A.
Penanganan
Kasus sengketa pemenuhan hak atas air warga Sentul City melalui Amicus Curiae Komnas HAM
Komnas HAM sebagai
lembaga negara yang mandiri, diberikan beberapa kewenangan di dalam pelaksanaan
tugas dan fungsinya, salah satunya “memberikan
pendapat”
berdasarkan persetujuan ketua pengadilan atas suatu perkara yang sedang
diperiksa, hal ini sesuai bunyi ketentuan Pasal 89 ayat (3) huruf h
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam ketentuan
Pasal tersebut juga memberikan batasan bahwa “…bilamana terhadap perkara
tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam ranah masalah publik dan acara pemeriksaan
oleh Pengadilan yang kemudian pendapat Komna HAM tersebut wajib diberitahukan
oleh Hakim kepada para pihak” merujuk pada ketentuan Pasal tersebut pada alenia
terakhir jelas menunjukkan bahwa kasu-kasus yang dapat diberikan pendapat
Komnas HAM merupakan kasus-kasus yang berada di ranah masalah publik oleh
karena itu ada beberapa pembatasan.
Berdasarkan
terminologi, kewenangan Komnas HAM dalam memberikan pendapat HAM sebagaimana
diatur di dalam Pasal 89 ayat (3) huruf h sama halnya dengan istilah pemberian
“ amicus curiae”. Amicus Curiae dikenal dengan istilah Friend of the Court, yang bukan
merupakan pihak dalam suatu kasus yang mungkin ataupun mungkin tidak diminta
oleh salah satu pihak dan membantu Pengadu dengan menawarkan informasi,
keahlian, atau wawasan yang memiliki kepentingan, perhatian dalam kasus-kasus
tersebut dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Kemudian, pengadilan
mempunyai kebebasan apakah akan mempertimbangkan atau tidak amicus brief tersebut di dalam pertimbangan putusannya.
Keberadaan amicus brief juga relevan terhadap ketentuan Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menegaskan bahwa “Hakim berkewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat”. Dengan
demikian, hakim harus melihat berbagai pendangan terhadap satu kasus yang
sedang ia periksa sehingga keputusan yang diambil sedapatnya bisa memberikan
rasa keadilan kepada masyarakat, selain itu hakim diharapkan bisa memahami
masalah-masalah yang sedang ia periksa, salah satunya kasus-kasus yang
berimplikasi terhadap masalah hak asasi manusia.
Pada praktiknya, Komna HAM telah memberikan amicus curiae terhadap beberapa
kasus-kasus yang sedang ditangani, sebagian besar amicus brief diberikan
berdasarkan permohonan dari Pengadu/korban, dan beberapa amicus brief yang telah disampaikan dijadikan pertimbangan oleh
majelis hakim dalam memutuskan perkara di Pengadilan, salah satunya di dalam
pemeriksaan sengketa hak atas air antara warga di Perumahan Sentul City, Bogor
dengan Perusahaan Perumda Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor.
Kasus berawal pada 2017 Komnas HAM menerima pengaduan dari
warga perumahan di Sentul City, Warga melaporkan terkait diputusnya jaringan
air bersih ke masing-masing rumah warga oleh perusahaan pengembang PT. Sentul
City. Kasus ini bermula dari adanya gugatan warga terhadap PT Sentul City yang
telah membebankan biaya tarif BPPL kepada warga di Perumahan Sentul City.
Gugatan diajukan melalui Pengadilan Negeri Cibinong Nomor :285/Pdt.G/2016/PN.Cbi,
tanggal 10 Agustus 2017. Pada pokoknya warga menilai bahwa penarikan tarif BPPL
oleh perusahaan merupakan bentuk komersialisasi sumber daya air sementara hak
atas air merupakan hak asasi manusia yang wajib disediakan oleh negara
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun warga dengan
perusahaan telah membuat perjanjian terkait penyediaan air minum di kawasan
perumahan warga namun salah satu kalusul perjanjian tersebut dinyatakan cacat
sejak lahirnya (adanya unsur sebab causa yang
tidak halal) maka perjanjian dianggap telah batal demi hukum karena perjanjian
yang dibuat bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu,
dalam putusannya majelis hakim di tingkat kasasi membatalkan perjanjian
tersebut khususnya terkait klausul tentang “kewajiban warga untuk membayar
tagihan BPPL”. Majelis Hakim menilai bahwa pengenaan tarif BPPL oleh perusahaan
merupakan perbuatan melawan hukum (onrecht
matigedaad) karena sebagai bentuk komersialisasi di bidang perairan, oleh
karena itu warga tidak mempunyai kewajiban untuk melunasi sisa pembayaran
tagihan BPPL kepada perusahaan. Hal ini berdasarkan keputusan yang telah
berkekuatan hukum tetap berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor:
727/PK/PDT/2020, tanggal 29 September 2020, jo.
Nomor: 3415K/Pdt/2018, tanggal 21 Desember 2018.
Selain mengajukan
gugatan perdata, Perwakilan warga juga melakukan gugatan terhadap Keputusan
Pejabat Tata Usaha Negara yakni Keputusan Bupati Bogor Nomor :693/090/00001/DPMTPSP/2017,
tertanggal 1 Maret 2017 tentang Pemberian Izin Penyelengaraan Sistem Penyediaan
Air Minum Kepada PT Sentul City,Tbk di beberapa wilayah di Kabupaten Bogor
termasuk di kawasan perumahan warga di Sentul City. Pada 2019, di tingkat
kasasi gugatan tersebut dikabulkan oleh majelis hakim Tata Usaha Negara berdasarkan
keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Nomor : 463/K/TUN/2018, tanggal 11 Oktober
2018 kemudian dikuatkan kembali dalam Keputusan Peninjaun Kembali Nomor : 104
PK/TUN/2019, tanggal 22 Oktober 2019 yang intinya meminta Bupati Bogor
membatalkan surat keputusan yang
memberikan kewenangan kepada PT.Sentul City, Tbk menyelengarakan penyediaan air
minum di kawasan perumahan warga.
Menindaklanjuti kedua
keputusan TUN tersebut, Bupati Bogor menerbitkan Keputusan
Bupati Bogor Nomor : 693/309/Kpts/Per-UU/2019, tanggal 1 Agustus 2019, menggantikan Keputusan Bupati
Bogor Nomor :693/090/00001/DPMTPSP/2017, tertanggal 1 Maret 2017 tentang penunjukkan Perumda Air Minum Tirta Kahuripan Bogor agar
mengambil alih pengelolaan penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)
di Kawasan Perumahan Sentul City, diantaranya melakukan penyambungan
jaringan/saluran air bersih ke perumahan warga dan mendaftarkan masing-masing
warga sebagai pelanggan tetap Perumda. Namun implementasinya tidak sesuai
dengan mandat yang telah ditetapkan di dalam surat keputusan tersebut. Pihak
Perumda bersikukuh bahwa warga di Perumahan Sentul City masih mempunyai hutang
kepada Perusahaan Pengembang berupa tungakan pembayaran biaya BPPL, oleh karena
itu pihak Perumda belum bisa melakukan penyambungan saluran air minum ke
masing-masing perumahan warga di Sentul City sampai warga melunasi semua
tagihan BPPL kepada perusahaan pengembang.
Sikap
Perumda yang menolak permohonan warga agar perusahaan melakukan penyambungan
kembali salurah air ke perumahan warga dinilai sebagai bentuk tindakan Perumda
yang tidak taat/mengabaikan kewajibannya untuk melaksanakan Keputusan Pejabat
Tata Usaha Negara yakni Surat Bupati Bogor Nomor : 693/309/Kpts/Per-UU/2019,
tanggal 1 Agustus 2019. Menyikapi hal ini, pada 19 Maret 2021, 20 (dua puluh )
orang warga perumahan Sentul City mengajukan gugatan Tata Usaha Negara terhadap
Perusahaan Umum Daerah Air Minum (Perumda Air Minum) Titra Kahuripan Kabupaten
Bogor berdasarkan register perkara Nomor : 28/GKF/2021/PTUN.Bandung. Dalam
gugatannya warga menilai bahwa Perumda telah melakukan perbuatan melawan hukum
atas keputusan pejabat Tata Usaha Negara.
Dalam
proses hukumnya di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, Komnas HAM sesuai
kewenangannya memberikan pandangan atas permasalahan ini berdasarkan perspektif
hak asasi manusia (amicus Curiae),
adapun pokok-pokok yang menjadi pendapat Komnas HAM, sebagai berikut :
- Perusanaan
Umum Daerah Air Minum (Perumda Air Minum) Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor
merupakan bagian dari Pemerintah Kabupaten Bogor, yang statusnya berbentuk
Badan Usaha Milik Daerah. Hal ini, karena Perumda Air Minum Tirta
Kahuripan Kabupaten Bogor dibentuk oleh
Pemerintah Kabupaten Bogor yang modalnya seluruh atau sebagian
dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Bogor serta memiliki tugas
menyelenggarakan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) bagi masyarakat di
Kabupaten Bogor. Tugas tersebut merujuk pada Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten Bogor Nomor: 5 Tahun 2020 tentang Perusahaan Umum Daerah Air
Minum Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor. Perda tersebut merupakan pelaksanaan
dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 122/2015 khususnya Pasal 36 ayat (1)
yang menyatakan bahwa “penyelenggaraan
SPAM merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan/atau Pemda”
kemudian ayat (2) menyatakan bahwa “dalam
rangka melaksanakan penyelengaraan SPAM sebagaimana pada ayat (1) dibentuk
BUMN/BUMD oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah”. Khusus,
penyelenggaraan SPAM di perumahan warga di kawasan Sentul City merujuk
pada Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 693/309/Kpts/Per-UU/2019. Dengan
demikian, Perumda Air Minum Tirta Kahuripan dikategorikan sebagai Badan
Administrasi Pemerintahan yang melaksanakan sebagian fungsi pemerintahan
Kabupaten Bogor yakni menyelenggarakan penyediaan dan pelayanan air minum bagi warga di Kabupaten Bogor;
2. Tindakan Perumda
Air Minum Tirta Kahuripan yang belum melakukan penyambungan aliran air
minum ke masing-masing perumahan warga dengan alasan “warga belum melunasi
tagihan BPPL kepada pengembang PT Sentul City, Tbk”, merupakan alasan yang tidak mendasar. Hal ini, karena
permasalahan tagihan hutang BPPL merupaan masalah keperdataan antara warga
perumahan Sentul City dengan pengembang PT Sentul City. Oleh karena itu,
Perumda harus tetap melaksanakan Surat Keputusan Bupati Bogor yang menugaskan
Perumda mengambil alih penyediaan air minum bagi warga di Perumahan Sentul City
namun hal tersebut tidak dilaksanakan. Menyikapi hal ini, Komnas HAM menilai
Perumda Tirta Kahuripan sebagai bagian dari pemerintah tidak menerapkan asas-asas umum tata kelola pemerintahan yang baik dalam menyelenggarakan manajemen
badan usahanya. Terutama, pada aspek kewajiban pemerintah untuk menerapkan
Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (Good
Governance), diantaranya : “asas kemanfaatan, keterbukaan, tidakberpihakan,
kepentingan umum dan pelayanan yang baik” sebagaimana diatur di dalam Pasal 7
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan;
3. Berdasarkan
“asas kepentingan umum” menekankan kewajiban kepada pemerintah agar dapat
menerapkan tata kelola pemerintahan yang berbasis pada sikap untuk
mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum, diantaranya adalah
pelayanan bagi penyediaan air bersih. Penerapan asas ini, untuk menjamin
tercapainya peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh melalui pelayanan yang baik. Pelayanan yang baik dari pemerintahan
dengan menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance), pada hakikatnya, juga berkorelasi dengan prinsip-prinsip HAM. Dengan
demikian, sikap PerumDAM Tirta Kahuripan yang
menolak permohonan warga untuk menyambungkan saluran air ke
masing-masing rumah warga, maka tindakan Perum DAM tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia, khususnya
tidak melindungi dan memenuhi hak-hak warga untuk memperoleh air bersih,
hak atas air merupakan bagian dari hak yang dilindungi di dalam UU Nomor
39/1999 Tetang HAM;
4. Berdasarkan
perspektif HAM, hak atas air merupakan hak hidup bagi setiap manusia. Hak atas
air bersih merupakan hak dasar, hak manusia untuk mempertahankan hidupnya dan
meningkatkan kualitas hidup. Jaminan perlindungan hak tersebut diatur dalam
Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 40 UU Nomor 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal
11 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya menyatakan bahwa “Kovenan mengakui hak setiap orang atas standar
kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan
perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara pihak harus
mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin terpenuhinya hak ini”. Berdasarkan
bunyi ketentuan pasal tersebut, kovenan menekankan adanya pengakuan dan jaminan
dari negara-negara untuk mengakui dan menjamin hak-hak yang mendasar bagi
pemenuhan hidup dan keberlangsungan hidup warga, termasuk pemenuhan “hak atas
air yang bersih”.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka Komnas HAM meminta kepada
Majelis Hakim diantaranya :
1.
Memastikan agar hak asasi manusia (HAM) warga yang tinggal di
kawasan Sentul City mendapatkan keadilan dan tidak terlanggar hak asasinya atas
air bersih karena hak tersebut telah dijamin dalam Konstitusi, terutama Pasal
28 huruf H ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 juncto Pasal 9
ayat (1) dan Pasal 40 UU Nomor 39/1999 Tentang HAM juncto Pasal 11 dan
Pasal 12 UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya;
2. Memerintahkan kepada Perusahaan Umum Daerah Air Minum Tirta
Kahuripan Kabupaten Bogor untuk menyelenggarakan Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM) di kawasan Sentul City sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku dan sebagai wujud penerapan asas-asas umum tata kelola pemerintahan
yang baik.
Pendapat
Komnas HAM terhadap permasalahan ini, telah disampaikan kepada Ketua Majelis
hakim yang memeriksa perkara gugatan tata usaha negara Nomor: 28/G/TF/2021,
tanggal 19 Maret 2021 melalui surat Komnas HAM Nomor : 502/AC-PMT/VII/2021,
tanggal 19 Juli 2021. Kemudian, di dalam keputusannya majelis Hakim Pengadilan
Tata Usaha Negara Bandung menerima gugatan warga selaku Pengugat berdasarkan
Putusan Nomor 28/G/TF/2021/PTUN Bdg, tanggal 12 Agustus 2021. Di dalam
pertimbangan hukumnya, Majelis hakim menerima beberapa pandangan Komnas HAM RI
diantaranya terkait “pentingnya negara bertanggung jawab dalam hal ini Perumda
Tirta Kahuripan Bogor untuk menjamin pemenuhan hak atas air warga sebagai
bagian hak asasi manusia” Oleh karena itu, Majelis Hakim memerintahkan kepada
Perumda Air Minum Titra Kahuripan Kabupaten Bogor (Tergugat) untuk segera
menyelenggarakan Sistem Penyediaan Air minum kepada warga sesuai ketentuan
undang-undang yang berlaku serta menerapkan asas-asas umum tata kelola
pemerintahan yang baik.
Namun
dalam pelaksanaanya, keputusan tersebut belum bisa dilaksanakan, hal ini karena
Perumda Air Minum sedang mengajukan upaya hukum banding. Sikap Perumda yang
belum melaksanakan keputusan pengadilan tersebut jelas menimbulkan permasalahan
baru, khususnya terkait jaminan perlindungan hak warga untuk segera memperoleh
air minum yang bersih dan sehat. Berdasarkan konstitusi, hak atas air merupakan
hak yang tidak dapat ditunda pemenuhannya dalam keadaan dan kondisi apapun (non-derogable rights) karena hak atas air merupakan bagian dari Hak untuk Hidup dan
mempertahankan hidup manusia. Syarat mutlak sehingga hak ini tidak dapat dikesampingkan
bagi pemenuhannya diatur di dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor
39/1999 Tentang HAM. Dengan demikian, segala bentuk penundaan atas pelaksanaan
perintah pengadilan tersebut dapat dikategorikan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh Perumda Tirta
Kahuripan Bogor.
B. Kendala Dalam Penanganan Kasus
Pada
praktiknya, tidak semua rekomendasi Komnas HAM dapat dilaksanakan secara
maksimal oleh pihak-pihak yang diberikan rekomendasi, termasuk rekomendasi yang
disampaikan melalui pemeriksaan di Pengadilan yakni Amicus Curriae, meskipun Pendapat Komnas HAM tersebut telah
dilembagakan di dalam Keputusan Pengadilan
namun pada praktiknya tidak cukup efektif jika pihak yang wajib melaksanakan
keputusan tersebut tidak menindaklanjutinya karena alasan masih menempuh upaya
hukum selanjutnya. Sama halnya dengan apa yang terjadi di dalam penanganan
sengketa pemenuhan ha katas air minum antra warga di perumahan Sentul City
dengan Perumda Air Minum Tirta Kahuripan. Mesikpun telah ada putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang memerintahkan
Perumda agar melaksanakan penyelengaraan sistem air minum bagi warga di
Perumahan Sentul City namun perusahaan selaku tergugat belum melaksanakan
perintah pengadilan tersebut karena pihak perusahaan sedang mengajukan upaya
banding. Sementara, jika kita mengacu pada prinsip-prinsip perlindungan HAM
menekankan bahwa hak atas air minum merupakan bagian dari hak yang tidak dapat
ditunda pemenuhannya dalam kondisi dan keadaan apapun. Dengan demikian,
penyambungan sistem air dan penyelenggaraan penyediaan air minum bagi warga
merupan kondisi yang harus segera dipenuhi/dilaksanakan meskipun perusahaan
sedang mengajukan upaya hukum selanjutnya. Dari kondisi tersebut maka jelaslah
bahwa pemahaman Perumda selaku penyelenggara sebagian tugas negara di bidang
air minum belum memahami mengenai tugas dan tanggung jawabnya sebagi
pemangku kewajiban (duty barrier) dalam perlindungan dan
pemenuhan ham.
Kondisi
tersebut, tentu menimbulkan kendala bagi pemajuan dan penegakan hak asasi
manusia meskipun Komnas HAM sebagai lembaga negara yang bekerja berdasarkan undang-undang
telah melaksanakan berbagai kewenangannya, diantaranya : pemberian amicus curiae namun pelaksanaannya tidak
berdampak bagi upaya pemulihan hak-hak korban. Pada praktinya, tidak semua
pihak-pihak yang diberikan rekomendasi melalui amicus curiae bisa langsung merubah kebijakannya meskipun pendapat
Komnas HAM tersebut telah dilembagakan ke dalam putusan Pengadilan. Oleh karena itu, penting bagi
Komnas HAM untuk memastikan adanya tindak lanjut atas rekomendasi dan
memastikan efektifitas dari amicus curiea
yang telah diberikan melalui putusan hukum.
C. Strategi guna mengatasi kendala-kendala dalam
penanganan kasus
Minimnya
pemahaman dan komitmen negara khususnya oleh Badan Usaha Milik Negara dalam
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, hal ini masih menjadi permasalahan
umum. Salah satunya, kasus sengketa hak atas air yang sedang ditangani komnas
ham. Meskipun langkah penanganan telah dilakukan secara maksimal, namun tidak akan menimbulkan dampak dan perubahan
apapun bagi pemulihan hak-hak korban, jika tujuan yang hendak dicapai tidak
mendapat dukungan dari pihak yang direkomendasikan. Kondisi ini menjadi salah
satu kendala tersendiri, karena indikator adanya perubahan paradigma bagi upaya
pemulihan (remedy) merupakan hal yang
penting dilakukan. Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan agar setiap
rekomendasi termasuk amicus curiae
yang telah dikeluarkan sedapatnya dapat memberikan dampak yang signifikan bagi
pemulihan hak-hak korban pelanggaran ham. Salah satunya. di dalam penanganan
kasus sengketa pemenuhan hak atas air minum antara warga di perumahan Sentul
City Bogor dengan Perumda Air Minum Tirta Kahuripan. Dalam
penanganan kasusnya, Komnas HAM telah melakukan upaya penyelesaian diantaranya
memberikan amicus curiae melalui
proses pemeriksaan di Pengadilan TUN Bandung. Di dalam putusannya, hakim
memerintahkan Perumda Tirta Kahuripan Bagor agar melakukan penyambungan aliran
air minum ke perumahan warga namun pihak perusahaan belum melaksanakan perintah
pengadilan tersebut karena masih melakukan upaya hukum banding. Namun,
mengingat kasus ini terkait pemenuhan hak hidup manusia yang tidak dapat
ditunda pelaksanaannya, serta demi efektifitas penanganan kasus maka dinilai
penting untuk melakukan monitoring terhadap pelaksanaan putusan pengadilan yang
di dalamnya telah mengadopsi beberapa pandangan Komnas HAM. Optimalisasi
penanganan yang telah dilakukan melalui pemberian amicus curiae ini penting dilakukan agar adanya perbaikan dan
pemulihan terhadap hak-hak warga/korban yang dilanggar hak asasinya. Untuk itu,
Komnas HAM telah memberikan rekomendasi kembali kepada terlapor/tergugat agar
mereka melaksanakan keputusan Pengadilan Nomor 28/G/TF/2021/PTUN Bdg, tanggal
12 Agustus 2021 bagi upaya pemulihan dan perbaikan kondisi warga.(rda)