tanah. Mengupayakan berbagai cara untuk mencegah
pengunaan kekerasan dan praktik pengusuran yang tidak manusiawi
atau yang adalam komentar umum hak EKOSOB lebih dikenal dengan
istilah pengusiran paksa terhadap warga dari tempat tinggalnya. Masalah
penggusuran juga telah diatur dalam Komentar Umum PBB khususnya
yang berkaitan dengan Hak-hak Ekosob dan lebih spesifik lagi perlindungan
terhadap hak perumahan. Sementara pada sisi lain Konvensi Internasional di
bidang Hak Ekosob (Covenant On Economic,Social And Cultural Rights)
ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia kemudian disahkan dalam UU No
11/2005 tentang HAK Ekosob. UU ini tidak berdiri sendiri di dalam pengaturan
pasal demi pasalnya, perjanjian internasional ini merupakan standar
aturan umum untuk mengevaluasi pelaksanaan pemenuhan dan penghormatan
hak-hak yang dilindungi dalam konvensi tentang hak Ekosob oleh masing-masing
Negara yang mengikatkan dirinya, pada saat melaksanakan UU tersebut di
negaranya. Maka dari itu adanya pengaturan dalam komentar-komentar Umum juga
termasuk pengaturan mengenai pentingnya perlindungan mengenai tempat tinggal
warga tanpa terkecuali (Non Diskriminasi) sebagaimana telah diatur
di dalam General Comment No.7 Tentang Hak Ekosob Article 11 Perlindungan
dan penghormatan terhadap HAK atas tempat tinggal yang layak dari berbagai
bentuk tindakan pengusiran paksa/penggusuran, inti dari ketentuan pasal ini
bahwa setiap orang bebas dari gangguan tempat tinggalnya dan pengaturan
mengenai cara-cara yang lebih beradab pada saat dihadapkan pada kondisi adanya
kebutuhan lahan yang mendesak bagi kepentingan yang lebih luas/umum.
Pada uraian ketentuan UU
tersebut tegas mengatur mengenai perlindungan Negara terhadap hak atas
perumahanan warga jika tanah tempat berdirinya tempat tinggal warga dibutuhkan
untuk kepentingan umum atau pembangunan maka perlu diupayakan cara-cara
pemindahanan yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan menghindari kekerasan dan
memberikan jaminan tempat tinggal penganti atau lebih dikenal dengan istilah
Relokasi warga, namun praktiknya masih terdapat pelaksanaan proyek pengosongan
tanah Negara dari bangunan pemukiman warga di beberapa wilayah di Indonesia
masih mengunakan pendekatan kekerasan dan mengabaikan penghormatan terhadap
prinsip-prinsip HAM terhadap warga yang bangunannya terkena dampak proyek
pengusuran. Salah satu contoh kasusnya adalah pada saat pelaksaaan
penggusuran di kawasan kampung Pulo Jakarta Timur, dan beberapa kasus
lainnnya yang terjadi di daerah.Praktik penggusuran lainnya adalah penggusuran terhadap
114 wargai wilayah Kebon Nanas Jakarta Timur. Pada kasus penggusura di dua
wilayah tersebut dapat menjadi contoh pelaksanaan pengosongan tanah yang
dilakukan oleh pemerintah daerah tanpa melalui mekanisme yang ideal
menurut prinsip-prinsip perlindungan HAM, seperti pelaksanaan penggusuran tanpa
didahului sosialisasi/pemberitahuan, peringatan I dan II, pemberian ganti rugi
yang layak dan kepastian tersedianya tempat tinggal penganti yang layak.(
data pengaduan proaktif lapangan Komnas HAM, tim penggusuran, 2015)
Beberapa kasus tersebut cukup menunjukkan adanya praktik-praktik pengosongan
lahan, tanpa memberikan jamian rasa aman terhadap warga atas keberlangsungan
memperoleh tempat tinggal yang layak sesuai prinsip-prinsip penyediaan tempat
tinggal penganti demi kemanusiaan. Kenyataan ini bukan pula menutup fakta bahwa
pada wilayah lain sudah ada beberapa kawasan yang terkena proyek
pengosongan lahan layak dijadikan Pilot Project (Percontohan) dalam
pelaksaan pengosongan tanah seperti pengadaan tanah, salah satunya pada saat
pelaksanaan program pemerintah DKI Jakarta melakuka normaliasi Kali ciliwung
dan beberapa kawasan lainnya baik di Jakarta maupun di kota besar lainnya
seperti pemindahan para pedagang buku dan beberapa perumahan warga dari kawasan
lapangan merdeka Kota Medan. Tapi beberapa kasus ini masih bersifat
sektoral/kasus perkasus artinya masih belum dapat menyeluruh sesuai standar
prosedur yang seragam dengan tetap mengedepankan penghormatan
prinsip-prinsi HAM. Karena pada umumnya pengadaan/pengosongan lahan selalu
berujung pada pengunaan kekerasan dan penggusuran warga tanpa memikirkan
penyediaan tempat tinggal alternatif lain. Kecendrungan penggusuran yang
mengunakan pendekatan kekerasan ini umumnya dilakukan dengan pengerahan aparat
kemanan (TNI) dalam jumlah besar, pengerahan SatPol PP yang berlebihan pada
saat melakukan pengamanan ditambah penggunaan preman bayaran untuk melakukan
intimidasi terhadap warga. Kemudian setelah warga digusur warga korban
penggusuran tersebut tidak mendapatkan pilihan tempat tinggal lain yang
dinilai layak dan harusnya telah disediakan oleh pemerintah setempat. Hal
lainnya yang juga menjadi pemicu timbulnya pelanggaran Hak-hak warga oleh para
aparat adalah pada saat penggusuran adalah mengenai belum adanya upaya
mengintegrasikan prinsip-prinsip pelaksanaan pengusuran tempat tinggal yang
berbasis pada penghormatan prinsip-prinsip HAM atas tempat tinggal sebagaimana
telah jelas diatur dalam komentar Umum Hak EKOSOB no. 4 dan No. 7 ke dalam
sisitem UU nasional kita khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengadaan
Tanah untuk kepentingan Umum hal ini ditunjukkan pada lemahnya
pengaturan tata cara pelaksaan pengosongan tanah yang berperspektif pada
penghormatan dan perlindungan HAM yang diadopsi ke dalam peraturan pemerintah
di daerah-daerah, baik dalam bentuk Perda dan turunan dalam bentuk SOP tata
cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Fenomena ini juga tak
dapat dilepaskan dari permasalahan lainnya seperti ; minimnya perspektip
pemerintah di daerah dalam memahami landasan hukum mengenai pentingnya
perlindungan dan penghormatan prinsip-prinsip HAM,disamping itu hal lain yang
perlu ditegaskan bahwa masyarakat sebagai masyarakat sipil mempunyai hak
untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, bebas dari segala bentuk gangguan,
sebagaimana telah digariskan dalam UU Nasional dan Internasional.
KERANGKA
PEMIKIRAN
Konsep
Dasar Tentang HAM
Hak asasi manusia
merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir yang merupakan kodrat
dari tuhan sebagai wujud eksistensi ciptaan tuhan.oleh karna itu HAM telah ada
sejak manusi lahir.Pada awalnya penafsiran mengenai apa itu HAM belum
mendapatkan kesatuan definisi yang seragam. Pemahaman tentang apa itu HAM masih
tersebar dalam beberap penafsiran menurut perkembangan zaman. Namun demikian
sumber pengertian menganai konsep dasar ham dan batasannya telah mulai
dipaparkan berdasarkan sumber hukum tentang Hak Kodrati, penganut mazhab ini
sebut saja salah satu tokoh terkena adalah john locke, John Locke mencoba
menetapkan postulat pemikiran bahwa semua individu dikarunia oleh alam hak yang
melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka
sendiri dan tidak boleh dicabut oleh Negara (PUSHAM UII &Oslo
University,2010;12). Pemikiran john locke ini menafsirkan bahwa Negara
mempunyai tanggung jawab untuk menghormati hak dasar manusia sekaligus
melindungi hak tersebut. Setiap orang adalah bebas dan merdeka berdasarkan
martabatnya,tidak hanya itu pada postulat pemikiran selanjutnya ia mengenalkan
pemikirannya ke dalam sebuah bukunya yang berjudul “ the Second Treaties
of civil government and a letter Concerning Toleration” buku ini
menguraikan mengenai pemikirannya tentang penghormatan terhadap hak, ia
menyatakan bahwa semua individu dikarunia oleh alam hak yang melekat atas
hidup,kebebasan dan kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri yang tidak
dapat dicabut. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang dalah
perkembangannya melandasi munculnya perjuangan revolusi hak seperti revolusi di
Inggris, Amerika Serikat dan perancis pada abad 17 dan 18.
Walau
dalam sejarah perkembangan pemikiran tentang HAM mengenai teori kodrat
yang disampaikan oleh John Locke ini banyak mendapatkan pertentangan
namun pada abad pertengahan konsep yang ditawarkannya mendapatkan peranan yang
cukup besar dalam meletakkan pondasi bagi penetapan konsep mengenai HAM dan
prinsip-prinsip dari HAM itu sendiri, hal ini dibuktikan pada saat lahirnya
Deklarasi Universal HAM tahun 1948 pada pasa 1 DUHAM disebutkan bahwa “semua
manusia terlahir bebas dan setara dalam kemuliaan hak-haknya, mereka dikarunia
denga akal dan hati nurani dan harus berhubung satu sama lain dalam semangat
persaudaraan”(Manfred Nowak,2005;212). Deklarasi DUHAM tahun 1948
ini menjadi tonggak sejarah meletakkan prinsip-prinsip dasar perlindungan dan
penghormatan HAM di seluruh dunia termasuk Indonesia. Deklarasi internasional
ini tidak mengikat dan sampai perang dunia ke II, standar HAM tidak
dikembangkan ke dalam hukum internasional, tapi lebih ditekankan pada hukum
nasional masing-masing Negara yang kemudian diwujudkan ke dalam kerangka
konstitusi nasional atau yang lebih dikenal dengan proses konstitusionalisme,
yang mencerminkan dan menjamin tugas-tugas dan struktur pokok Negara sebagai
sumber hukum tertinggi dalam suatu Negara. Kontitusi tersebut dianggap mengikat
dan berlaku, dan kemudian dapat diturunkan dalam UU agar dapat diterapkan dalam
bentuk hukum nasional seperti UU bagi pelaksanaan hak berdasarkan perkembangan
isu dan kebutuhan domestik masing-masing Negara.
Pada
tataran hukum nasional kita contohnya. Indonesia dengan tegas tunduk pada
DUHAM 1948 yang terwujud di dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena kita
menetapkan bentuk Negara adalah demokrasi maka Indonesia wajib memasukkan
pengakuan dan Penghormatan HAM ke dalam konstitusi yakni UUD 1945 amandemen ke
III tepatnya pada pasal 28 tentang HAM. Kemudian diatur ke dalam UU khusus
yakni UU No 39/1999 tentang HAM. UU ini mengatur dengan lengkap mengenai
perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM sebagai pedoman bagi
pelaksanaannya.Di dalam hukum nasional batasan konsep dasar mengenai HAM diatur
dalam UU No 39/1999 tentang HAM pada Bab I pasal 1 dinyatakan HAM adalah
“seperangkat Hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yme dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati,dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum,pemerintah dan setipa orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia” didalam UU
terdapat 10 hak yang dilindungi terbagi atas dua klasifikasi Hak yaitu hak Sipi
dan Politik dan HAK Ekosob. Hak ekonomi,sosial dan budaya. Khusus hak ekonomi
merupakan hak yang mengatur mengenai hak-hak yang berhubungan dengan
kesejahteraan yang meliputi jaminan dari Negara untuk memenuhi hak kebutuhan
dasar minimum seperti pangan,sandang dan papan/perumahan serta jaminan atas
keamanan dan kenyaman atas pelaksanaannya. Konsep ini menekankan pada tanggung
jawab Negara untuk memenuhi yang dikenal dengan istilah “state obligation
including how to fulfill”, menurut teori ini Negara bergerak aktif untuk
mengambil tindakan baik legislative, administratif agar hak-hak ini dapat
dilaksanakan sebesar-beasrnya.( pengantar pada rezim ham
Internasional,2013;15), dalam rangka memberikan kesejahteraan bagi
warganya, Negara tidak boleh lalai, jika pemerintah lalai/melakukan tindak
pembiaran maka Negara telah mengabaikan jaminan pemenuhan hak atas ekonomi
tersebut.
PERLINDUNGAN HAK ATAS TEMPAT TINGGAL DALAM KOMENTAR UMUM
HAK EKOSOB (General Comment ECOSOB Rights), UU NO. 39/1999 Tentang HAM
DAN KONSEP PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN
Hak
ekonomi berhubungan dengan kesejehteraan dan property sesorang yang
tidak hanya disediakan tapi juga harus dilindungi (how to be protected by
state). Termasuk hak atas shelter atau tempat tinggal. Tempat
tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia dalam keadaan apapun ia tidak dapat
dicabut. Bila harus dicabut maka harus benar-benar dalam keadaan mendesak dan
diatur dalam Undang-Undang. Keadaan mendesak tersebut merupakan keadaan yang
berhubungan dengan kepentingan Negara/publik dengan tetap memperhatikan skema
perlindungan dan penghormatan HAM berdasarkan UU yang berlaku.
Pada
hakitanya jauh sebelum pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi hak Ekosob,
pemerintah telah mengatur mengenai jaminan perlindungan atas hak atas tempat
tinggal di dalam UU No.39/1999 tentang HAM tepatnya pada pasal 40 dinyatakan
bahwa “setiap orang berhak untu mendapatkan tempta tinggal serta berkehidupan
yang layak” kemudian pada pasal lain memberikan jaminan atas perlindungan
atas tempat tinggal tersebut pada pasal 36 dinyatakan tidak seorangpun bolek
dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum, kemudian
pada pasal 37 ayat (1) dinyatakan lebih tegas bahwa “pencabutan hak milik atas
suatu benda demi kepentingan umum,hanya diperbolehkan dengan menganti kerugian
yang wajar dan segera serta pelaksanannya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Kembali pada pasa 3 UU No 39/1999 pelaksanaan dan
perlindungan hak atas tempat tinggal ini tetap mengacu pada konsep dasar
perlindungan yang bersifat tidak boleh diskriminasi/Non discrimination. Konsep
Perlindungan HAM atas tempat tinggal dalam UU HAM nasional ini dinilai masih
lemah bila dibandingkan dengan pengaturan mengenai perlindungan hak HAM atas
tempat tinggal yang diatur dalam Komentar Umum Hak Ekosob.Dalam Komentar Umum
Hak Ekosob HAM tempat tinggal diatur lengkap pada Komentar no. 4 bagian ini
meletakan standar minimal yang harus dipenuhi oleh Negara dalam rangka
perlindungan dan penghormatan Hak atas tempat tinggal yang layak.
Komentar
Umum artikel 4 ini tidak hanya memberikan pengaturan mengenai
perlindungan HAM atas tempat tinggal saja tapi lebih dari, juga
menetapkan batasan apa itu yang dikatakan tempat tinggal yang layak bagi
kemanusiaan, jadi bukan hanya sekedar tempat tinggal saja atau dikatakan asal
ada tempat tinggal agar tidak terkena hujan atau gangguan cuaca lainnya. Karena
arti layak itu luas definisinya. Menurut pasal 11(1) perjanjian Negara
dinyatakan “mengenali hak setiap orang untuk memperoleh standar hidup yang
layak bagi diri sendiri dan keluarga, termasuk tempat tinggal” hak asasi
manusia atas tempat tinggal yang layak, yang dengan demikian akan tercapai
standar hidup yang layak merupakan perwujudan penikmatan hak-hak
ekonomi.sementara konsep “layak” secara khusus sangat terkait dengan hak atas
tempat tinggal.
Ukuran
tempat tinggal yang layak itu meliputi : terpenuhinya asas legalistas
kepemilikan, ketersediaan atas berbagai layananan minimal, keterjangkauan
biaya,layak huni,aksesibilitas atau dapat diakses semua orang bukan malah
menambah beban hidup, lokasi yang terjangaku terutama ke tempat sumber-sumber
mata pencarian/ekonomi(Komentar umum PBB, 2013;919).
Pada
dasarnya pencapaian realisasi pemenuhan standar tempat tinggal yang layak akan
berbeda-beda di masing-masing Negara, namum perjanjian ini menetapkan bahwa
setian Negara harus segera mengambil langkah-langkag untuk mencapai tujuan
pemenuhan standar kelayakan minimal tersebut, bahkan di bebarap Negara, hak
atas tempat tinggal yang layak dilindungi oleh konstitusi. Oleh karena itu
banyak dari ukuran-ukuran yang diperlukan melibatkan alokasi sumber daya dan
insiatif kebijakan secara umum, karena hak atas tempat tinggal yang layak tidak
boleh dipandang lepas dari hak asasi manusia yang lain yang tecantum dalam
perjanjian internasional dan instrument hukum nasional yang merujuk pada konsep
martabat manusia dan prinsip Non-diskriminasi.
Bercermin
pada uraian terakhir diatas maka komite menilai pada simpulannya bahwa segala
bentuk pengusiran paksa atau penggusuran adalah prima facie yang tidak sejalan
dengan ketetapan dalam perjanjian internasional dan hanya dapat
dibenarkan dalam keadaan yang paling luar biasa, dan digariskan dalam prinsip-prinsip
hukum internasional yang relevan.
Konsep
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan UU No. 39/1999 tentang HAM
dan Konvensi Internasional Hak EKOSOB
Tanah
merupakan salah satu cabang Sumber daya agraria yang memiliki peranan penting
bagi kelangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia, bayangkan saja bila
bumi ini tidak ada hamparan tanah sebagai tempat kehidupan makhluk hidup maka
kehidupan tidak akan pernah ada. Tanah,air dan udara merupakan kombinasi yang
saling melengkapi sehingga terciptalah alam raya yakni bumi yang dapat
ditinggali.
Tanah
disamping memiliki nilai strategis juga memiliki nilai ekonomis, ambil contoh
bagaimana manusia dapat bercocok tanam dan melakukan berbagai kegiatan untuk dijadikan
sumber mata pencarian jika tidak ada tanah, dan bagaimana manusia dapat hidup
nyaman dan aman tanpa adanya tempat tinggal yang dibangun di atas tanah.
Dari
aspek ekonomi pulalah tanah menjadi salah satu penyebab konflik atau sengketa,
sengketa antara para pihak untuk menguasai dan memanfaatkannya. Ditambah lagi,
pada kenyataan bahwa pertumbuhan manusia yang tidak pernah berhenti.
Pertumbuhan manusia sangat menentukan terhadap tingkat ketersediaan tanah
sebagai lahan untuk membangun tempat tinggal.
Dalam
sejarah perkembangannya peranan tanah terus menjadi kebutuhan yang mendesak
sampai saat ini. Tidak hanya tanah di daerah pedesaan, apalagi di kawasan
perkotaan atau pusat-pusat pemerintahan. Seperti disebutkan di atas dengan
pertumbuhan manusia maka adanya kebutuhan untuk menyediakan layanan-layanan dan
fasilitas publik/umum. Pendirian fasilitas-fasilitas umum tersebut sudah barang
tentu membutuhkan ketersediaan lahan yang cukup untuk mendirikan
banguan/infrastruktur, belum lagi kebutuhan komersil lainnya.
Kebutuhan
tanah di perkotaan dihadapkan dengan arus urbanisasi manusia yang menumpuk ke
kota-kota besar, sehingga menyebabkan semakin sempitnya lahan kosong/terbuka.
Semua orang yang telah hijrah ke kota tentut membutuhkan tempat tinggal
sementara tanah kepunyaan tidak ada, maka dengan terpaksa tanah kosong
dimanfaatkan untuk membangun tempat tinggal sementara/remanen, kemudian semi
permanen dan pada akhirnya menjadi permanen, seiring dengan kecukupan
ekonominya.
Pada
saat masyarakat telah hidup mapan di atas tanah/lahan yang kosong tersebut
kemudian muncul permasalahan yaitu; pengakuan bahwa tanah-tanah tersebut adalah
tanah Negara dan sewaktu-waktu dapat digunakan oleh Negara dalam hal ini
pemerintah.
Kebutuhan
tanah atas dasar tujuan pembangunan memotivasi pementintah untuk melakukan
penertiban kembali tanah-tanah Negara yang telah ditempati oleh masyarakat,
melalui program pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Program tersebut
menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan berbagai tindakan guna mengambil
kembali tanah Negara yang telah ditempati warga selama berpuluh puluh tahun.
Berbagai
regulasi telah disusun dan diterbitkan untuk memberikan payung hukum bagi
Negara untuk melakukan pengosongan tanah-tanah Negara. Salah satunya UU
Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur
dalam UU No 2/ 2012. UU ini merupkan UU terakhir setelah beberapa UU sebelumnya
diubah. Dalam UU ini arti pengadaan tanah adalah “kegiatan menyediakan tanah
dengan cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak” Proyek pengadaan tanah pada UU yang sama mensyaratkan untuk
semata-mata kepentingan umum bagi kesejahteraan masyarakat. Dihadapkan
pada pengaturan tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana yang diatur dalam UUPA
tampaknya menjadi landasan bagi pembentukan UU pengadaan tanah ini. UUPA
mengatur dan melindungi beberapa jenis hak atas tanah dan itu dapat disampangi
bila adanya kepentingan yang lebih luas maka hak atas tanah tersebut dapat
dicabut, dapat dicabut tentunya dengan suatu pemberian ganti rugi yang layak.
Dalam
UU No 39/1999 tentang HAM juga terdapat pasal yang mengatur bahwa hak milik
mempunyai fungsi sosial, yang dimaksud hak milik disini termasuk tanah-tanah
hak, kemudian pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum,
hanya diperbolehkan dengan menganti kerugian yang wajar, dan segera.
Dalam
UU No 39/1999 tentang HAM juga mengatur tentang perlindungan bangunan tempat
tinggal yang tentu berdiri ditas tanah baik tanah hak maupun tanah bukan hak
karena UU ini juga melindungi hak asasi atas tempat tinggal warga. Makna
pengaturan dalam pasal ini kembali pada maksud pengadaan tanah untuk
kepentingan umum pada pasal di atasnya bahwa pengosongan tanah dilarang
mengunakan cara-cara yang tidak bermartabat/tidak manusiawi, seperti pengusiran
mendadak, tidak diberikan ganti rugi yang layak/pantas. Sehingga menimbulkan
warga kehilangan akses tempat tinggal yang layak.
Pengadaan
tanah yang berkeadilan tidak hanya terbatas pada warga yang bisa membuktikan
alas haknya atas tanah tersebut saja, tapi juga warga yang dapat membuktikan
penguasaan atas tanah tersebut seperti tanda pembayaran PBB dan fisik bangunan
yang telah berpuluh tahun ditempati warga.
Berkenaan
dengan tindakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum inipun, hukum Indonesia
secara umum telah pula membedakan antara pencabutan hak (secara wajib) dan
pembebasan/pengadaan tanah.(HUMMA,2010;313) (Hukum agraria
dan masyarakat di Indonesia, Huma, 2010,hlm 313). Bila
kita telaah makna istilah pencabutan hak ini maka asosiasi kita lebih ke arah
negatif, sementara istilah pembebasan lebih positif, arti positif disini
dilakukan dengan sukarela/kesepakatan untuk melepaskan hak atau penguasaannya
atas tanah.
Mengenai
pengadaan/pembebasan tanah yang terdapat bangunan tempat tinggal diatasnya
beberapa peraturan UU telah mengatur mengenai penting untuk memperhatikan aspek
kemanusian salah satunya diatur dengan tegas dalam Konvensi Internasional
Komentar Umum No.7 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang layak terkait
pengusiran paksa. Konvensi ini mengunakan istilah pengusiran paksa terhadap
praktik-praktik pengosongan tanah yang berkonotasi negatif seperti tindakan
pemerintah/aparat yang mengunakan pola-pola kekerasan dalam mengosongkan tanah
dari bangunan rumah-rumah warga seperti pengerahan tentara/preman
bayaran,intimidasi, tidak adanya tawaran rehabilitasi/kawasan penganti termasuk
rumah penganti, pada intinya pengusiran paksa menurut konvensi ini
didefinisikan sebagai “ bentuk tindakan penguasan melakukan pemindahan
sementara./permanen yang bertentangan dengan keinginan sejumlah
individu/keluarga dan/atau komunitas atas tanah-tanah yang telah mereka kuasai
tanpa adanya ketetapan akses hukum yang layak dan perlindungan yang lainnya”(General
comment, 2013; 247)
Dalam
komentar umum No. 4 (1991) komite menyatakan bahwa setiap orang harus memiliki
kepastian tempat kedudukan yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran
paksa,kekerasan dan ancaman lainnya. Dalam komentar pasal ini menyimpulan bahwa
pengusiran paksa merupakan prima factie yang tidak relevan dengan perjanjian
internasional terkait jaminan penghormatan atas tempat tinggal yang nyaman dan
aman.
Dalam
strategi global pemukiman tahun 2000. Mengariskan bahwa kewajiban pemerintah
idealnya meminilalisir terjadinya pengusiran paksa warga dari lahan-lahan
pemukimannya dan meningkatkan upaya untuk melindungi dan mengembangkan kawasan
pemukiman, bukannya merusak atau menghancurkannya.
Pada
akhirnya melindungi semua orang dari praktik pengusiran paksa yang bertentangan
dengan hukum dan tanpa memperhatikan prinsip HAM. Dan klopun pengusiran paksa
atau pengosongan tanah dari perumahan warga tidak dapat dihindari maka hal-hal
yang harus dipikirkan oleh pemerintah sebelumnya adalah menetapkan
solusi-solusi alternatif lainnya bagi kemanusiaan. Jadi pembangunan masih
tetap dapat terwujud dan masyarakatpun tetap sejahtera.(rda)
Daftar Pustaka :
Buku-buku
Rhona KM dkk,(2008). Hukum Hak
Asasi Manusia.Yogyakarta:PUSHAMUII
Nowak Manfred,(2003).Pengantar Pada
Rezim HAM Internasional.Wina:Brill Academic Publisher
Syafitri.mirna dkk,(2010).Hukum
agrarian dan Masyarakat di Indonesia.Jakarta: Huma
Harsono budi, (1970). Hukum Agraria
di Indonesia, Yogyakarta, Pusataka ilmu
Undang-Undang
Komentar Umum (2013). Komentar Umum
Konvensi Hak Sipol &Ekosob, Jakarta,Komnas HAM
UU No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia
UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum